Untuk pertama kalinya sejak 2014, bangsa ini berjalan tanpa pikiran. Juga etika dan norma. Tidak ada peta jalan (road map) untuk menuntun perjalanan bangsa di tengah tantangan internal dan eksternal yang serius, dinamis, dan rumit.
Tiba-tiba saja orang-orang pandai berhenti berpikir dan menyerahkan nasib bangsa kepada pemimpin yang tak punya gagasan tentang bagaimana cara bangsa dimajukan dan kredibilitasnya sebagai bangsa muda yang sedang bangkit dihormati bangsa lain.
Sebagian besar cerdik pabdai itu tak tahu lagi benar-salah, baik-buruk, pantas-tidak pantas. Menurut Ketum Muhammadiyah Prof Haedar Nashir dalam tulisannya “Keringkihan Berbangsa”, mentalitas lemah yang bersenyawa dengan sistem yang sama lemahnya, akhirnya membuahkan daur ulang kesalahan demi kesalahan dalam kehidupan berbangsa.
Sementara pemerintahan Jokowi bukan saja tidak hadir untuk menyelesaikan masalah, malah ikut memproduksi masalah. Fungsi wasit dan adil menjadi hilang dari negara dalam mengatasi perbedaan. Dari kuasa negara yang tidak objektif itulah lahir arogansi dan kejahilan.
Presiden Jokowi justru sibuk cawe-cawe dalam mengatur koalisi parpol dan mengkondisikan para bakal capres-cawapres yang akan berkontestasi di pilpres. Bakal capres yang dianggap tak meneruskan legacy-nya hendak disingkirkan. Sejak kapan outgoing presiden di sebuah negara demokrasi dibolehkan mengatur pilpres sedemikian vulgarnya?
Hanya bacapres yang berjanji akan meneruskan legacy-nya yang di-endorse. Pertanyaannya: memangnya Jokowi punya legacy? Kalau yang dimaksud adalah infrastruktur, politik dinasti, korupsi, dan utang yanh menggunung, memang iya.
Tapi legacynya seharusnya berupa gagasan besar sebagaimana yang diwariskan para founding fathers, seperti Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, dan Muhammad Natsir. Karena Jokowi tak punya gagasan, dan karena itu tak apple to apple dengan tokoh-tokoh itu — bahkan tak sebanding dengan seluruh presiden RI sebelumnya — saya sedang tidak berharap ia meninggalkan legacy gagasan.
Kalau ia tahu diri, tidak mengintervensi proses pilpres, tidak menggunakan fasilitas negara untuk mengatur siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh ikut pilpres, serta siapa yang harus menang, maka ini akan mnjdi satu-satunya legacy-nya yang berharga bagi kelangsungan hidup demokrasi bangsa ini. Tapi Jokowi sudaj tak dapat diingatkan soal ini.
Kalau saja Jokowi punya pikiran dan sepenuhnya mencintai bangsanya, seharusnya ia tahu kelemahan pemerintahannya dan berharap penggantinya adalah pemimpin dengan kemampuan di atas rata-rata, punya rekam jejak yang kinclong, berintegritas, visioner, dan disukai dunia internasional, untuk menjawab tantangan bangsa yang sungguh berat, yang justru ditinggalkan pemerintahannya.
Misalnya, masalah utang negara yang kini telah mencapai Rp 8.000 triliun. Kalau digabungkan dengan utang BUMN dan swasta, utang luar negeri kita telah mencapai belasan ribu triliun. Ini tentu saja berbahaya dalam menjaga momentum perkembangan bangsa.
APBN yang terkuras hanya untuk membayar bunga utang saja sudah akan mengganggu ruang fiskal yang, pada gilirannya, menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Maka, kita tak punya banyak pilihan objektif dan logis untuk mengurangi beban negara kecuali menghentikan proyek-protek infrastruktur yang boros dan tidak ekonomis.
Terutama menghentikan proyek IKN yang tidak layak, tidak urgen, dan tidak realistis, serta menyita porsi APBN (uang rakyat) yang cukup besar ketika kemiskinan terus meluas. Apalagi sejauh ini tidak ada investor yang tertarik untuk menanam modalnya di proyek yang berpotensi mangkrak itu. Kita tak mesti berharap Jokowi faham soal ini meskipun tak perlu pikiran besar untuk memahaminya.
Bisa jadi kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah tetap tinggi. Menurut hasil jajak pendapat lmbaga survey LSI Denny JA beberapa hari lalu, kepuasan rakyat terhadap kinerja Jokowi mncapai 82%. Dibandingkan dengan capaian objektif pemerintah di semua lini negara yang umumnya jeblok, hasil survey ini tentu saja mengejutkan.
Kalauoun hasil survey ini dianggap kredibel, seharusnya Jokowi tidak menjadikannya alasan untuk cawe-cawe pilpres guna memastikan penggantinya akan melanjutkan kebijakannya yang sesungguhnya kacau balau. Lagi pula, siapa pun penggantinya, sangat mungkin tak akan melanjutkan legacy infrastruktur Jokowi yang membahayakan negara. Tidak ada cerita presiden baru akan mencopy paste kebijakan pendahulunya yang telah menjadi manusia masa lalu. Tak seharusnya Jokowi berkhayal tentang hal ini karena tidak ada presedennya di dunia ini, bahkan di rezim otoriter sekalipun.
Kacaunya program pembangunan Jokowi karena tidak didesain mengikuti pemikiran yang komprehensif dari sebuah ideologi yang bisa difahami. Jokowi tidak menganut Soekarnoisme yang sosialistik, melainkan seorang kapitalis yang bermimpi menjadi kaesar.
Program pembangunan Jokowi dilakukan berdasarkan pada pragmatisme yang sumir, berorientasi pada kepentingan oligarki seperti yang terlihat dari berbagai produk UU dan Perppu. Dan disengaja atau tidak, demi mengejar investasi Cina, rezim komunis itu sangat diuntungkan dalam proyek-proyek yang didanainya.
Dengan kata lain, proyek-proyek tambang dan infrastrukturnya di negeri ini hanya membesarkan Cina. Indonesia tidak mendapatkan apa-apa kecuali kerusakan lingkungan. Kalaupun dukungan masih besar pada pemerintah mungkin disebabkan feodalisme masih berakar di masyarakat.
Juga branding Jokowi sebagai pemimpin kerakyatan melalui pencitraan cukup berhasil. Ditambah propaganda buzzerRp dan puji-pujian relawan serta ilmuan yang mendapat rezeki dari rezim Jokowi.
Penyebab lain, menurut Peter Carey — sejarawan Inggris penulis biografi Diponegoro, “Indonesia negeri yang paling tidak bisa membentuk persepsi dirinya.”
Kalau dirinya saja ia tak tahu apalagi orang lain. Dalam hal ini pemimpinnya. Realitas inilah yang memudahkan pemimpin mengecoh rakyatnya, bahkan para akademisi. Jokowi yang tak punya pikiran dirayakan sebagai pemimpin hebat. Bahkan disejajarkan dengan negarawan besar Khalifah Umar bin Khaththab yang visioner, jujur, dan amanah.
Dalam tulisan yang sama, Haedar Nashir mengungkap paradoks bangsa ini. Dari wujud luar, katanya, Indonesia nampak seperti bangsa yang gembira menjelang pilpres. Di mana-mana terlihat iklan para tokoh untuk berkontestasi di hajat nasional itu.
Indonesia tampil megah, laksana negara gemah ripah loh jinawi. Apalg dengan proyek-proyek raksasa. Para elitenya ceria dan sangat populis kalau dekat pemilu, tak ada raut muka berat sarat masalah kebangsaan. Apalagi berkerut wajah soal utang luar negeri dan sumber daya alam yang terkuras tuntas.
Di sisi lain, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada di peringkat 130 dari 199 negara, terbawah di ASEAN. Indonesia di peringkat 44 dari 66 negara dalam World Competitiveness Year Book 2022.
Jangan tanya indeks korupsi. Mantan napi korupsi bisa menjadi pahlawan di negeri ini. Sementara, World Population Review 2022 menunjukkan, nilai rata-rata IQ penduduk Indonesia dengan skor 78,49 menempatkan RI pada posisi 130 dari 199 negara, nyaris sama dengan Timor Leste dan Papua Nugini.
Para buzzerRp tampil ganas. Ilmuan tampil bak buzzer, bahkan ada yang mengancam bunuh banyak orang. Perangai buzzerRp dan warganet yang sejatinya bermuatan radikal oleh sebagian pihak dianggap ringan, yang penting minta maaf.
Di balik sejumlah karut marut yang menjadi ironi di negeri ini, sejatinya ada problem nilai fundamental yang mengalami erosi, devaluasi, dan disintegrasi. Di tubuh bangsa sedang terjadi perilaku permisif dan ambivalensi standar nilai.
Para buzzerRp dan pelaku keonaran sering ditoleransi dan leluasa menyebarkan virus kepremanannya tanpa kontrol dan tindakan cepat pemerintah. Kalau pihak lain yang melakukannya dengan mudah dicap radikal dan dihujat untuk segera diproses hukum.
Mochtar Lubis (1977) menunjuk pada watak orang Indonesia yang munafik, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, bersikap dan berperilaku feodal, percaya takhayul, erotik, dan lemah karakter.
Temuan senada dilakukan Koentjaraningrat (1974), yang menunjukkan mentalitas lemah orang Indonesia akibat revolusi, penjajahan, dan sistem sosial budaya yang rentan. Kelemahan mentalitas yang terstruktur oleh sistem yang ringkih itu tampaknya masih hidup di tubuh sebagian elite dan warga bangsa.
Bangsa ini kehilangan rasionalitas dan mentalitas dewasa. Ilmuan pun tidak menunjukkan keluhuran akal budi, ilmunya tak mencerahkan nalar dan perangainya.
Maka, tidak ada opsi lain yang tersedia untuk mengembalikkan pikiran dan karakter bangsa yang hilang selama 9 thn terakhir, kecuali memilih pemimpin cerdas, waras, berintegritas, dan menjanjikan perubahan. Tidak mngkin bangsa bisa maju tanpa perubahan yang merupakan hukum sosial. Apalagi presiden berikut harus menghadapi situasi dan kondisi bangsa yang bagai benang kusut, yang diwariskan pendahulunya.
Dengan demikian, pilpres 2024 sangat krusial bagi keberlangsungan bangsa dan negara. Memilih pemimpin yang akan melanjutkan kebijakan pemerintah, sama artinya dengan membawa bangsa ke jurang prahara.
Indonesia sedang ditinggal AS, Uni Eropa, serta tidak dipedulikan Cina kecuali SDA-nya, sementara kemerosotan bangsa sedang melaju cepat.
Maka, perubahan untuk menempatkan kembali Indonesia dalam posisi yang relevan dalam konteks geopolitik dan geoekonomi global demi memulihkan akal sehat bangsa dan menghadirkan keadilan bagi semua untuk merajut kembali persatuan bangsa yang dikoyak-koyak rezim merupakan keniscayaan.
Tidak ada lagi ruang tawar-menawar. Kita hanya punya sedikit wktu dan kesempatan yang tersisa untuk berbenah. Gagal menggunakan peluang ini — yakni memilih pemimpin yang mumpuni– bisa jadi akan menjdi penyesalan yang tak terganggungkan.
Tangsel, 13 Mei 2023.