OPINI

KHIANAT

Smith Alhadar Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)

Politik sering mengubah teman jadi lawan. Bukan lantaran watak politik itu sendiri, tapi karena ambisi para politisi. Mereka bersembunyi di balik adagium “politik itu kotor”.

Maka dalam sejarah sejak zaman kuno, pengkhianatan sesama teman terjadi di semua negara dari semua peradaban. Politik kekuasaan adalah biang dari pengkhianatan, pengasingan, pemenjaraan, bahkan pembunuhan orang-orang dekat.

Sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara juga penuh dengan intrik istana yang masih kita tiru sampai sekarang. Di negara-negara demokrasi modern yang beradab, tindakan keji untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan sudah jarang terjadi.

Ini karena adanya mekanisme saling kontrol antarlembaga negara, hukum ditegakkan, pers bebas dijunjung tinggi, masyarakat sipil tumbuh subur, dan perebutan kekuasaan dilakukan melalui pemilu yg fair; juga kebebasan berpendapat dijamin dan, terutama, moral dan etika dijadikan pemandu dalam berpolitik.

Di negara berkembang, prinsip demokrasi demi menciptakan negara yang kuat, makmur, dan beradab, sering dilanggar, sehingga melahirkan instabilitas, bahkan perang saudara.

Yang lebih miris, elite politik justru sering menjalankan politik “tujuan menghalalkan cara” dengan mengabaikan moral dan etika. Secara paradoks, mereka mengidentikkan kepentingan mereka sendiri dengan kepentingan negara.

Dalam sejarah Indonesia modern, saling menyingkirkan teman sejawat atau menyingkirkan tokoh yang dipersepsikan sebagai ancaman terhadap kekuasaan — yang dipandang sebagai penghalang bagi ambisinya meraih kekuasaan — masih juga terjadi, bahkan makin gencar belakangan ini. Soekarno dan Soeharto melakukan hal itu.

Megawati Soekarnoputri diberitakan mencampakkan perjanjian Batutulis 2009 yang dibuat dengan Prabowo Subianto. Sesuai perjanjian, PDI-P akan mengusung Prabowo dalam pilpres 2014. Tapi ia berpaling pada padaJokowi yang punya potensi meraih kekuasaan lebih besar.

Pada gilirannya, Jokowi mengkhianati Prabowo dengan bersedia menjadi lawan Prabowo dalam pilpres. Sebelumnya ia telah berjanji pada Ketum Partai Gerindra itu, yang sangat berjasa pada karier politiknya, untuk tidak ikut pilpres 2014.

Dalam pilpres 2019, Prabowo berjanji pada pendukungnya untuk timbul tenggelam bersama rakyat. Nyatanya Prabowo timbul (dengan menjadi menteri) sedangkan pendukungnya dibiarkan tenggelam. Bahkan Prabowo juga mematahkan janjinya untuk tidak ikut pilpres 2019.

Anies taat pada janjinya, tapi Prabowo justru membujuk mantan Gubernur DKI Jakarta untuk mencampakkan perjanjian itu untuk menjadikannya cawapres dalam pilpres 2019. Sandiaga Uno juga menandatangani perjanjian dengan Anies dan Prabowo bahwa dia akan bertugas di Jakarta mendampingi Anies sampai masa baktinya selesai pada 2022.

Nyatanya, dia dan Prabowo sendiri membuang perjanjian itu ketika dia menerima pinangan menjadi cawapres Prabowo pada pilpres 2019, sekaligus meninggalkan Anies. Tak sampai di situ. Kini Sandi tak menyembunyikan ambisinya untuk berada di puncak kekuasaan sebagai capres atau cawapres melawan Prabowo bila ada parpol yang mengusungnya. Kekuasaan memang nikmat, nyaris sama dengan kenikmatan yang ada di surga.

Yang tak diduga-duga, Sandi melangkah lebih jauh, bahkan terlalu jauh, dengan mengumumkan Anies berutang padanya sampai Rp 50 miliar. Utang untuk membiayai pilgub 2017 di mana Anies dan Sandi adalah pasangan cagub-cawagub. Sebagaimana biasa, Anies tak menggubris omong kosong ini.

Tapi melalui orang-orang yang menghubunginya untuk menanyakan kebenaran isu ini, Anies mengaku perjanjian utang-piutang dengan Sandi memang ada. Tapi klausul perjanjian dengan tegas dan jelas menyatakan, piutang Anies akan dibayar bila keduanya kalah dalam pilgub. Bila menang, utang-piutang ini dinyatakan selesai.

Simpatisan Anies mengkonter dan mengecam Sandi, yang berkat kemenangannya bersama Anies, ia menjadi politisi yang populer. Menyadari populeritasnya bisa merosot dalam konteks politik elektoral — bila ia menudutkan Anies dengan fitnah — Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini menyatakan dia tak mau memperpanjang masalah ini. Setelah shalat istikharah, katanya, ia mengikhlaskan piutang Anies itu. Sungguh Sandi arogan. Dengan menyatakan demikian, sebenarnya ia merendahkan Anies dan mencoba mempertahankan citranya sebagai hartawan yang dermawan dan tulus.

Tapi Sandi keliru. Rasanya Anies dan simpatisannya tak akan menerima testimoninya. Mereka mendesak dia untuk membuka ke publik isi perjanjian itu. Juga isu tentang perjanjian Anies-Prabowo. Walakin, harapan publik akan sia-sia karena kedua tokoh tak akan membukanya, yang akan menjadi bumerang bagi mereka. Bukan tidak mungkin, apa yang diklaim Sandi itu merupakan desakan dari istana.

Memang rasanya tidak mungkin Anies berjanji pada Prabowo untuk tidak ikut pilpres 2024 karena perhelatan itu masih jauh, sementara di pilgub pun Anies-Sandi belum tentu menang. Lagi pula, Anies bukan ketua parpol yang bisa mencapreskan dirinya sendiri. Anies akan terlihat jumawa dan irasional bila pada 2016 berjanji tak ikut pilpres delapan tahun lagi. Diamnya Prabowo dalam hal ini menunjukkan perjanjian semacam itu memang tidak ada.

“Keikhlasan” Sandi merelakan Rp 50 miliar juga tidak masuk akal. Sandi adalah seorang pengusaha, yang biasanya melihat pertemanan sebagai hubungan transaksional. Kalau memang perjanjian Anies-Sandi dan Anies-Prabowo memang seperti yang mereka klaim, haqul yakin mereka akan buka ke publik karena inilah instrumen politik paling efektif untuk melakukan pembunuhan karakter Anies di mana, dalam konteks pilpres, Anies berada di kubu seberang. Bukankah dalam pandangan mereka politik itu kotor? Terlebih bos mereka, Jokowi, pasti senang dengan isu yang menghantam Anies ini.

Memang munculnya isu ini saat ini, bukannya sejak dulu, tak bisa dilepaskan dari konspirasi besar yang diorkestrasi tangan-tangan yang powerful untuk menyingkirkan Anies dari arena atau mengalahkannya dalam pilpres. Kendati belum resmi, Nasdem, PKS, dan Demokrat telah menyatakan tekad mereka mengusung Anies. Dan ekektabilitas tokoh ini meningkat dari hari ke hari.

Mengingat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo kemungkinan tak ikut kompetisi pilpres, maka saingan Prabowo yang sangat berat adalah Anies. Kemungkinan Ganjar tak dicapreskan berdasar dua faktor berikut. PDI-P nyaris tak akan mengusungnya karena Megawati tak menghendakinya. Kedua, belakangan ini, Jokowi memperlihatkan keberpihakannya pada Prabowo. Itu terlihat dari relawan Jokowi — yakni, Ganjar Mania — yang selama ini menyatakan dukungan pada Ganjar kini berpindah pada Prabowo. Mungkin atas dorongan Jokowi.

Konspirasi besar untuk menyingkirkan Anies sudah lama tercium. Awalnya, menteri dan relawan mewacanakan Jokowi tiga periode. Reda sebentar, lalu muncul kembali setelah tiga ketum parpol mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden. Gagasan ini mendapat tantangan keras dari publik, civil society, dan para pakar hukum tata negara.

Bahkan mayoritas parpol parlemen, termasuk PDI-P, menolak. Tapi ide ini tak juga mati. Tiba-tiba Ketua MPR Bamsoet dan Ketua DPD Lanyala mengangkat kembali wacana ini. Upaya menyingkirkan Anies juga terus berlangsung.

Santer diberitakan, istana menekan KPK untuk segera mempersangkakan Anies dalam kasus Formula-E. Lalu, diberitakan Luhut Binsar Panjaitan melakukan pertemuan khusus dengan Ketum Nasdem Surya Paloh di London untuk mendesak Paloh menarik diri dari pencapresan Anies. Di luar itu, banyak sekali kebijakan dan pergerakan Anies dirusak dan dihambat.

Mengapa hak politik Anies coba dikebiri? Negara demokrasi macam apa ini? Benarkah tangan-tangan jahat itu sejalan dengan Pancasila? Banyak pertimbangan dan kepentingan establishment yang melihat Anies sebagai tokoh yang akan mengubah status quo. Terkait kepentingan Jokowi, Anies dipandang sebagai calon presiden yang tak akan begitu saja meneruskan kebijakan korup pemerintah yang banyak dikiritik publik dan akan menghentikan ambisi Jokowi membangun dinasti politik.

Dari sisi oligarki politik, kemunculan Anies sebagai orang nomor satu negeri ini akan mengakhiri hegemoni parpol-parpol besar yang menikmati ekonomi rente dan kadang memanipulasi ideologi negara. Sedangkan oligarki ekonomi tak ingin rezim yang melayani kepentingan mereka berakhir. Dan China menghendaki blue print pembangunan dan kebijakan pemerintah Jokowi dilanjutkan.

Anies ditakar mereka dari rekam jejaknya. Ia tokoh berintegritas, mandiri, tak dapat dikendalikan, dan intoleran terhadap ketidakadilan. Alhasil, tokoh ini dipandang sebagai penentang establishment yang akan menggeser politik luar negeri lebih ke tengah untuk mengimbangi China dan AS yang berkompetisi di Indo-Pasifik, terutama di Laut China Selatan.

Politik condong ke China yang dijalankan rezim Jokowi memang tidak populer karena dipandang menggadaikan kedaulatan negara demi cuan China. Sayang, ketakutan pada bayang-bayang Anies ini diperlihatkan dengan cara-cara yang tidak fair dan vulgar, bukan dengan ilmu pengetahuan dan kearifan. Tidak apel to apel jika kecerdasan dan visi besar dilawan dengan kejahilan tanpa visi.

Politik primitif “tujuan menghalalkan cara” dihidupkan kembali sehingga kita merasa seolah sedang hidup di zaman Orde Baru dalam bentuknya yang paling buruk di mana lembaga-lembaga negara, kampus, intelektual, dan civil society dikooptasi untuk melanggengkan kekuasaan.

Pengkhianatan, penindasan, pemenjaraan, konspirasi, bahkan pembunuhan, dijalankan demi mempertahankan atau membuka jalan pada kekuasaan sebagaimana diajarkan Machiavelli atau diktum Nietzsche bahwa kekuasaan adalah moral itu sendiri. Wallahu ‘alam bissawab!

Tangsel, 10 Februari 2023.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *