NOMENKLATUR PROVINSI MALUKU UTARA BAKAL DITINJAU KEMBALI.
Laporan :Ajhar H.Rauf/ Redpel.
PIKIRAN UMMAT.Com—Ternate||Nama provinsi Maluku utara bakal ditinjau kembali.Nama Maluku utara yang ikonik sebagai sebuah kabupaten dinilai menurunkan wibawa sebagai sebuah provinsi di kencah loby tingkat nasional.Akibatnya daya tawar atau bergening positition ini provinsi Maluku utara menjadi lemah dimata pemerintah pusat.
Hal itu berdasarkan kesimpulan dari pandangan forum Akademisi Pemerhati Maluku utara sebagai penggagas ide perubahan Nomenklatur Provinsi Maluku utara yang disampaikan saat Komferensi pers, minggu(29/5) di kafe Sorasa Ternate.
Dalam pandangan nya, mereka mengungkapkan bahwa Provinsi Maluku Utara telah berusia duapuluh satu tahun yang dari sisi waktu terhitung masih muda namun, dilihat dari sisi proses politik, duapuluh satu tahun adalah waktu yang kiranya cukup untuk melaksanakan pembangunan. Tetapi, mengapa pembangunan Maluku Utara nyaris stagnan jika dibandingkan dengan Provinsi Gorontalo, misalnya, yang lahir bersisian waktu hanya dalam hitungan bulan.
Menurut barusan yang di motori Dr.Murid Tonurio, Dr.Daris Humah dan Dr.Hasanudin ini, ada banyak faktor penyebab yang bisa disebutkan antara lain Dinamika politik praktis – pemilihan kepala daerah dan pengelolaan birokrasi setelah itu, yang kental dengan sentiment etnis, disebut-sebut oleh pengamat luar dan daerah menjadi salah satu penyebab kemandegan pembangunan daerah Maluku Utara sejauh ini. Artinya, karena sentimen etnis selalu menjadi basis kelakukan politik praktis, sentimen mana tidak di(ter)selesaikan setelah peristiwa politik praktis, telah memungkinkan masyarakat kehilang kohesi sosial-budaya hampir secara permanen.
Padahal menurut mereka, Kohesi sosial-budaya secara teoritik dan praktis merupakan modal utama pembangunan.
Perkembanganya dimana Keadaan menjadi makin ruwet karena pimpinan daerah, tidak terkecuali birokrat, cenderung memperdalam sentiment primordial tersebut paska hajatan politik praktis. Hal itu terjadi lantaran sejak awal mereka sudah terjebak dalam libirin sentimen etnis yang mereka ciptakan sendiri dengan cara meng-eksploitasinya.
Akibatnya mudah diduga, organisasi (birokrasi) pemerintahan yang diharapkan menjadi wadah peleburan (melting pot) masyarakat Maluku Utara yang sangat beragam secara etnis, dan karena itu organisasi (birokrasi) pemerintahan seharusnya mengelola aspirasi masyarakat menjadi program pembangunan daerah, tidak bisa bekerja secara maksimal.
“Jadi, seandainya kita mencari akar masalah stagnasi pembangunan daerah selama duapuluh satu, kita barangkali akan tidak segan menunjuk kelakuan politik pimpinan daerah (politisi dan birokrat) adalah salah aatu sebabnya” papar Murid Tonurio.
Kelakukan politik elit hanya salah satu sebab stagnasi pembangunan daerah di Maluku Utara.
Mereka mengklaim, Nama “Maluku Utara” barangkali harus kita akui menjadi salah faktor lain yang menjadi penghalang kemajuan pembangunan paska provinsi. Ada setidaknya dua alasan bisa diajukan. Pertama, sebagai entitas politik, nama “Maluku Utara” sangat problematik dilihat dari sisi “memori politik”. Karena Maluku Utara pernah menjadi salah satu kabupaten dari Provinsi Maluku, maka saat kita berurusan Pemerintah Pusat, di mana di situ kita menyebut “dari Provinsi Maluku Utara”, memori banyak elit birokrasi nasional segera tertuju pada asosiasi “Maluku Utara adalah salah satu kabupaten di Provinsi Maluku.
Masuk akal, karena hingga sekarang di Provinsi Maluku masih terdapat kabupaten yang bernama depan “Maluku”, yakni Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Maluku Tenggara, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat”jelasnya penuh logis.
Keadaan seperti ini hemat mereka sangat tidak menguntumgkan bagi Povinsi Maluku Utara, karena pelaksanaan pembangunan senantiasa dikerjakan dalam kerangka struktur negara” tandasnya.
Kedua, berhubungan dengan, dan merupakan kelanjutan dari, yang pertama, yakni “memori politik” elit nasional terhadap Maluku Utara. Lantaran banyak elit birokrasi Pemerintah Pusat, menganggap Maluku Utara masih menjadi salah satu kabupaten dari Provinsi Maluku, saat mereka membuat perencanaan Maluku Utara mereka tempatkan sebagai kabupaten.
Yang hendak ditegaskan di sini adalah: Karena penyelenggaran politik keneragaan menjadi basis pelaksanaan pembangunan daerah; artinya pembangunan daerah digelar harus selalu dalam kerangka struktural, maka ketika mayoritas pembuat kebijakan di tingkat pusat masih memiliki anggapan bahwa Maluku Utara menjadi salah satu kabupaten dari Provinsi Maluku, saat mengambil keputusan, meraka akan menyamakan status politik Maluku Utara selevel dengan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Maluku Utara” pungkasnya.
Jadi, sudah saatnya, orang Maluku Utara memikirkan kemungkinan mengganti nomenklatur Provinsi Maluku Utara. Keinginan seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Segelintir akademisi pernah melontarkan keinginan untuk mengubah nama Provinsi Maluku Utara. Sayangnya, suara mereka tidak mendapat respon yang memadai dari politisi maupun pimpinan pemerintahan daerah.
“barangkali karena akademisi ini tidak memiliki kekuatan politik” gumanya.
Kelompok-kelompok masyarakat trasidisional memendam keinginan sama juga. Tetapi karena tidak dikelola secara sistemik, dan keinginan itu dalam banyak hal muncul dalam sebentuk diiidamkan terhadap masa lalu yang aman-sentosa hadir lagi dalam kekinian dan konsisibkita”, Henat mereka keinginan tidak menjadi diskursus yang serius.Masyarakat bahkan tidak direspon, dan cenderung meresitensinya.”tutup mereka(***)