PEREBUTAN PENGARUH JOKOWI-MEGAWATI DAN KECEMASAN OLIGARKI
Smith Alhadar/Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
Acara Musyawarah Rakyat (Musra) di Istora Senayan, 14 Mei, mengecewakan PDI-P. Pidato yang diharapkan akan mengarahkan relawannya mendukung Ganjar Pranowo, justru Jokowi memberi indikasi kuat tak mendukung bakal capres PDI-P itu.
Padahal, PDI-P sangat mengharapkan efek ekor jas Jokowi yang diduga masih punya pengaruh besar. Tak heran, politisi PDI-P Adian Napitupulu mengungkapkan kekecewaannya dengan mengatakan Jokowi tak boleh mengarahkan relawannya mendukung salah satu bakal capres. Presiden harus netral.
Dalam pidatonya Jokowi menyatakan pilpres 2024 sangat krusial bagi masa depan bangsa. Karena itu, ia mengingatkan relawannya untuk tidak tergesa-gesa dalam menjatuhkan pilihan. Bacapres yang dipilih harus memenuhi kriteria berikut.
Pertama, dia haruslah tokoh pemberani dalam mengambil keputusan. Kedua, mengerti cara mengelola negara.
Ketiga, harus mengerti strategi dan memiliki gagasan. Jangan memilih pemimpin yang hanya menjalankan rutinitas sebagai presiden, yang hanya duduk di Istana dan tanda tangan.
Keempat, sosok itu harus mampu membangun strategi ekonomi dan strategi politik. Kelima, ia harus dekat dengan rakyat.
Ketum Jokowi Mania Nusantara (Joman) yang juga Ketum Prabowo Mania 08, Immanuel Ebenezer, meyakini kriteria dari Jokowi itu merujuk pada sosok Ketum Gerindra Prabowo Subianto.
Penasihat Repdem Beathor Suryadi bahkan menyatakan Jokowi telah mempermalukan dan menghina Ketum PDI-P Megawati Sorkarnoputri dan melawan keputusan PDI-P mendukung Ganjar.
Ia khawatir sikap Jokowi itu berdampak pada PDI-P dalam pemilu mendatang.Karena itu, ia mendesak Mega untuk mencabut mandat petugas partai itu.
Hal terakhir inilah yang menakutkan Jokowi sehingga ia tak bersedia mengungkap nama bacapres yang didukungnya. Padahal, Musra telah mengajukan tiga nama bacapres kepadanya: Ganjar, Prabowo, dan Ketum Golkar Airlangga Hartarto.
Jokowi mengaku ia hanya akan membisiki kepada relawan nama bacapres yang didukungnya. Awalnya, Jokowi mndukung Ganjar. Hal itu jelas ketika dalam suatu kesempatan ia memberi ciri-ciri tokoh yang layak menggantinya, yaitu berambut putih dan dahinya berkerut.
Jokowi putar haluan setelah Ganjar tak lagi berada dalam pengaruhnya, melainkan di bawah kendali Mega. Untuk memisahkan Ganjar dari Jokowi, Mega secara cerdik memerintahkan Gubernur Jateng itu menolak timnas Israel berpartisipasi dalam ajang Piala Dunia U-20 yang akan berlangsung di Indonesia.
Sikap Mega dan Ganjar itu dilihat Jokowi sebagai tamparan ke wajahnya. Toh, ajang itu diharapkan akan memperkuat pengaruhnya di dalam negeri terkait pilpres, sekaligus menaikkan pamornya di pentas dunia.
Justru Mega tak menginginkan membesarnya pengaruh Jokowi sehingga ia menjadi penentu kunci dalam percaturan pilpres. Bahkan, kalau pengaruh Jokowi membesar, bisa jadi ia akan mewujudkan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden yang ditentang Mega.
Setelah Ganjar berjarak dengan Jokowi, Mega langsung menjadikan kader PDI-P itu sebagai bacapres partainya. Harapannya, pengaruh Jokowi melemah terkait pilpres. Tapi Mega salah hitung.
Tak ia duga petugas partai yang nampak lugu itu berani melawannya. Mega abai bahwa Jokowi akan mengambil langkah apapun untuk memastikan penggantinya adalah orang yang akan melanjutkan legacy dan program pembangunannya. Dirampasnya Ganjar dari tangannya justru membangunkan Jokowi bahwa Mega tak berkomitmen untuk melanjutkan legacy dan kebijakan pembangunan Jokowi yang dianggap berasal dari Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, musuh Mega.
Jokowi beralih mendukung Prabowo karena tokoh ini berjanji akan melanjutkan 99,99 persen program pembangunan Jokowi. Perlu diingat, buoan lalu Hashim Djojohadikusumo — wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra sekaligus adik kandung Prabowo — menyatakan program pembangunan Jokowi berasal dari Prabowo. Aneh? Tidak juga.
Sebagaimana diketahui, Prabowo adalah menantu Presiden Soeharto dan putera Soemitro Djojohadikusumo, begawan ekonomi sekaligus arsitek pembangunan Orba. Prabowo juga menghabiskan banyak waktunya mempelajari ekonomi secara otodidak.
Di sisi lain, Prabowo adalah bawahan Luhut di militer sekaligus teman karibnya. Di pemerintahan saat ini, Luhut dikenal sebagai arsitek pembangunan pemerintahan Jokowi.
Dus, dalam konteks klaim Hashim di atas, masuk akal kalau kita berasumsi program pembangunan Jokowi yang sangat berbau Orba itu berasal dari Luhut yang didapat dari Prabowo. Toh, klaim Hashim tidak dibantah Luhut maupun Jokowi.
Kriteria bacapres ala Jokowi di atas, kendati belum tentu matching dengan sosok Prabowo, jelas tidak sesuai dengan profil dan rekam jejak Ganjar. Memang Prabowo cukup faham ekonomi dan, sebagai prajurit ABRI, pasti ia diajarkan ilmu strategi. Tapi secara praksis, Prabowo dikenal sebagai politisi yang tidak andal.
Namun, Ganjar juga bukan pemimpin yang berhasil. Capaian-capainya di bidang ekonomi dan politik di Jateng sungguh menyedihkan. Selama 9 tahun memimpin provinsi itu, Jateng hadir sebagai wilayah termiskin di Pulau Jawa.
Ia juga meresahkan warga Wadas dan Pegunungan Kendeng — keduanya di Jateng — karena mengizinkan proyek pertambangan milik oligarki di sana, yang berpotensi merusak lingkungan dan hajat hidup warga.
Lalu, saat ini 15 desa di Demak, Jateng, terendam banjir yang tak dipedulikan Ganjar. Ia lebih sibuk bersafari politik di Jawa Barat. Belum lagi bicara tentang integritasnya. Ia sempat diberitakan terlibat kasus mega korupsi e-KTP.
Dukungan Mega kepada Ganjar — sebelumnya ia ditolak — memang bersifat pragmatis dan oportunistik. Pasalnya, tak ada kader PDI-P lain yang dapat bersaing dengan Anies Baswedan maupun Prabowo. Terlebih, PDI-P bakal tak mendapat logistik dari oligarki kalau bacapresnya tak punya prospek kemenangan di pilpres.
Dukungan Jokowi pada Prabowo juga belum tentu membuat para oligark dapat tidur nyenyak. Pasalnya, Prabowo gagal dalam dua pilpres terakhir. Dan, dari sisi elektabilitas, posisi Prabowo lebih buruk dari pada ketika ia menjadi capres di dua pilpres sebelumnya.
Bagaimanapun, perebutan pengaruh Mega-Jokowi membuat pembentukan koalisi parpol-parpol pendukung pemerintah di luar Nasdem menjadi tegang dan sulit. Selain PPP dan PAN, besar kemungkinan tak ada parpol lain yang akan bergabung dgn PDI-P. Perseteruan historis Golkar-PDIP membuat keduanya sulit berada dalam satu koalisi. PKB juga tak dapat diharap berpindah ke kubu koalisi yang dibangun PDI-P karena Ketum PKB Muhaimin Iskandar adalah pasien rawat jalan yang terpaksa tunduk kepada maunya Jokowi.
Situasi ini membuat posisi Ganjar dan PDI-P rentan kalah. PPP dan PAN adalah cek kosong. Mayoritas konstituen kedua partai adalah simpatisan Anies yang diusung Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
itu sebabnya, Jokowi mendorong kedua partai bergabung dengan PDI-P untuk menghibur Mega, tapi dengan niat mimpi Mega membuat hattrick di pilpres menjadi ambyar. Tapi tidak mudah juga bagi Jokowi membangun koalisi Gerindra-PKB-Golkar. Golkar bersedia bergabung dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) — terdiri dari Gerindra dan PKB — asalkan Airlanga menjadi bacapresnya. Cak Imin menentang. Prabowo tidak dapat berbuat banyak karena sejak awal Gerindra-PKB telah berkomitmen membangun koalisi dengan posisi bacapres dan bacawapres yang belum ditentukan keduanya.
Meskipun perolehan suara Golkar lebih besar dari pada PKB, Golkar datang belakangan. Tak heran, Prabowo mengatakan Cak Imin menjadi penentu apakah Golkar akan bersama mereka atau tidak. Cak Imin memang dalam posisi untuk tidak mengalah karena Munas PKB mengamanatkan dirinya sebagai bacapres. Airlangga juga mnghadapi situasi yang sama.
Karena Golkar tak akan bergabung dengan koalisi PDIP-PPP-PAN dan kemungkinan tak pula dapat bergabung dgn KKIR, bukan tidak mungkin ujungnya Golkar akan bergabung dengan KPP.
Airlangga telah bertemu dengan Surya Paloh, SBY (Ketua Dewan Pembina Demokrat), dan Jusuf Kalla (politisi senior Golkar pendukung bagi Anies). Nampak mereka telah menemukan frekuensi yang sama. Yang belum jelas, apakah Demokrat dan PKS setuju bila Airlangga menjadi bacawapres Anies?
Di tengah ketidakpastian koalisi ini, oligarki menjadi cemas. Bila Golkar bergabung dengan KPP, maka Ganjar dan Prabowo berpotensi kalah bahkan dalam satu putaran. Mereka tak menghendaki Anies karena ia tak mendukung status quo yang sangat menguntungkan mereka.
Anies punya rekam jejak melawan oligarki. Ketika memimpin Jakarta, ia langsung memenuhi janji kampanyenya dengan menghentikan reklamasi 13 pulau milik oligarki karena proyek itu merugikan lingkungan dan nelayan kecil. Dan terbukti kemudian, ia tak dapat dirayu, ditekan, dan disuap untuk meloloskan proyek itu.
Memang dalam setiap kebijakannya, Anies selalu menekankan isu keadilan sosial. Menurutnya, Republik ini hadir semata-mata untuk melindungi, mengayomi, dan memajukan seluruh rakyat tanpa kecuali.
Dus, kendati tidak anti orang kaya, Anies menjadikan keadilan sosial sebagai episentrum kebijakannya. Melihat kriteria bacapres yang diajukan Jokowi, pengalaman di pemerintahan, dan prestasi-prestasi besar yang diukirnya di Jakarta, sesungguhnya Anies lebih memenuhi kriteria itu ketimbang Prabowo.
Namun, secara paradoks, pandangan dan sikap Anies terhadap isu keadilan sosial inilah yang menjadi ketakutan Jokowi dan oligarki. Kebetulan juga kalau pilpres berjalan jujur dan adil, peluang Anies memenangkan kontestasi cukup besar.
Inilah yang mnjdi penyebab Jokowi melakukan berbagai cara untuk menyingkirkan Anies dari arena pllpres, meskipun untuk itu ia harus melecehkan harkat dan martabat konstitusi, serta bepotensi melahirkan keos sosial. Sedemikian vulgarnya Jokowi melawan Anies sehingga publik terheran-heran mengapa Jokowi merasa demikian penting legacy dan program pembangunannya — yang sebenarnya karut-marut — sehingga ia merasa berhak mengatur siapa pemenang pilpres mendatang. Bukan tudak mungkin perangai aneh Jokowi ini didorong oleh oligarki yang, dalam konteks bisnis dan karier politik anak-anak dan menantunya, menjaga hubungan saling menguntungkan dengan oligarki merupakan keniscayaan.
Kendati menentang keinginan Jokowi memperpanjang masa jabatan dengan alasan melanggar konstitusi, Mega membiarkan Jokowi menindas Anies. Selain menguntungkan bacapres PDI-P, Mega tak mau berseberangan dengan oligarki yang duitnya sangat diperlukan untuk meningkatkan kinerja kampanye PDI-P. Dengan kata lain, hanya soal penindasan Anies-lah Mega dan Jokowi mencapai titik temu. Selebihnya, mereka berseteru di semua hal.
Kiranya perebutan pengaruh Mega-Jokowi masih akan berlangsung sampai menjelang pendaftaran bakal capres-cawapres ke KPU pada Oktober mendatang. Sementara oligarki dipaksa menunggu dengan harap-harap cemas hasil akhir perseteruan itu, yang bisa jadi jauh dari harapan mereka.
Pilpres seharusnya tidak setegang dan sesulit ini andai saja semua pemain dan stakeholders berjiwa besar untuk mendahulukan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Kenyataannya, mereka berjuang untuk kepentingan mereka sendiri.
Tangsel, 17 Mei 2023 !