OPINI

PILPRES 2024, KEDAULATAN RAKYAT DALAM JEBAKAN KEPENTINGAN ala BATMAN DIBALIK PT 20%.

By.USMAN SERGI/Jurnalis.

 

Teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara berada di tangan rakyat. Teori ini berusaha mengimbangi kekuasaan tunggal raja atau pemimpin agama. Dengan demikian, teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa Teori ini menjadi dasar dari negara-negara demokrasi.

Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar yang menganut paham kedaulatan rakyat.UUD 1945 sebagai konstitusi tertinggi menyatakan dengan tegas bahwa kedaulatan tertinggi negara berada di tangan rakyat…!

Perwujudan paham kedaulatan rakyat itu salah satunya melalui pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat.

Perkembangan Pilpres 2024.

Sejalan dengan penerapan sistem demokrasi dan paham kedaulatan rakyat, Indonesia kembali menyelenggarakan pemilihan Presiden secara langsung di tahun 2024.

Namun seiring perkembangan, Dinamika politik di pemilihan Presiden 2024 masih dalam ketidakpastian politik.Bahasa keren nya masih dinamis.

Belum ada paket koalisi partai politik yang bisa memenuhi kuota 20% untuk bisa mencalonkan pasangan calon Presiden -Wakil presiden.

Nama-nama capres yang telah unggul di hasil survey dalam setahun terakhir seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto belum juga mengantongi tiket capres.

Anies baru di deklarasikan Nasdem (5%}, Prabowo masih di jagokan Partai besutan nya partai Gerindra (13%) dan apes nya Ganjar Pranowo yang belum juga mendapatkan perahu partai politik.
Partai-partai politik pemilik mandat pencalonan Presiden rupanya masih asik memainkan interes politik mereka dan untuk itu nampaknya pongah dengan aspirasi rakyat yang berkembang.
Kondisi politik yang kontras dalam negara demokrasi yang menganut paham kedaulatan rakyat.
Kentara ! Belum ada kesadaran moral pemangku kepentingan di partai politik merepresentasikan Pilpres sebagai wujud implementasi kedaulatan rakyat.

JJ. Rousseau menyatakan kedaulatan pada hakekatnya merupakan perwujudan kehendak yang umum suatu bangsa yang membentuk Negara sebagai hasil dari kemauan bersama rakyat yang dikenal dengan istilah social contract atau perjanjian masyarakat.

Teori Kedaulatan Rakyat memberikan pengertian bahwa kedaulatan negara dipegang oleh rakyat. Artinya, rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara tersebut. Praktisnya, Aspirasi rakyat harus menjadi basis pengambilan keputusan politik partai.

Teori ini merupakan dasar bagi berdirinya negara-negara demokrasi. John Locke, Montesquieu dan Jean-Jacques Rousseau merupakan tokoh-tokoh penting dalam berdirinya teori ini.

Jebakan Batman PT 20%.

Lahirnya mekanisme Presiden ducurigai sebagau upaya sistematis untuk mengkebiri prinsip kedaulatan rakyat.Semangatnya tidak beririsan dengan spirit direc election dan prinsip dasar pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Oleh karena itu, Aturan yang tertuang dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 digugat para pakar dan kelompok kepentingan yang merasa hak konstitusional sebagai warga bangsa dirugikan oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Alasannya, syarat pasangan calon presiden dan wakil presiden harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR membatasi tiap warga negara untuk maju.

Mereka meminta hakim MK membatalkan ketentuan Pasal 222 UU Nomor 7/2017.
Pasal 222 UU Nomor 7/2017 itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 Ayat (2), 6A Ayat (5), dan 6A Ayat (2) UUD 1945.

Menurut Refly, kondisi faktual pada Pilpres 2019 di mana pemilih tidak mendapatkan calon-calon alternatif terbaik dan adanya polarisasi politik yang kuat, dapat menjadi alasan MK untuk memutuskan bahwa ambang batas presiden tidak relevan lagi.

Ia menuturkan, masalah ambang batas presiden merupakan masalah pokok utama terkait pengembangan demokrasi di masa mendatang.

PT 20% potensial menimbulkan ancaman serius terhadap sistem demokrasi.

1. Halangi hak DPD
Menurut La Nyalla dan kawan-kawan, Ketentuan tersebut dinilai menghalangi hak para anggota DPD untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden.

Kehadiran presidential threshold dianggap hanya memberikan akses khusus kepada para elite politik yang memiliki kekuatan, tanpa menimbang dengan matang kualitas dan kapabilitas serta keahlian setiap individu.

Padahal, begitu banyak putra-putri daerah yang hebat dan mampu serta sangat layak untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden.

Bahwa eksistensi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu nyatanya telah merugikan daerah dan semakin memperlebar kesenjangan antara daerah dan pusat,” demikian petikan berkas permohonan.

2. Tak bisa usung capres

Sementara itu, menurut Yusril, presidential threshold telah menghalangi partainya untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Sebab, pada pemilu sebelumnya, suara PBB hanya sebesar 1.099.849 atau 0,79 persen.

Adapun untuk dapat mengusung presiden dan wakil presiden, partai politik, atau gabungan parpol setidaknya harus mengantongi 20 persen dari jumlah kursi DPR.

“Bahwa sebagai partai politik peserta pemilu, Pemohon II seharusnya memiliki hak konstitusional untuk mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945,” bunyi permohonan.
Menurut Yusril, ketentuan tentang presidential threshold telah melanggar Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945.

3. Dikontrol oligarki
Menurut La Nyalla, Yusril, dkk, berlakunya presidential threshold menyebabkan pemilu di Indonesia mudah dikontrol oleh oligarki dan pemodal.

“Keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu yang menghilangkan probabilitas bagi partai politik
untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden secara mandiri, menjadi ruang munculnya fenomena hijacking democracy (pembajakan demokrasi), yang menempatkan pemodal sebagai pihak yang paling berdaulat di Indonesia, bukan lagi rakyat,” bunyi permohonan.

4. Menutup perubahan
Ketentuan tentang presidential threshold dinilai mengekang aspirasi rakyat untuk tidak berubah selama 5 tahun.

Sebab, Pasal 222 UU Pemilu mensyaratkan ambang batas pengusungan calon presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen perolehan kursi di DPR RI atau 25 persen suara sah nasional berdasarkan hasil pemilu sebelumnya.

“Mana mungkin syarat pencalonan presiden tersusun dari hasil pemilu 5 tahun sebelumnya. Tentu selama 5 tahun berjalannya pemerintah, terdapat perubahan aspirasi politik dari rakyat,” bunyi permohonan.
Ketentuan tentang presidential threshold pun dinilai lebih menguntungkan partai politik lama.

Parpol lama dinilai akan cenderung mempertahankan kekuasaannya dan menutup peluang perubahan atau reformasi.

Padahal, kekuasaan yang bertahan lama cenderung koruptif. Oleh karena itu, membutuhkan pembaruan.

5. Sebabkan diskriminasi
Selain itu, menurut para pemohon, ketentuan tentang presidential threshold telah mengabaikan prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) dan pemerintahan.

Padahal, perlakuan yang adil dan setara seluruh warga negara telah diatur secara jelas dalam Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945.

Presidential threshold dinilai mempersempit peluang munculnya tokoh-tokoh alternatif dalam kontestasi pemilihan presiden.

“Pemberlakuan Pasal 222 UU Pemilu juga telah mengakibatkan adanya ketidakadilan dan diskriminasi dalam proses pemilu presiden dan/atau wakil presiden,” bunyi petikan permohonan.

6. Ciptakan polarisasi
Konsekuensi logis dari berlakunya presidential threshold, menurut pemohon, yakni hanya menghadirkan 2 pasangan calon presiden.

Berkaca dari Pemilu 2019, minimnya jumlah calon presiden terbukti menghadirkan politik identitas, sebaran berita bohong atau hoaks, hingga eksploitasi ujaran kebencian yang menjadikan masyarakat terpecah menjadi 2 kelompok besar, mengikuti pasangan calon presiden yang didukungnya.

Presidential threshold dinilai telah melahirkan kegaduhan politik atau polarisasi dukungan politik yang berlarut-larut dan mengancam rasa aman dan keutuhan masyarakat.
Oleh karenanya, menurut La Nyalla, Yusril, dkk, Pemilu 2019 telah memberikan pelajaran berharga bagi para pembentuk kebijakan (policy maker) untuk mengeliminasi atau menghapus pemberlakuan presidential threshold.

7. Pelemahan sistem presidensial
Menurut Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945, presiden memegang kekuasaan pemerintahan Indonesia. Hal ini merupakan salah satu amanat reformasi yang berupaya memperkuat sistem pemerintahan presidensil.

Namun, menurut para pemohon, amanat ini menjadi terderogasi akibat berlakunya presidential threshold. Sebab, ketentuan itu memaksa calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai atau koalisi partai politik demi memenuhi syarat ambang batas.
Presidential threshold dinilai bisa mereduksi inti sistem presidensial, yakni mengedepankan kualitas kandidat agar hadir presiden yang bukan hanya didukung oleh besaran kursi atau suara parpol, tetapi juga mempunyai kualitas kepemimpinan yang terbaik.

Sebaliknya, La Nyall, Yusril, dkk menilai, penghapusan Pasal 222 UU Pemilu justru akan mendorong partai politik untuk mengajukan calon-calon terbaiknya. Sebab, jika tidak, calon tersebut akan dikalahkan oleh calon-calon alternatif yang muncul dan lebih memiliki kapasitas.

Atas alasan-alasan tersebut, La Nyalla, Yusril, dan para pemohon lainnya meminta Mahkamah mengabulkan permohonan mereka untuk membatalkan ketentuan tentang presidential threshold dalam UU Pemilu.

Kongklusi !

Sayangnya gugatan  demi gugatan termasuk gugatan bengawang Tata Negara Yusril Ihza Mahendra dianggap angin lalu para hakim MK.

Padahal, Gugatan-gugatan terhadap PT 20% dari kalangan ahli dan tokoh bangsa itu menunjukan ada persoalan serius dari PT 20%.

Terbukti, Pilpres 2024 potensial di tikung kepentingan partai politik kek sistem pemilihan tak langsung dimana Presiden dipilih secara partisan oleh Parpol melaui wakil nya di MPR.

Apa jadinya jika koalisi parpol semau gue mencalonkan capres -capres yang hanya mengantongi hasil survey 1,0% ? namun mengabaikan capres juara survey.

Survey memang bukan tahapan formal Pilpres tetapi survey merupakan ikhtiar ilmiah untuk mendukung penguatan demokrasi rakyat.

Survey hemat saya merupakan Pilpres permulaan yang menggambarkan siapa capres yang layak diusung koalisi parpol bukan sebaliknya rakyat dipaksakan memilih capres yang diinginkan partai politik !

Bidakara, Jumat 2/11/222.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *