Sang Karib dan Komentarnya yang Menginspirasi [Part.44].
Anwar Husen/Kolomnis tetap/tinggal di Tidore.
“Tidak mudah menulis tentang orang yang bersinggungan dengan politik dan kekuasaan,
apalagi yang bersangkutan masih hidup.Alhamdulillah, bro anu Karivela Anwar II masih bisa obyektif (menurut saya) dalam menilai obyek tulisannya.Barokallah”.
Ini adalah potongan komentar seorang karib ketika saya memposting tulisan kolom ini part.43,di akun facebook saya @Karivela_Anwar ll,siang kemarin,yang mengulas tentang sosok/tokoh yang ketiga hingga saat ini.Dia teman masa kecil saya di Tidore,yang sekarang berdomisili di Ternate.
Dan ini respon saya atas komentarnya : “@Nasrun As,sedari awal,seperti pernah di tulis di salah satu seri sebelumnya bahwa pesan keberpihakan pada nilai dan kemaslahatan/kemanfaatan bersama,itu yang ingin di jadikan ruh tulisan kolom ini.Terlepas siapa,apa latar profesi dan apa motivasinya.itu tidaklah terlalu penting.makanya saya tentu tidak menulis orang yang pulang kantor,ke masjid,dan dari masjid,tutup pintu rumah dan tidur.Rutin begitu puluhan tahun.hhh.Subjektifitas tentu milik semua orang tetapi subjektifitas yg punya “indikator” utk bisa di ukur,itu yg penting.Saya sengaja tag 2 teman di atas karena ini adalah tulisan yang menyebut sosok ke 3 setelah keduanya [yg satu suaminya] utk bisa menjelaskan posisi “berdiri” penulis.Efek ikutan yg di harapkan : mengajak orang agar mungkin termotivasi untuk hidup dengan peduli pada sesama bukan hidup untuk dirinya saja.sedapat mungkin memang di hindari subjektifitas.trims bro.salam”.[kebetulan di tulisan sebelumnya,saya pernah mengulas 2 sosok di atas,yang satu adalah suaminya,yang saya tag di postingan facebook tadi].
Saya melanjutkan komentar tanggapan saya ini : “@Nasrun As potongan komentar ini nanti jadi konten tulisan di seri berikut karena selama ini di rasa tak ada komentar saat di posting untuk sekedar menjadi umpan balik bagi penulis.trims konco”.
Kebetulan saya tahu,karib ini semasa menjadi mahasiswa dulu adalah seorang yang getol menulis dan pernah mengasuh tabloid mahasiswa di kampusnya.Kami berdua saat masih menjadi mahasiswa di 30-an tahun lalu,memang sering menulis di koran lokal saat itu.Saya di Manado dan karib ini di Makassar.
Komentar atas tulisan kolom ini,juga muncul di sebuah WAG,dengan narasi yang tidak jelas,kental subjektifitasnya ketika saya mengulas sosok kedua di salah satu serinya.Selebihnya,hampir tidak ada “reaksi” bagi yang telah membacanya.Dan tentu ini bukan harapan saya dan mungkin sebahagian besar penulis,linier dan tak ada “dialektika”.
Memilih kiprah dari sosok yang mau di ulas,memang banyak sisi yang di timbang.Dan karena alasan itulah,hingga di seri 43,baru ada tiga sosok yang di pandang “layak” bagi penulis berdasarkan kriteria dan perspektif pesan yang hendak di sampaikan.
Bagi yang terbiasa menulis,apalagi bernuasa komersial,keseimbangan informasi menjadi hal yang paling penting,sebab yang membacapun bukan orang bodoh.Meski mungkin tanpa menyebutnya,dia pasti punya pandangan apriori atas sebuah produk tulisan.Tetapi idealnya,setiap kita hendaklah menilai dengan dasar pengetahuan.Saya ingat benar hal-hal yang di tekankan oleh “mentor” kami ketika mengikuti diklat jurnalisme oleh PWI Sulawesi Utara 30-an tahun lalu itu,Imawan Mashuri,Suhendro Boroma dan Lily Djenaan,para pentolan tabloid Manado Pos [grup Jawa Pos] saat itu.
Menulis tulisan pendek dengan mengulas sosok atau tokoh itu potensi subjektifitasnya paling kuat.Terlebih,sosok itu adalah karib atau teman dekat.Sebab paling mungkin,respon paling pertama bagi yang tahu tetapi awam soal seluk-beluk dan filosofi menulis adalah apriori.Ini juga tantangan.Tetapi bagi orang yang cukup pengetahuannya,dia dengan mudah bisa “membedah” konten dan posisi penulisnya.Saya menyadari untuk berada dalam posisi sulit itu,memerankan lebih dari satu kapasitas,sebagai penulis dan ASN,tentu bukan hal mudah.Sangat mungkin kepentingannya saling mengarsir dan di terjemahkan subjektif.Dan pada akhirnya,hanya pembaca yang jeli dan sensitif melihat celah itu secara berimbang,yang bisa menjadi hakim yang adil.
Saya jadi ingat,dulu di sebuah rapat di kantor untuk sosialisasi kebijakan di kalangan para guru,saat saya menjabat kepala dinas pendidikan di kota Tidore,kami sedang beradu argumen soal sebuah kebijakan,untuk di pandang “adil atau tidak adil”.Seorang karib saya,yang sebelumnya kami sama-sama jadi guru PPKn [pendidikan pancasila dan kewarganegaraan] di sebuah sekolah menengah,menengahi perdebatan tadi dengan mengatakan bahwa tidak usah membantah kami yang pernah jadi guru PPKn bertahun-tahun,sebab pokok bahasan kami [sebutan untuk tema dan ruang lingkup materi pengajaran saat itu] adalah kebenaran,keadilan,keikhlasan,dan lain-lain.Jadi kami sedikit lebih terlatih sensitifitas rasa adil dan benar itu.
Dari kawan tadi,meski dengan nada guyon,saya pikir ada benarnya juga dari aspek pengayaan terhadap pengalaman.Apa yang kita pelajari dan aktualisasikan berulang dalam jangka lama,bisa menjadi media melatih kepekaan tertentu.Dan saya patut berterima kasih buat karib yang mengomentari postingan saya di facebook tadi karena komentarnya,memberi saya 100 persen inspirasi untuk tulisan pendek kali ini.Wallahua’lam.