Sesuai artikel yang aku tulis sebelumnya: Tidak ketemu rasionalitasnya kalau Jokowi dukung Prabowo. Kenapa? Pertama, karena mereka punya sejarah di pilpres 2014 dan 2019, dimana Prabowo yang ikut mengorbit Jokowi di pilgub DKI 2012 akhirnya dikalahkan dua kali (pilpres 2014 dan 2019) oleh Jokowi. Kedua, bagi Jokowi, mendukung Prabowo sama saja menghidupkan macan mati. Ketika Prabowo berkuasa, tak ada kesempatan lagi bagi Jokowi untuk intervensi, apalagi mengendalikan. Boleh jadi malah sebaliknya.
Tidak ada MoU, apapun bentuknya, yang bisa menjinakkan para penguasa ketika mereka punya kesempatan berkuasa. Sebab, semua instrumen negara ada di tangannya. Penguasa adalah orang yang paling kuat di Indonesia.
Jokowi bukan orang bodoh. Kemampuan politiknya jauh di atas rata-rata orang Indonesia. Megawati, ketum PDIP, partai terbesar dan pemenang dua kali yang mengusung Jokowi nyapres saja tidak bisa banyak berbuat terhadap Jokowi. Ini tidak akan terjadi jika Jokowi bukan seorang politisi ulung dan piwai. Stigma petugas partai hanya slogan belaka dan tidak berlaku bagi Jokowi.
Politik itu tidak sepenuhnya bisa ditentukan oleh karakter personal, meski ini juga punya pengaruhnya. Tapi, politik lebih ditentukan oleh posisi, peluang dan kebutuhan. Ketika Prabowo menjadi penguasa, ini misalnya saja, dia tidak butuh Jokowi lagi. Gak ada itu istilah balas budi. Yang justru muncul adalah memori kekalahan Prabowo di pilpres 2014 dan 2019. Setidaknya, memori ini masih diingat dengan kuat oleh para pendukung dan orang-orang di sekitar Prabowo. Sangat menyakitkan.
Jokowi dan Prabowo punya kepentingan yang berbeda. Ini akan tampak sekali pasca 2024. Tak ada itu istilah balas budi, etika atau MoU. Ini sudah berulang di pilpres 2014 dan 2019. Kurang apa peran Prabowo untuk sukseskan Jokowi di pilgub DKI 2012. Masuk pilpres 2014 dan 2019, ketika kepentingan keduanya berhadapan, maka terjadi pertarungan yang sangat sengit dan keras. Hasilnya, semua bisa kita baca sekarang.
Ini bukan salah Jokowi. Tapi, ini realitas politik yang saat itu menuntut keniscayaan untuk menghadap-hadapkan dua tokoh besar ini. Kalau anda mengungkit-ungkit soal balas budi, jasa Prabowo, dll, itu artinya anda tidak sepenuhnya paham dan mengerti soal politik.
Jokowi sangat paham dan mengerti soal politik. Di pilpres 2024, Jokowi melihat Prabowo bisa dimanfaatkan sebagai instrumen untuk memecah suara Anies. Begitu juga Sandi. Maka, Prabowo ditawari jadi cawapres Ganjar. Jika tidak mau, Prabowo akan didorong maju jadi capres. Jokowi tahu, dan sangat cermat dalam kalkulasi politiknya. Jokowi tahu Prabowo lemah, dan kecil peluangnya untuk menang. Maka, Prabowo didorong untuk tetap maju. Apa tujuannya? Menggerus suara Anies untuk memenangkan Ganjar.
Kalau Prabowo kuat, 1000 persen Jokowi tidak akan dukung Prabowo. Jokowi tidak akan membiarkan kartu mati Prabowo dihidupkan kembali oleh Jokowi. Jadi, tak ada yang dikhawatirkan. Jokowi sudah punya Ganjar.
Dalam konteks ini, Prabowo memang terkesan lugu, polos dan cenderung normatif. Inilah kelemahan Prabowo secara politik. Padahal, saat ini, Prabowo punya kesempatan untuk bergaining posisi. Caranya? Prabowo gak perlu nyapres. Kemana dia arahkan partainya, ini akan menjadi kekuatan bergaining yang sangat besar. Ada dua bakal capres, yaitu Anies dan Ganjar. Tinggal pilih kemana arah dukungannya. Prabowo tinggal menghitung diantara kedua bakal capres ini. Pertama, mana yang paling besar pengaruhnya terhadap elektabilitas Gerindra. Kedua, sebagai King Maker, lebih besar mana peran yang akan didapatkan Prabowo dari kedua kandidat tersebut.
Ke Ganjar, suara Gerindra akan berebut dengan PDIP. Mungkin juga Golkar. Kalau ke Anies, akan berebut dengan Nasdem dan Demokrat.
Ke Ganjar, Prabowo punya saingan Jokowi dan Megawati sebagai King Maker handal. Ke Anies, ada Surya Paloh, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla.
Satu hal, Gerindra lebih besar suaranya dari Nasdem dan Demokrat. Lebih kecil dari PDIP. Ini soal pengaruh. Begitu juga sebagai King Maker, Jokowi dan Megawati jauh lebih kuat pengaruhnya terhadap Ganjar dari pada Surya Paloh, SBY dan JK terhadap Anies Baswedan.
Prabowo punya peluang bermain dan mengambil peran di pilpres 2024 sebagai King Maker, dan tidak berada dalam bayang-bayang Jokowi dengan semua kepiawaian politiknya yang saat ini menjadi sutradara paling berpengaruh untuk pilpres 2024.
Kuala Lumpur, Malaysia, 1 Mei 2023.