2022 TAHUN NGERI-NGERI SEDAP.HANYA EL CLASICO.(BUKAN ANIES VS JOKOWI)
By.USMAN SERGI,SH/Jurnalis.
Percaturan Pilpres kian dinamis tak pelak bias menyesalkan dan menyesatkan bangsa.Aroma perang dingin dan panas tersaji dalam hitungan detik di medsos dan media maeanstream.
Anggap saja begitulah namanya ritual politik praktis yang sarat kepentingan apalagi ditengah game politik yang berlangsung tanpa ada rule of game penyelenggara Pemilu seiring belum diberlakukan sistem tahapan Pilpres.
Politik praktis memang genit menabuh benderang kepentingan sebelum Pluit pertandingan dibunyikan wasit.
Tahapan pilpres masih hitungan bulanan kedepan dan urusan free kick belum bisa diberlakukan Bawaslu saat ini.Tetapi Paling tidak ada gambaran dan pembelajaran bagi KPU dan Bawaslu untuk bagaimana mendesain rule of game pilpres seperti apa nanti yang bisa mengakomodasi manuver politik kepentingan secara sistematis-ideal berdemokrasi yang santun dan bermartabat.
Bukan Anies Vs Jokowi.
Siapa melawan siapa dalam percaturan ini sehingga tensi politik kian panas ? Asumsi umum nya memang Anies versus Jokowi.
Hemat saya, tidak !
Sungguhan pertarungan yang kita saksikan di berbagai media sosial dan media maeanstream sampai saat ini sesungguhnya adalah pertandingan El clasico.Pertarungan abadi dari dua kutub politik besar yakni kutub perubahan versus kutub pro status quo.
Kebetulan saja ada Anies seorang diri yang muncul di ruang perubahan -diterima bulat pemimpin tunggal perubahan – dan otomatis berhadapan dengan Jokowi yang entah terseret atau tidak di barisan pro status quo.Top mind menyimpulkan ini pertarungan Anies Vs Jokowi.
Sekali lagi tidak ! Di runut dari jejak Anies, mantan Gubernur DKI Jakarta tak sedikitpun mengobarkan bendera perang baik kepada capres siapapun apalagi kepada Jokowi.Anies e atas anak bangsa yang hendak mengambil tanggun jawab kebaikan bangsa lalu mencalonkan diri sebagai caores ya kemudian harus menyampaikan gagasan-gagasan masa depan bangsa nya.
Penulis sendiri yang sempat bertemu langsung 4 mata dengan Anies hanya mendapatkan pesan inti”jangan menghujat terutama kepada Pak Presiden Jokowi karena beliau tersisa kurang dua tahun lagi sebagai Presiden”.
Demikian kita bisa lihat di berbagai vidio dan pidato Anies yang disiarkan televisi dan diberitakan koran, Anies hanya mengemukakan politik gagasan masa depan dia diselingi prestasi kepemimpinanya.Lain tidak apalagi menghujat capres lain dan Presiden.Jejak digital bisa membuktikan itu.
Jejak anies bukanlah aktivis progresif kiri – kanan, tetapi pemikir nasional berkaliber dunia yang pemikiranya sarat dengan tenunan kebangsaan alias persatuan.Lihat saja desertasi PhD nya yang membahas bagaimana menenun persatuan NKRI.
Tegas !Anies sejatinya datang dengan visi dan misi sendiri dengan muatan Persatuan dan kemajuan bangsa nya.
Fakta bahwa Anies dikonotasikan pemimpin perubahan hanya karena ada pertemuan gagasan dan cita-cita yang sama yang sudah genuine dalam diri mereka.Barusan perubahan bukan lahir ketika Anies caores tetapi lahir semenjak era capres Prabowo sebagai respons atas keemimpinan Presiden Jokowi part I.
Perbedaan antar Anies dengan mereka hanya pada soal cara pendekatan.Entah merasa sebagai korban kebijakan kemudian merepresentasikan sikap mereka sedemikian rupa sampai dirasa mengusik pro status quo.
Anies jelas dan tegas sikap politiknya, ia ingin proses perubahan ini berlangsung secara sistematis dan damai.Bahwa proses pilpres harus sesuai mekanisme dengan mengedepankan gagasan bukan hujatan.
Ini yang nampak tidak bertemu antara Anies dengan mereka.Soal solusi, Anies tidak dalam posisi kek Sultan atau raja dimata barisan perubahan yang main titah dan tentu dia terbatas pada himbauan moral.
Problem kian runyam ketika sungguhan politik program dan prestasi justru melahirkan buas saling hujat menghujat.
Alegan nya, postingan prestasi dan gagasan-gagasan cerdas yang argumentatif ya disikapi apel to apel dengan prestasi yang sama atau jika hendak dikuliti kelemahan nya ya di sampaikan dengan argumentatif ilimiah sehingga diskusinya mencerdaskan dan mengademkan.Semua pihak harus menghindari politik hujat menghujat.
Ironis jika Diskusi publik hendak digiring pada issu-issu yang tidak produktif bagi persatuan bangsa dan kekuatan bangsa dalam percaturan global.Sayang bilang sayang jika Issu -issu politik identitas, intoleran seolah mengiliminasi politik prestasi dan prestise bangsa.
Sementara kenapa presiden Jokowi harus terseret sebagai lawan nya Anies padahal Jokowi bukan lagi kontestan pilpres karena bukan capres apalagi telah diharamkan konstitusi mencapreskan diri dan atau harus diperpanjang kekuasaan nya.Ini menjadi problem tersendiri.
Why ! Pertama karena memang tidak ada capres di barisan pro status quo yang berani muncul dengan tawaran gagasan ala pro status quo dalam momentum yang sama menandingi gagasan-gagasan Anies bahwa bangsa telah dalam kondisi kemapanan sehingga tidak ideal dan beresiko dengan gagasan perubahan.Atau mungkin saja ada tetapi capres pro status quo seperti nya malu-malu kucing mengungkapkan.
Idealnya apa gagasan coba disampaikan dengan argumentasi yang logis sehingga diharapkan mengisi ruang kosong politik agar tidak dimanfaatkan sebagai kesempatan menghujat dan mengumpat.
Ke dua, bisa jadi ada kepentingan politik dan tentu bukan kepentingan politik negara-konstitusional karena siapapun presiden otomatikli melanjutkan ini.Ada interesting politik yang hendak dilanggengkan.Apakah kepentingan oligarkis? Wallahualambissawab, hanya merekalah yang tahu.
Ketiga, presiden mungkin saja khilaf dan lupa menggunakan hati dan pikiran seorang negarawan dan akhirnya terseret dalam kepentingan capres -capres barisan pro status quo.Pidato soal pilih Presiden yang berambut putih dan sudah kerutan di wajah menyuratkan pesan kuat Presiden Jokowi terlibat dalam kepentingan Capres.Padahal Jokowi adalah presiden yang harus netral dan menjaga jalanya Nagara konstitusi ini tetap berlangsung aman dan damai dalam game yang fairnes.
Sebagai rakyat kita sedih dengan terpolarisasinya presiden kita pada interes politik di pilpres.Selain potensial kehilangan wibawa, Presiden Jokowi bakal meninggalkan legacy buruk bagi generasi bangsa kelak yang bakal menjadi pembelajaran buruk bangsa sepanjang jalan.
Sesuatu yang tidak kita inginkan dan harapkan karena bakal menjadi virus bangsa.Pembelajaran buruk yang bisa jadi potensial memguide para presiden kita ke depan.Lebih buruk lagi Jokowi potensial gagal dalam transisi kepemimpinan bangsa.Kasus Munas KAHMI dan Al Irsyad menguat hal itu.
Jeda !
Harus ada langkah solutif jangka pendek untuk mengurai problem politik di level masa.
Mungkin manuver “rekonsiliasi politik” ala Anies dengan bertemu Putra Presiden Jokowi Gibran Rakbumi di Sola lalu bisa jadi role model.Kualitas nya bisa ditingkatkan lagi yakni Pertemuan Anies -Jokowi.
Pasti bikin adem walau hanya dengan modal gestur senyum keduanya yang sama-sama The Smiling Leader.
Senyum merekah Anies-Jokowi saat bersua wao !bak hujan deras ditengah kebakaran hutan gambut.
Jeda konflik bisa terjadi secara natural dan sambil jalan keduanya mungkin membangun kesepakatan bersama yang ideal bagi perjalanan bangsa ke depan.Tegas ! kesepakatan untuk kepentingan bangsa, not enother.
Jika bisa terwujudkan, baik Anies dan Presiden Jokowi bakal menjadi simbol politik rekonsiliasi bangsa yang beradab karena mampu mengambil sikap elegan untuk kemaslahatan bangsa dan rakyat.
Bagi Presiden Jokowi, informal meeting dengan Anies bakal mengiliminasi issu panas selama ini seolah-olah Presiden Jokowi adalah simbol boneka Oligarki bukan pemimpin negara yang seutuhnya.
Tak kalah penting, Presiden Jokowi bakal meninggalkan legacy berharga tentang sikap negarawan seorang Presiden ditengah bergelindangnya interes politik dengan kepentingan negara, sebuah Role model bagi presiden NKRI ke depan.
Bisa ?Ya bisalah kenapa tidak.Semuanya kembali pada jiwa besar setiap pemimpin bangsa yang besar ini.
Harus ada kemauan bersama untuk membangun keadaban bangsa yang unggul bahwa Indonesia yang pancasilais itu lebih mementingkan kedamaian ketimbang penghujatan karena kepentingan para elitnya.
Ada Maruah martabat bangsa di pertemuan Anies-Jokowi karena sesama anak bangsa dan elitnya sama-sama cerdas emosionalnya untuk duduk bersama menyelesaikan persoalan bangsa hari ini untuk menatap masa depan bangsa yang gilang gemilang.
Susah apa sih Anies Baswedan -Joko Widodo bersilaturahmi untuk kebaikan dan kemaslahatan bangsa ?Kan katanya punya tujuan untuk kebaikan dan kemajuan bangsa, begitu pertanyaan krusial nya.!