OPINI

Kedai Sembako Tak Berpintu dan Pesan di Secarik Kertas itu : Belajar untuk Saling “Menghargai” [Part 56].

Anwar Husen/Kolomnis tetap/tinggal di Tidore.

Malam ini,untuk yang ketiga kalinya saya mengecek,sekaligus mengingatkan saya tentang pelajaran berharga : jangan apriori,menilai mendahului fakta.

Begini ceritanya,di deretan penjaja kuliner di pelataran Tugulufa,Tidore,ada penjual tahu olahan yang paling di kenal.Kebetulan ada jenis yang di sukai anak saya.Dua malam berturut-turut,kami menyambangi bermaksud membeli tetapi lampunya padam dan tidak ada tanda-tanda “kehidupan” sama sekali sedang berjualan.Kami kembali dan saya punya kesimpulan apriori : kalau sedang tutup,pelanggan harus di beritahu.Saya berpikir,kami juga pelanggannya.

Dan untuk yang ketiga kalinya malam ini,situasinya sama.Saya sengaja mengecek lebih detail,ternyata ada tulisan yang tertempel di dinding kaca : di buka awal agustus.Sontak saya menyesali dalam hati,telah keliru menilai,meski tulisan tadi dari kejauhan tak terbaca karena di kegelapan.Saya berpikir,mereka mungkin sedang kembali ke kampung halamannya di Jawa.
_________________
Terhitung telah berpuluh tahun lalu,kios sembako berdinding papan yang letaknya di samping kanan menghadap ke barat,pasar Sarimalaha di Tidore itu tak punya pintu.Artinya,tak pernah tutup,buka 1×24 jam.Publik Tidore tahu benar,apalagi bagi pembeli yang hendak mencari sesuatu keperluan di dini hari,pasti berpapasan pemiliknya,seorang tua dari Bugis,karena mungkin “shift”nya spesialis dini hari.Saya kenal baik dengan beliau,dan terakhir kami bersua di ramadhan lalu di masjid Al-munawwarah,Ternate,pasca tempat jualan di kawasan tadi di relokasi untuk keperluan pembangun lain oleh pemerintah daerah.Ternyata di masjid baru saya tahu kalau beliau sudah pindah berjualan di kompleks pelabuhan Ahmad Yani,Ternate.Iseng saya bertanya,manajemennya masih tak berpintu lagi,lelaki ini menjawab tidak lagi karena keterbatasan tenaga.
________________
Sudah agak lama,saya sempat bertemu dengan seorang ibu yang berjualan di pasar Sarimalaha,pasca pembangunan kembali karena peristiwa kebakaran beberapa tahun lalu.Dia terhitung “langganan” saya.Jualannya pakaian jadi yang dominan busana muslim.Saya kaget juga karena cukup lama baru bersua,secara tak sengaja lagi.Maklum,pasca kebakaran saat itu,semua hilang “kontak”.Penjual kehilangan kontak dengan pelanggannya yang cukup lama,yang mungkin juga di sesali dalam hati.Tapi penjual juga tak berdaya,kalau mau menuliskan di potongan kertas untuk memberi tahu alamat baru misalnya,sedang alamatnya saja belum ada karena belum ada lokasi jualan saat itu,dan mungkin karena trauma dengan peristiwa itu,hal-hal begini tak lagi di pikirkan.Saat pamit untuk berlalu,beliau yang juga pendatang ini tak lupa memberi pesan untuk di sampaikan pada siapa saja yang sempat menanyakan tempat jualan barunya saat itu.
_________________
Kedai papan tak berpintu yang buka 1×24 jam,warung tahu olahan yang menuliskan di secarik kertas tentang waktunya kembali buka dan sang ibu pendatang yang berjualan busana muslim yang meminta saya menyampaikan pesannya tadi,adalah para pelaku ekonomi dengan skalanya masing-masing.Orang bisa berdebat tentang macam-macam teori ekonomi yang hebat-hebat tapi tak mudah jadi pelaku ekonomi yang sukses.

Saat menjabat sebagai kepala dinas pariwisata di level propinsi,saya makin menyadari betapa kegiatan menjual sesuatu “produk” punya rumus yang macam-macam.Belum lagi strategi,analisa potensi hingga prilaku konsumen.Tapi saya diam-diam berpandangan bahwa praktisi punya “feeling” sendiri yang di dapat dari pengalamannya.Teman saya menyebutnya dengan istilah feeling dagang.Entah seperti apa itu,yang jelas lebih pada variabel prilaku konsumen yang di “baca”nya bertahun-tahun,bukan tumpukan buku teori berdagang.Tentu yang saya maksud adalah “level” berdagang di kasus yang saya sebut tadi.

Menuliskan pesan buka di awal agustus,titip pesan yang di minta pada saya tadi hingga kedai sembako yang buka 1×24 jam itu,sesungguhnya ada “strategi”.Simpulnya,pelanggan mereka khususnya dan konsumen umumnya,adalah para “raja” yang harus di hargai.Mereka tak hanya menyadari tetapi mungkin juga merasakan betapa kesalnya orang yang datang bermaksud membeli,kalau tak bisa di bilang memberi mereka sejumlah uang,tetapi tak bertemu.Mereka adalah pelanggan setianya yang di “bentuk” cukup lama.

Masih ingat spontanitas Dahlan Iskan di pintu tol saat masih menjadi menteri,yang sempat viral itu???Dia bermaksud melerai antrian kendaraan yang hendak membayar tarif tol.Alasannya : jangan persulit mereka yang mengantri hanya untuk memberi kita uang.Saat mengantri untuk membayar dan menyaksikan antrian panjang pembeli di meja kasir ketika berbelanja,saya sontak mengingat “gaya” Dahlan Iskan tadi.

Tentu lain dengan kedai papan tak berpintu “seumur hidup” tadi.Mereka memilih “celah” yang tak mampu di ambil oleh umumnya pedagang selevel mereka : mengatur waktu istirahat nyaris sistemik dari dari pengelola kedainya untuk berbagai shift jaga berpuluh tahun.Tentu ini manajemen “beresiko tinggi” yang umumnya tak menjadi pilihan.Dan apa resikonya???karib saya berkelakar,stok darah bisa habis.Dan itu termasuk pilihan.

Fakta-fakta begini,meski terkesan sepele,bisa di maknai sebagai bagian dari transformasi prilaku dan manajemen berusaha oleh pedagang lokal kita.Bukan karena kita tak bisa menulis dan membaca,ataukah karena sulit menemukan spidol dan kertas tetapi kita tak bisa membaca realitas,meski sangat mudah mengenali pecahan uang kertas.

Dan tulisan di secarik kertas yang tertempel di dinding kaca di warung tahu olahan tadi,sedikitnya, telah mengobati rasa risau dan penasaran sang buah hati saya beberapa hari ini,hanya karena belum mencicipi tahu bakso.Dan saya kerap merindukan kehadiran kedai sembako tak berpintu yang fenomenal itu.Wallahua’lam.

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *