Usai melaksanakan sholat Ied di masjid Nurul Iman,Santiong,saya dan keluarga menziarahi kuburan mertua,orang tua dari isteri saya,yang kebetulan berjarak tak jauh dari kediaman mereka.Turut pula,semua anak-anak dan cucu-cucu mereka,terasa lengkap pagi tadi.
Usainya,saya menuju ke kediaman karib yang juga pimpinan redaksi media ini di kampung sebelah,Makasar Barat.Sial,isyarat pesan Whatsapp tak berbalas,pintu depan terkunci.Berbalik arah,saya menuju Gamayou,ke kediaman karib saya,Jufri Abuhair.Saya sering menyapanya,ustadz Upi.Kebetulan juga,beliau alumni IAIN.
Di teras rumahnya yang juga sering jadi tempat event domino di kota Ternate,kami mengobrol banyak hal,yang dominan bertema Idulfitri.Beliau baru saja kembali dari tugas khutbah sholat Ied di masjid Sasa dan tema khutbahnya tadi yang kami diskusikan,saya “sari”kan pada tulisan pendek ini.
Mengurai pesan surat Al-baqarah ayat 183,yang sering di kutip ketika menjelaskan tentang hal ihwal puasa Ramadhan dan pesan Hadits Nabi tentang imbalan bagi siapa saja yang bersungguh-sungguh melaksanakan puasa Ramadhan dengan penuh keimanan,karib saya ini mengatakan bahwa pesan dan i’tibar paling penting dan paling pokok tentang keutamaan bulan Ramadhan adalah bahwa dia adalah bulan tarbiyah ibu bagi diri.Mengutip sabda Nabi,dia mengurai bahwa Ramadhan adalah bulan Allah pada sifatNya yang di masukan pada unsur yang melekat dalam diri ibu,yakni Rahim,pengasih.
Mengutip Ihya Ulumuddin,di khiaskan bahwa Ramadhan adalah proses yang terjadi dalam diri ibu.Esensinya,pesan untuk merefleksikan perjalanan hakikat diri dari rahim seorang ibu.Jadi pesan Ramadan sesungguhnya sangat agung bagi kemuliaan seorang ibu.
Di kisahkan ketika Nabi di tanya tentang “derajat” kedua orang tua,
beliau menyebut ibu sebanyak 3 kali,kemudian bapak.Di kisah lain,seorang anak yang telah yatim-piatu mengadu kepada Nabi bagaimana dia bisa bersimpuh di depan kedua orangnya sedangkan mereka telah berpulang,Nabi menjawab sambil meneteskan air mata,datangilah kuburan mereka karena mereka masih bersama-sama engkau.Di pekuburan Islam tadi,saya mengamati banyak peziarah yang “bersimpuh” di sana.
Dalam kajian hakikat,dalam pandangan beliau,seburuk apapun amalan seorang ibu,jika dia berpulang menghadap Rabbnya di bulan Ramadhan maka Allah mengharamkan jazadnya dari api Neraka.Apalagi bila berpulang di Idulfitri,bahkan telah mengeluarkan zakat dirinya,Fitrah.
Bukan kebetulan jika kami sedang memperbincangkan tentang sebuah kisah yang baru saja terjadi kemarin : seorang ibu di usia udzur yang baru saja berpulang,di malam takbiran setelah selesai menunaikan zakat fitrahnya.Ini di kelurahan Kalumpang,kompleks Al-khairaat.
Kemarin,di 21 April,saat di mana sang ibu yang berpulang tadi mengeluarkan zakat Fitrahnya,bertepatan hari Kartini,yang setiap tahun di kenang untuk seorang perempuan hebat yang mendedikasikan sebagian hidupnya untuk membela dan mengangkat harkat dan martabat perempuan,ibu dan para “calon” ibu.
Di momentum lain di tanggal tersebut,sebuah partai politik yang di pimpin seorang ibu dan perempuan hebat,memilih waktu ini untuk mengumumkan calon Presidennya.
Ketiga “penanda” tadi,terjadi bertepatan di hari Jum’at di penghujung Ramadhan,sebuah hari yang di agungkan oleh kaum muslimin.
Dan,di masjid Nurul Iman tadi,tulisan pendek ini di sudahi,ba’da Dhuhur di bawah hembusan sepoi AC yang “meninabobokan”.Dan entah sengaja atau tidak untuk di maksudkan,Nurul Iman adalah “metafora” yang
menandai “kisah-kasih” ibu di atas.Wallahua’lam.
#minal aidzin wal faidzin.