KASUS PELAJAR BUNUH DIRI PELAJAR MENURUT PANDANGAN ILMIAH.
PIKIRAN UMMAT.Com—Ternate||Kasus bunuh diri kembali terjadi.Kali ini korban nya pelajar SMP di Kabupaten Halmahera Selatan.
Dilansir dari beberapa media online terpercaya, seorang pelajar di Halmahera Selatan, Maluku Utara, ditemukan tewas gantung diri di kamarnya, sekitar pukul 16.00 WIT, Jumat 6 Mei 2022.
Diketahui, korban yang masih berstatus siswa SMP dengan inisial IN (15 tahun) tersebut pertama kali ditemukan rekannya, R (15 tahun).
Kasus bunuh diri ini telah dilaporkan ke pihak kepolisian dan sementara dalam penyelidikan.Polsek pulau Bacan saat ini tengah melakukan pendalaman terkait motif insiden sebenarnya.Dugaan awal pihak kepolisian, insiden ini bunuh diri.
Kasus bunuh diri oknum pelajar SMP ini ikut mengusik perhatian psikolog.
Latar belakang kasus ini harus terungkap sehingga semua pihak patut meningkatkan kewaspadaannya agar kasus serupa tidak sampai terulang kembali.
Kasus bunuh diri di kalangan pelajar seperti di Kabupaten Halmahera selatan ini bukan insiden baru namun kemungkinan memiliki latar belakang yang berbeda sehingga harus ditelusuri lebih jauh guna tindakan preventif ke depan.
Faktor determinan mental dan prilaku anak ada di keluarga atau orang tua sehingga harus mendapat perhatian terhadap penanganan potensi aksi bunuh diri.
Berdasarkan artikel berjudul Bunuh diri pada anak dan remaja yang disajikan Afrina Zulaikha dan Nining Febriyana, Gangguan psikiatri yang sering menjadi faktor resiko bunuh diri pada anak dan remaja adalah gangguan suasana perasaan (depresi dan bipolar), skizofrenia, penyalahgunaan zat, gangguan tingkah laku, dan gangguan makan (Apter dan Freudstein, 2000; Gould dan Kramer, 2001; Shain dan Care, 2007).
Faktor resiko lain yang juga bisa memunculkan perilaku bunuh diri yaitu adanya kejadian yang menimbulkan stres, masalah hubungan anak dan orangtua, perceraian orangtua, riwayat keluarga, dan penyakit kronis (Shafii et al., 1985; Gould et al., 1996; Pfeffer, 2000; Gould dan Kramer, 2001; Sofronoff, Dagliesh dan Kosky, 2005; Gray dan Dihigo, 2015).
Keputusasaan serta kemampuan meyelesaikan masalah yang buruk juga dihubungkan dengan perilaku bunuh diri. Perilaku bunuh diri dijumpai diantara pasien dengan range IQ retardasi mental sedang atau di atasnya dan lebih sering dijumpai pada remaja dibandingkan anak-anak (Gould dan Kramer, 2001; Sofronoff, Dagliesh dan Kosky, 2005).
Dari aspek biologi, pada pemeriksaan single-photon emission tomography (SPET) didapati pasien yang dengan sengaja menyakiti diri memiliki penurunan kadar ikatan reseptor 5-HT2a. Pada remaja korban bunuh diri juga dijumpai disregulasi posreseptor 5HT2a, yang ditandai dengan perubahan ikatan protein C kinase. Penurunan kadar triptopan di dalam darah dijumpai pada anak prepubertal dengan masalah psikiatri yang melakukan usaha percobaan bunuh diri dibandingkan dengan anak yang normal atau anak dengan masalah psikiatri yang memiliki ide bunuh diri. Sehingga kadar triptopan darah dapat dijadikan penanda untuk mengidentifikasi anak-anak dengan resiko bunuh diri. Beberapa penelitian mengungkapkan keterkaitan kadar serum kolesterol yang rendah dengan bunuh diri pada pasien depresi
Suicide in Children and Adolescent
65 dan anak. Sedangkan bunuh diri pada remaja menunjukkan kadar serum kolesterol yang lebih tinggi. Pada pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) didapati alfa asimetris pada regio posterior dikaitkan dengan keinginan bunuh diri. Oleh karena itu penurunan aktivasi posterior berkaitan dengan bunuh diri dan atau perilaku agresif (Pfeffer, 2000; King dan Apter, 2003).
Pencegahan bunuh diri sangat penting dan direkomendasikan untuk strategi pengembangan dan penerapan penurunan angka bunuh diri. Pencegahan primer yaitu program dalam latar pendidikan, meliputi Program Berbasis Sekolah, Krisis Hotline, Pembatasan Metode yang Mematikan, Edukasi melalui Media serta Mengidentifikasi Anak dan Remaja dengan Faktor Resiko Tinggi Bunuh Diri. Pencegahan sekunder berkaitan dengan mengidentifikasi dan penatalaksanaan yang adekuat terhadap mereka yang memilki risiko bunuh diri, berupa penatalaksanaan psikososial dan penatalaksanaan secara biologi dengan pemberian antidepresan (AACAP, 2001; Pelkonen dan Marttunen, 2003).
Pencegahan tersier bertujuan mengembangkan penatalaksanaan yang tepat untuk anak dan remaja, khususnya modalitas terapi yang tepat setelah melakukan percobaan bunuh diri, sehingga dapat mencegah terjadinya bunuh diri (AACAP, 2001; Pelkonen dan Marttunen, 2003).
Postvention adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan intervensi yang dilakukan setelah terjadi bunuh diri. Setelah anak atau remaja melakukan bunuh diri, sangat dianjurkan untuk melakukan krisis intervensi pada orang-orang terdekatnya karena mereka berisiko menderita depresi, gangguan stres paska trauma atau reaksi duka cita yang patologis. Bila hal ini tidak dilakukan, maka jumlah kejadian bunuh diri pada kerabat dan orang terdekat pelaku selama setahun setelah kejadian bunuh diri akan meningkat (AACAP, 2001; Gould dan Kramer, 2001; Pelkonen dan Marttunen, 2003).(***)