DIALOG IMAJINER SOEKARNO DAN ANIES
Smith Alhadar Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
Di suatu pagi yang basah, ketika sebagian matahari tertutup kabut, terjadi dialog yang sejuk antara Proklamator Soekarno dan Anies Baswedan tentang politik nasional masa lampau dan kondisi politik hari ini. Juga tentang pemilu. Anies agak gugup, tapi Soekarno membangkitkan kepercayaan dirinya. “Tidak ada yang salah dengan dirimu.” Anies diam sambil sedikit menunduk. “Aku tahu kau gelisah. Kepicikan pemimpin saat inilah yang merusak persatuan, ketegangan sisial, ketidakpastian politik, dan kemerosotan ekonomi bangsa,” kata Soekarno dengan suara berat.
ANIES: Bukan main bahagia dan bangganya kami bisa bertatap muka dan berdialog dengan Bapak. Tak terbayangkan di hadapan kami adalah founding father republik ini, yang jasanya bagi kelahiran Indonesia tak terkirakan.
Semoga Bapak senantiasa sehat dan terus berkontribusi bagi persatuan, ketahanan, dan kejayaan bangsa melalui orang-orang yang mengikuti mazhab pemikiran Bapak, yang boleh jadi telah disesatkan oleh syahwat kekuasaan dan kepentingan mereka sendiri.
SOEKARNO: Terima kasih, anak muda. Aku juga senang bertemu dengan engkau, yang cerdas dan energetik, yang sudah aku anggap sebagai cucuku sendiri. Kurang lebih cucu nasionalisme aku yang sering disalahfahami. Tapi aku perlu ingatkan, kamu tidak boleh melupakan para pejuang kemerdekaan lain, yang tanpa jasa mereka tak mungkin republik ini bisa berdiri.
Misalnya, HOS Cokroaminoto. Beliau guru politikku yang pertama. Juga Kiyai Hasyim Asy’ari, yang berkat resolusi jihadnya, kami bisa mengusir kekuatan kolonial untuk kembali mencengkram dan menghisap darah rakyat.
ANIES: Bagaimana dengan pendapat Bapak tentang kondisi politik nasional menjelang pemilu serentak tahun depan? Semoga kami tidak keliru, sepertinya ada kekuatan besar yang hendak menunda pemilu dengan memperpanjang masa jabatan presiden.
Lalu, kalau pilpres tetap berlangsung sesuai jadwal, kami khawatir hasilnya akan direkayasa. Indikasinya banyak. Juga mungkin pilpres tak jurdil karena kekuatan besar itu hendak menyingkirkan bakal capres yang dipersepsikan sebagai musuh.
Dus, kepentingan bangsa diidentikkan dengan kepentingan penguasa sendiri. Karena itu, ia merasa halal dalam menghantam bakal capres yang dipandang lawan berbahaya. Padahal, ada banyak dukungan pada bakal capres tersebut.
Rakyat percaya dia akan melakukan perbaikan di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara, yang merosot belakangan ini. Terutama, memulihkan kehidupan politik, sosial, dan ekonomi di tengah polarisasi masyarakat, maraknya korupsi, dan lilitan ekonomi yang dihadapi rakyat.
SOEKARNO: Terus terang ketahanan bangsa sedang terganggu karena masalah-masalah yang kau sebutkan tadi. Penguasa seperti tak tahu bahwa rusaknya persatuan bangsa akan memfasilitasi intervensi Nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme) ke dalam politik kita.
Sesungguhnya geopolitik global saat ini serupa, meskipun tak sama, dengan situasi era aku. Kalau dulu Barat pimpinan AS bersaing dengan Timur di bawah kepemimpinan Uni Soviet — kapitalisme melawan komunisme — yang melahirkan Perang Dingin, kini Barat dan sekutunya melawan Cina dukungan Rusia.
Dulu, karena tak mau terseret dalam pusaran konflik dua kekuatan itu, maka saya, PM India Jawaharlal Nehru, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, dan Presiden Yugoslavia Yosep Bros Tito memelopori berdirinya Gerakan Non-Blok.
Dalam pilpres mendatang, kalau tidak awas, aku yakin kekuatan Nekolim akat ikut bermain. Cina saat ini berbeda dengan Cina dulu, karena itu harus diwaspadai. Ia telah menjadi kekuatan neoimperialisme yang belum terlalu kentara menunjukkan taringnya.
Indonesia terlalu penting untuk dibiarkan independen di tengah persaingan AS-Cina di Indo-Pasifik. Sebagai presiden, aku bangga pada pemilu tahun 1955. Waktu itu, politik kita tidak stabil. Ada pemberontakan Kartosoewirjo, RMS, dan rakyat hidup miskin sehingga menimbulkan keresahan sosial di mana-mana.
Kemudian, sarana, prasarana, dan SDM kita masih sangat terbatas untuk penyelenggaraan pemilu pertama yang rumit. Alhamdulillah, kami mampu melaksanakan hajat nasional itu secara jurdil dan berkualitas. Semua itu bisa terjadi karena pemerintah dan pemimpin politik mengenyampingkan perbedaan demi melahirkan pijakan negara yang kokoh dan pemerintah yang fungsional.
Kini Indonesia punya SDM yang melimpah, sarana dan prasarana yang nyaris sempurna, ekonomi rakyat jauh lebih baik, dan pengalaman panjang menyelenggarakan pemilu. Mestinya hasilnya lebih baik dan dipercaya rakyat
Kenyataannya, pemilu terancam legitimasinya. Kalaupun nanti dapat diselenggarkan, kejujurannya diragukan karena kenetralan KPU sudah tercemar. Ini lantaran adanya indikasi-indikasi mencolok bahwa KPU berpihak pada penguasa.
Ethosnya sama dengan pemilu-pemilu zaman rezim Soeharto. Sungguh, aku prihatin. Pemilu yang tujuannya melahirkan pemerintahan yang kuat dengan pemimpin baru yang visioner untuk menjawab tantangan internal dan eksternal yang berat, justru berpotensi melahirkan ledakan sosial-politik.
Pemerintah saat ini picik dan arogan. Maunya benar sendiri. Sejak awal kemunculan pemerintah ini, rakyat dipecah-belah. Kaum Muslim digolong-golongkan menurut kategori politik. Sebagian diposisikan sebagai musuh negara. Mereka membawa-bawa namaku seolah aku pembenci Islam. Keliru!
Pemerintah bisa saja tak menyukai mereka. Tapi kalaupun dianggap rewel, mereka tetap harus dilihat sebagai anak kandung Ibu Pertiwi. Tidak ada seorang pun di negeri ini yang dapat mengklaim diri sebagai pemilik sah negara, yang lain cuma numpang. Tidak boleh oposisi diletakkan sebagai ISIS atau Al-Qaedah untuk menjustifikasi aniaya pemerintah. Kecuali segelintir, mayoritas Muslim menganggap Pancasila sebagai ideologi negara sudah final.
Dus, mereka tak berbahaya, bahkan harus dilihat sebagai katalisator untuk konsolidasi demokrasi dan pematangan politik bangsa. Aku yakin pemerintah sadar sepenuhnya akan hal ini, tapi ia merasa perlu menciptakan common enemy yang dikhotbahkan sebagai kekuatan bengis untuk mengikat rakyat dalam ketakutan biar mudah diatur.
Tak kurang penting, penguasa takut persengkokolannya dengan oligarki digonggong terus-menerus. Memang dulu aku juga menumpas DI/TII dan membubarkan Masyumi. Penyebabnya, Kartosoewirjo ingin mengganti Pancasila dengan sistem Syariah. Sementara pengurus teras Masyumi terlibat PRRI tahun 1958 yang berpusat di Padang, bersamaan dengan Permesta di Sulawesi Utara.
Aku tahu, PRRI dan Permesta hanya menuntut otonomi daerah, yang dalam konteks politik waktu itu tidak dapat pemerintah penuhi karena mengancam kelangsungan hidup negara. Di pihak lain, kesejahteraan yang mereka tuntut pun tidak realistis. Terlebih, aku mendapat info bahwa CIA terlibat dalam PRRI khususnya.
Dus, konteks aku menghadapi Masyumi berbeda dengan konteks pemerintah sekarang menghadapi umat Islam. Aku berusaha menjaga NKRI dan keselamatan bangsa, sementara pemerintah sekarang menzalimi kelompok Islam dengan motif mengamankan kepentingan dirinya dan sekutu oligarki. Sungguh menyedihkan.
ANIES: menurut kami, kemerosotan bangsa hanya dapat dihentikan kalau pemimpin diganti. Kami melihat pemimpin sekarang adalah pemimpin model lama yang mengandalkan kekuatan untuk mengendalikan rakyat dan melaksanakan pembangunan.
Itu sebabnya ada pembubaran ormas, pemenjaraan oposisi, dan penindasan rakyat di beberapa daerah. Mirip rezim Soeharto. Padahal, pemimpin seharusnya mengandalkan hubungan psikologis yang harmonis dengan rakyat. Kami namakan ini pemimpin model baru. Kami tidak percaya pada pemimpin yang mengandalkan otot.
Di Jakarta, kami telah buktikan bahwa pemerintahan yang kuat dan efektif adalah yang didasarkan pada ilmu pengetahuan yang rasional, keadilan sosial, kebebasan berpendapat, dan kebijakan publik yang demokratis sehingga melahirkan kemanunggalan pemerintah dengan rakyat.
Dengan begitu, muncul kepercayaan, persatuan, kerja sama antarkelompok sosial, dan menghadirkan good governance. Pada gilirannya, visi kami terwujud: maju kotanya, bahagia warganya. Bagaimana menurut Bapak?
SOEKARNO: Aku setuju sepenuhnya. Dulu aku dan Bung Hatta berbagi peran. Aku sebagai solidarity maker, beliau berperan sebagai administrator. Sampai tingkat tertentu, persatuan bangsa terjaga. Kami hanya terpaksa menggunakan kekuatan fisik kalau keutuhan bangsa terancam. Dan kami sama sekali tidak bekerja untuk kelompok tertentu, apalagi melayani kepentingan asing dan oligarki.
Pemberontakan2 di era aku dipicu oleh ideologi dan kepentingan sempit, sentimen suku yang berakar pada sejarah, dan ketidaksabaran daerah mendapatkan kue hasil kemerdekaan yang baru beberapa tahun kami raih.
Memang aku akui, pemerintahanku terbukti melahirkan ekses yang tak dikehendaki. Kasarnya, pemerintah membatasi perbedaan pendapat dan kualitas demokrasi yang rendah, dan juga pemenjaraan oposisi. Lebih buruk daripada itu, sebafai akibatnya, meletus tragedi 30 September 1965.
Salah aku adalah menghidupkan lagi Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme) untuk membangun persatuan menghadapi Nekolim. Di masa prakemerdekaan, Nasakom perlu untuk menghadapi penjajah.
Aku menghidupkan lagi paradigma ini pasca kemerdekaan karena PKI adalah kekuatan revolusioner, di saat negara butuh persatuan nasional, untuk mendukung ‘revolusi yang belum selesai’. Namun, akibatnya aku kehilangan dukungan Masyumi.
Biarpun begitu, aku masih belum percaya PKI adalah dalang G30S. Karena itu, aku menolak pembubarannya seperti yang dikehendaki Angkatan Darat pimpinan Soeharto sampai terbukti secara hukum PKI-lah biangnya. Juga untuk menjaga wibawa aku sebagai Bapak Bangsa di panggung internasional di mana Nasakom pernah aku jual kepada dunia ketika berpidato di sidang MU PBB.
Sayang, Soeharto dan kawan-kawan tidak memberi kesempatan untuk dilakukan investigasi menyeluruh tentang aktor intelektual di balik peristiwa itu. Sesudah itu, menggelar pengadilan terbuka kepada mereka yang disangkakan. Aku curiga CIA berperan besar dalam peristiwa itu.
Bagaimanapun, kalau memang PKI dalang dari semua itu, aku sepenuhnya setuju dengan pembubaran partai itu. Toh, dia juga ternyata meresahkan kaum Muslim melalui aksi-aksi bengis terhadap para kiayai, tokoh Uslam, dan menghina agama. Aku sama sekali tak antiagama. Bahkan aku mempromosikan nilai-nilai substantif Islam, yang aku namakan Api Islam.
Para sejarawan telah salah menempatkan posisiku sebagai nasionalis sekuler. Padahal, kontribusiku untuk mendinamisasi Islam terang benderang. Kamu tahu, akulah yang memberi pengantar pada buku terkenal “Dunia Baru Islam” karya penulis AS, Lotrop Stoddard.
Bahkan, akulah yang memerintahkan penerjemahan buku yang judul aslinya adalah “The New World of Islam”. Aku juga meminta kepada tim penerjemah agar menambahkan satu bab khusus tentang perkembangan dan kebangkitan Islam di Indonesia.
Sayang, akibat salah faham terhadap aku, orang-orang yang mengaku sebagai pengikut Bung Karno justru merupakan orang-orang yang mendistori pemikiranku, mereka menjustifikasi penindasan atas umat Islam dengan mengatasnamaku.
ANIES: Bapak luar biasa. Sebebarnya masih banyak yang ingin kami dengar dari Bapak, tapi waktu setengah jam yang Bapak sediakan untuk kami telah habis.
Bagaimanapun, kami sangat berterima kasih pada apa yang telah Bapak paparkan. Mudah-mudahan semua warga bangsa memahaminya. Kami sering disudutkan hanya karena memperlakukan Islam sebagai bagian penting dari nasionalisme khas Indonesia sebagaimana dikatakan Hadratusysyaikh Hasyim Asy’ari: hubul wathan minal iman.
Bertolak dari Pandangan Bapak, kami berharap mereka yang mengaku sebagai nasionalis berhenti menjadikan Islam sebagai pesakitan dan menyelenggarakan pilpres yang jurdil untuk kebaikan bagi semua, terutama demi kemajuan dan kejayaan bangsa.
SOEKARNO: Amiin…Sebenarnya pemahaman Kiyai Asy’ari tentang hubungan agama dan negara sama dengan aku.Akhirnya, Aku atas nama founding fathers juga berharap negara kita tetap bertahan menghadapi ujian. Sebagai ayah, aku bangga pada putriku Megawati yang dalam konteks pilpres ia patuh pada konstitusi dengan menentang penundaan pemilu.
Akhirnya, belajar dari sejarah sendiri di mana nasionalisme dan agama adalah dua sisi dari koin yang sama, yang merupakan kunci untuk menghadirkan keadilan sosial yang, pada gilirannya, melahirkan persatuan demi kemakmuran dan kejayaan bangsa. Selamat berjuang, anak muda. Di dalam jiwamu terdapat koin yang aku maksudkan.
Tangsel, 7 Maret 2023 !