Sebenarnya aku tak punya cita-cita. Istana Presiden tak pernah menghuni benakku. Kalaupun terlintas, aku membayangkannya sebagai kayangan, tempat dewa-dewa menyiasati kehidupan dunia. Entah bagaimana, tanpa aku sengaja merencanakan, kekuatan-kekuatan sosial-politik bangsa yang ditunggangi berbagai kepentingan banyak pihak membawa aku ke sini.
Aku senang sekali, tapi juga merasa aneh bukan main: Joko Widoko jadi presiden RI! Lalu, aku dipoles para ahli dan bertransformasi menjadi manusia baru yang aku sendiri tak mengenalnya. Kadang aku harus jahat, penuh tipu muslihat, dan seringkali ngawur. Memang aku diajari begini untuk bisa mempertahankan kekuasaan.
Pasti kalian semua sekarang sedang sedih. Malah marah! Negara jadi amburadul begini karena kebodohanku. Juga kepongahanku. Sesungguhnya sudah sejak awal aku tahu tak bakal bisa mengatur negeri sebesar ini.
Tapi aku ingin menjadi orang yang dimuliakan, yang akan dikenang bangsaku sepanjang masa. Sejarah dunia pun akan mencatat Joko Widoko pernah ada di dunia, meskipun aku tak berperan apa-apa di didalamnya.
Ketika pertama kali memasuki Istana, terbayang sosok Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY. Mereka orang-orang besar dan kini aku sama dengan mereka. Setidaknya dalam kapasitasku sebagai presiden, bukan kapasitas pikiran. Aku terkejut sendiri, tak percaya, masak sih aku sebanding dengan mereka!?
Kemegahan Istana dengan pilar-pilar besar kokoh menegaskan kekuatan penghuninya. Memang aku grogi saat langkah pertamaku menginjak tangga Istana yang berkilau. Hampir saja aku terjerembab karena hilang kontrol diri. Saat itu aku berharap teman-teman sepermainanku di Solo menonton peristiwa aku diglorikasi dengan banyak paspampres yang gagah-gagahan.
Tapi aku tak yakin ada kecocokan antara aku dengan bangunan yang dibangun penjajah ini, tempat ratusan kepala negara dunia pernah mampir untuk membicarakan isu bilateral dan internasional dengan presiden-Presiden RI sebelum aku. Tapi aku paksa-paksakan kepercayaan diriku bahwa aku bisa.
Hal pertama yang menakutkan aku adalah aku datang tanpa persiapan. Jangankan visi-misi kenegaraan, sejarah negeri ini pun aku tak tahu. Bahkan, aku tak tahu makna Pancasila. Tapi dalam hal ini aku percaya diri karena yakin hampir semua orang Indonesia tak faham falsafah negara itu.
Namun, aku pura-pura tahu segala hal supaya terbangun wibawaku di hadapan para pembantuku, yang kesemuanya orang pintar. Rakyat pun akan melihat aku sebagai presiden yang lain daripada yang lain: sederhana, peduli, dermawan, dan inovatif blusukan.Toh, cuma ini modalku untuk mendapat legitimasi.
Aku sadar para cerdik pandai pasti tahu siapa aku sebenarnya. Dunia internasional pun akan meremehkanku. Tapi sepanjang rakyat, para akademisi palsu, oligarki, dan parpol memuji-muji aku, legitimasiku akan terjaga.
Maka pada hari pertama bertugas, langsung aku telpon Opung, teman lamaku dalam bisnis. “Cepat datang ke Istana.” Di hadapannya aku pusatkan pikiran pada apa yang dipaparkannya. Aku senang bukan main mendengar blue print pembangunannya, meskipun tak sepenuhnya aku mengerti. Dan tak tahu juga bagaimana cara untuk mencapainya.
Waktu kampanye dan debat presiden dulu, isu dan janji yang kulontarkan kepada rakyat bukan berasal dari visi-misiku. Tim suksesku yang mengatur apa yang harus dan yang tak boleh kukatakan. Pokoknya, isu-isu yang menarik hati publik, meskipun menipu, hanya dieksploitasi. Mengenai apakah isu-isu itu bisa aku pertanggungjawabkan, itu urusan belakangan.
Komentar