OPINI

PATUNGAN ONGKOS TIKET PESAWAT UNTUK KEMERDEKAAN.

Oleh : Anies Baswedan

Untuk pertama kalinya saya berjumpa dengannya dan baru sekarang mendengar kisahnya. Mengesankan dan mengharukan.

Namanya Omar Baobed, usianya 78 tahun. Ia menceritakan peristiwa tahun 1947, yang ia dengar dari orang tuanya.

Di awal Juli 1947, kakek kami, A.R. Baswedan, kembali dari Mesir membawa dokumen pengakuan (de jure) Pemerintah Mesir atas kemerdekaan Republik Indonesia. Ia terdampar di Singapura. Ia lalu mencari dan mendatangi sebuah keluarga yang masih ada hubungan kerabat dengan ibu mertuanya di Semarang.

Keluarga itu adalah pasangan Syech Awab Baobed dan Siti Aisyah Basyarahil. A.R. Baswedan meminta bantuan mereka utk menjaga dokumen amat penting itu. Mereka setuju dan disimpanlah dokumen itu di lemari besi/brankas di rumah mereka yang beralamat No.7, lorong 35, Geylang Road, Singapura.

***

Pada 10 Juni 1947, dokumen pengakuan ditandatangani oleh Perdana Menteri sekaligus Menlu Mesir, Nokrashy Pasha. Negara Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto dan de jure.

Delegasi yg terdiri dari H. Agus Salim, A.R. Baswedan, Nazir Pamoentjak, dan Rasjidi memutuskan dokumen itu harus segera dibawa ke tanah air, utk disampaikan kepada Bung Karno. A.R. Baswedan ditugaskan berangkat dari Kairo ke Jakarta lewat Bahrain, Karachi, Kalkuta, Rangoon, lalu Singapura, kemudian Indonesia.

Dalam perjalanan pulang, sesampainya di Singapura, ia sdh tidak punya ongkos lagi utk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Dia menemui tokoh2 di Singapura yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. Melakukan fund raising untuk bisa beli tiket, agar bisa terbang ke Jakarta.

Akhirnya pada 13 Juli 1947, AR Baswedan berangkat naik pesawat KLM dari Singapura ke Kemayoran. Menggunakan tiket hasil urunan para simpatisan perjuangan kemerdekaan Indonesia yang diorganisir oleh seorang pengusaha bernama Ibrahim Assegaf.

Sebulan lamanya perjalanan dari Kairo ke Jakarta. Karena seperti di Singapura, di hampir setiap kota ia harus berhenti beberapa waktu, fund raising untuk beli tiket agar bisa meneruskan perjalanannya. Berbekal kemampuan bahasa Arab, Inggris dan Belanda, dia datangi tokoh2 setempat. Mencari simpatisan, mencari dukungan biaya untuk beli tiket. Semua tiket pesawatnya adalah urunan dari simpatisan perjuangan kemerdekaan Indonesia di tiap kota yang dia kunjungi.

***

Kami memang pernah mendengar langsung kisahnya bahwa ia terdampar di Singapura. Kehabisan bekal dsb, tapi baru tadi malam dengar detail kisah penitipan dokumen itu.

Dalam kunjungan ke Singapura kali ini, beruntung bisa menyempatkan utk berkunjung ke keluarga ini.

Keluarga ini sudah pindah dari Geylang Road, kini tinggal bersama anaknya, Feisal, seorang guru di Singapura. Beliau tunjukkan foto-foto orang tuanya sembari menceritakan kisah masa lalu yang beliau dengar dari orang tuanya.

Begitulah perjalanan perjuangan dan perjalanan hidup. Bersyukur bisa mendengar langsung, seakan melakukan napak tilas.

Dokumen pengakuan itu memang amat penting pada masanya. Kakek pernah mengisahkan kalimat perpisahan yang diucapkan H. Agus Salim padanya saat berpisah di Kairo, “Bagi saya tidaklah penting apakah Saudara sampai di Tanah Air atau tidak. Yang penting, dokumen-dokumen itu sampai di Indonesia dengan selamat!”

Amanat itu dijalankan hingga akhirnya dokumen itu sampai di tanah air, diserahkan langsung kepada Bung Karno di Gedung Agung, Yogyakarta. Sejak saat itu Republik baru ini resmi memiliki pengakuan internasional.(***)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *