OPINI

Di Santiong,saat berpulangnya sang Mertua tercinta [Part.15].

Anwar Husen,S.Pd,M.Si. kolomnis tetap.

Saya mengamati,bahkan turut bersama sambil sesekali menyemangati mereka,sejak hari pertama di rumah duka kelurahan Santiong,kompleks pekuburan China,di kesempatan berpulangnya sang Mertua tercinta,ibunda dari isteri saya.apa itu?untuk kesekian kalinya saya merasakan betapa anak-anak muda itu,terlihat begitu bersemangat untuk saling membantu,bahu-membahu bersama keluarga duka,membereskan banyak urusan.mulai dari pemasangan tenda depan rumah,menyiapkan kursi,membereskan sampah,undangan tahlilan untuk jamaah dan warga hingga melaksanakan sebagian urusan domestik,”wilayah”nya kaum ibu.malamnya usai tahlilan,sambil “ngopi” melepas lelah,mereka berbagi cerita tentang banyak hal.semuanya lepas,mulai dari pengalaman mistik saat mendaki gunung Gamalama,semalam suntuk “jaga durian” di Ngade hingga tanda-tanda alam jika Ternate mau di guyur Hujan.maklum,saat itu,bahkan hingga kini masih sesekali,sedang musim penghujan.tak lupa juga,sedikit rencana atas pemanfaatan dua unit Tenda berukuran 4×6 yang sedang dalam proses pembuatan,di niatkan untuk membantu keluarga di kompleks ini yang berduka,tanpa bayar.saya dan sesepuh kampung,om Saleh Teng,yang tenar di sapa Saleh Janjang,di masa jaya Persiter dulu,mengamati sambil sesekali menimpalinya dengan canda.suasana familiar seperti ini,nyaris terjadi hampir setiap malam hingga berpuncak pada tahlilan hari ke sembilan almarhumah.bahkan setelahnya,masih saja terlihat “konsisten” dan terasa hingga saat ini,di kala ada tahlilan.

Daya pikat suasana ini,sontak membawa memori saya bernostalgia jauh ke masa kecil,di sebagian usia SD hingga SMA,di sebuah lingkungan di kampung Gamtufkange,sekarang sebuah kelurahan,berbatasan dengan Soasio,di pulau Tidore.nama tenarnya saat itu,kompleks TRANS.nama ini menandai sebuah gardu PLN [transformator] yang berada di kompleks itu.sepupu-sepupu saya dari garis Ibu,berdomisili di sini,di rumah orang tua mereka.sebagian masa kecil saya di habiskan di sini,di rumah ini.teras rumah ini di saat Ramadhan adalah “barak” untuk beristirahat sejenak menunggu waktu Sahur sambil menikmati siaran Televisi hitam putih 24 inci berkaki empat,bak lemari pakaian itu.

Di tahun 80-an bahkan hingga 90-an,kompleks ini begitu tenar di Tidore karena banyak hal.mulai dari yang “baik-baik” hingga ke hal-hal “minor” : menjadi sumber potensial pesepakbola yang banyak berkontribusi dan memperkuat PERSIGA-Gamtufkange hingga PERSIS-Soasio,klub bola untuk daerah administratif Halmahera Tengah yang di segani setelah PERSITER,Ternate saat itu,bahkan hingga menjadi kabupaten Halmahera Tengah,menyediakan bakat seni yang banyak hingga kelompok atau geng perkelahian “antar kampung”,saat ini tenar dengan sebutan Tawuran,yang di segani di Tidore.siapa saja yang hendak melewati kompleks kecil ini,apalagi di malam hari,dia harus berpikir dua belas koma lima kali,guyon teman saya.maklum,mereka punya populasi anak muda laki-laki seusia dan berperawakan “Rambo” yang cukup banyak.di tambah juga, tawuran antar kampung memang sedang “trend” di masa itu.menyebut “Ana Trans”,rata-rata aparat keamanan di di level Polsek hingga Polres,pasti tahu itu.trend “jahilyah” ini mirip di jumpai di banyak tempat saat itu di Maluku Utara.setiap kampung atau bahkan di level lingkungan saja,pasti ada “kapala geng”nya,semacam “juru kunci”.seperti itulah jamannya.

Yang hendak saya tulis di sini adalah solidaritas dan soliditas antar warga yang kental,intensitas kekerabatan dan ciri komunal lainnya yang sangat menonjol.mereka relatif solid rasa persatuan dan persaudaraan sesama.implikasi positifnya menyebar hingga ke segala hal di aktifitas warganya : di hajatan Perkawinan,Aqiqah,Maulid,perayaan Ramadhan hingga Idul Fitri dan Idul adha bahkan hingga yang paling terasa,peristiwa kematian atau kedukaan.

Jika ada warga yang berduka,semua warga di kompleks kecil ini,terlihat ikut berduka yang mendalam.seolah itu keluarga mereka.spontan “pembagian kerja” di siapkan,siapa melakukan apa.ada kelompok yang tugasnya mengambil kayu bakar di hutan.maklum,belum jamannya kompor minyak tanah apalagi kompor yang pakai Elpiji.bisa di ambilnya di belakang kampung,atau juga di pulau sebelah,Halmahera.paling sering berupa batang pohon kelapa yang sudah “pensiun”,di potong seukuran kayu bakar dan di belah-belah.kelompok yang bertugas menyediakan Ikan,bisa memancingnya selama dua atau tiga hari,untuk kebutuhan beberapa hari.bisa juga di depan Halmahera ataupun agak jauh.menggunakan perahu nelayan yang lazim di sebut Giop.sedangkan kelompok yang mengurusi urusan domestik,tetap “Stay” di dapur hingga,katakanlah,puncaknya,hari ke Tujuh tahlilan pembacaan doa.semua itu di lakukan seolah kewajiban mereka.semuanya berbaur,serasa tak ada sekat apapun.saya kecil,turut menjadi bagian dari kondisi ini,meski lebih pada peran sekedar “dayang-dayang”,turut “meramaikan”,tetapi minimal,bernilai kenangan manis dalam hidup.

Lantas,apa sesungguhnya yang jadi “soal” dari fakta dua kondisi di dua tempat dan waktu yang berbeda ini?

Di Santiong,Ternate,anak-anak muda di kompleks pekuburan China yang hidup di komunitas yang relatif heterogen,dari berbagai latar belakang suku dan asal daerah,dari latar kota kecil yang sedikit berkesan “metropolis” dan di saat ini.di kompleks Trans,kampung Gamtufkange,Tidore di era 80-an,anak-anak mudanya hidup di komunitas yang relatif homogen bahkan mayoritas di ikat hubungan darah yang kental di latar daerah yang masih kental kultur agamisnya.berbeda???tidak.bukan perbedaannya yang ingin saya tulis : anak-anak muda di kedua tempat ini,sedang mempraktekan dan memelihara kebiasaan baik dalam hidup berkomunitas : bertetangga, bermasyarakat hingga sebagai warga kota,sebuah kebiasaan dan suasana hidup yang diam-diam,di rindui banyak orang di jaman yang di bilang moderen tetapi cenderung individualis ini.wallahua’lam.!

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *