GANJAR PEMIMPIN YANG BERBAHAYA
Smith Alhadar/Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
Pasti Ganjar Pranowo adalah pemimpin yang tak dapat diandalkan untuk mengemban tugas negara. Ia capres tapi bersedia untuk tidak menjadi “presiden” kalau terpilih nanti. Ia telah menandatangani kontrak politik dengan Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri bahwa kalau menjadi presiden ia hanya akan berperan sebagai petugas partai.
Kontrak itu juga mencakup hak mutlak Mega memilih cawapres pendampingnya. Juga dalam hal pengangkatan menteri-menteri nya. Apa yg dapat kita baca dari sikap berserah diri Ganjar ini? Layakkah orang seperti ini kita gantungkan nasib bangsa di tengah tantangan internal dan eksternal yang semakin berat? Tidak cukupkah pengalaman kita dengan Jokowi?
Sikap Ganjar ini menunjukkan ia pemimpin kerdil bermental budak. Tidak mungkin orang yang berkepribadian kuat bersedia menjadi wayang orang lain. Kalau ia menyadari presiden RI adalah sosok yang memiliki kekuasaan sangat besar dan karena itu penggunaannya akan dimintai pertanggungjwban, seharusnya ia tak menerima kedudukannya hanya sebagai orang suruhan Mega.
Bukankah presiden terpilih dalam pemilu adalah orang yang diberi mandat oleh rakyat Indonesia untuk mengemban amanat penderitaan rakyat, bukan orang yang ditugaskan sebuah parpol yang merupakan gudang koruptor? Dalam sistem demokrasi, begitu capres dari sebuah parpol terpilih, maka loyalitasnya kepada parpolnya berakhir untuk digantikan loyalitas pada seluruh rakyat tanpa kecuali.
Mega sendiri — kendati mengklaim diri pintar — bukan mantan presiden yang berprestasi. Dalam dua kali pilpres langsung, Mega keok dari Soesilo Bambang Yudhoyono, yang pada pilpres 2004 merupakan figur yang belum populer.
Sebagai presiden petahana yang masyhur, seharusnya Mega menang mudah. Apalagi dalam pemilu 1999, PDI-P mnjadi peraih suara terbanyak (33%) yang hingga hari ini belum pernah dicapai parpol manapun pasca reformasi. SBY kembali menaklukkannya hanya dalam satu putaran dalam pilpres 2009. Kenyataan ini nyaris tak memungkinkan kita untuk menyimpulkan lain kecuali merosotnya kepercayaan rakyat kepada Mega.
Memang selama tiga tahun memimpin menggantikan Gus Dur, kinerja pemerintahan Mega, khususnya bidang ekonomi, tidak menggembirakan. Sekarang ia ingin memerintah dari luar lapangan melalui Ganjar. Setelah pengalaman buruk dengan Jokowi, Mega membuat syarat ketat kepada petugas partai itu.
Kendati hanya menjadi orang suruhan Mega, Jokowi lebih mendengar Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan ketimbang bos-nya. Fenomena “pengkhianatan” Jokowi terhadap Mega lagi-lagi hanya menunjukkan Mega tak punya gagasan besar untuk diikuti. Keturunan tokoh besar memang tak menjamin seseorg akan berpikiran besar juga.
Lemahnya pikiran dan leadership Ganjar dikuatkan oleh fakta bahwa Jawa Tengah yangbdipimpinnya selama 10 tahun terakhir hanya menjd provinsi termiskin di Pulau Jawa. Pendpatan per kapitanya di bawah rata-rata nasional. Ia lebih sibuk pencitraan di medsos ketimbang mengurusi rakyat. Banyak jalan di Jateng rusak dan bebrapa kota dan desa lama terendam banjir.
Lalu, mengapa Mega mencapreskannya? Sama sebagaimana parpol lain, PDI-P juga parpol pragmatis. Ia tak punya pilihan lain karena kader partai yang memiliki elektabilitas tinggi hanya Ganjar. Pertimbangan kedua, setelah diuji beberapa kali, Ganjar terbukti sangat manut pada kemauan Mega. Dus, dia akan mudah disetir.
Ganjar juga terkesan bermental aji mumpung. Tidak peduli ia hrs merendahkan martabatnya dan memasrahkan dirinya untuk diatur Mega, yang penting ia mnjadi presiden. Atau jangan-jangan ia sedang meniru Jokowi. Sekarang ikuti saja apapun yang dikehendaki Mega agar mendapat tiket nyapres.
Sesudah berkuasa, tutup mata dan telinga untuk Mega: tidak perlu mengikuti maunya. Kontrak politik yang dibuat dengan Mega bukan bagian dari sistem hukum kita yang harus dipatuhi presiden. Biarlah Mega marah dan menjadikan Fraksi PDI-P partai oposisi di DPR kalau nanti ia lebih mendengar menteri lain semacam Luhut. Hal itu akan ia atasi dengan membangun koalisi besar di parlemen sebagaimana dilakukan Jokowi.
Tapi hal ini kecil kemungkinan karena, sesuai perintah Mega, ia telah mengumumkan kepada publik bahwa dia hanyalah petugas partai. Belajar daru pengalaman bersama Jokowi, Mega juga akan membuat kontrak politik dengan parpol-parpol pendukung Ganjar yang bersifat transaksional.
Penunjukan menteri merupakan hasil kompromi Mega dengan parpol-parpol pendukung dan oligarki. Dus, dengan mengkooptasi eksekutif, legislatif, dan yudikatif melalui parpol-parpol dan para menteri — yang disetujui oligarki — Mega akan menyempitkan ruang gerak Ganjar.
Kesediaan Gubernur Jateng itu menjadi petugas partai juga menunjukkan ia tak punya visi tentang Indonesia ke depan dan bagaimana cara meraihnya. Blue print pembangunan pemerintahannya, yang akan mendahulukan kepentingan oligarki, hanya merupakan kelanjutan dari apa yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi. Toh, Mega sendiri belum pernah menunjukkan komitmennya untuk menyingkirkan pengaruh oligarki di pemerintahan. Kenyataannya, oligarki merupakan sumber pemasukan yang tidak kecil bagi partai. Semakin besar sebuah partai, semakin besar pula nilai jualnya kepada oligarki.
Ganjar akan benar-benar menjadi bebek lumpuh karena ia adalah pasien rawat jalan terkait korupsi e-KTP. Institusi-institusi hukum yang dikuasai Mega melalui menteri-menteri yang ditunjuknya hanya akan menyempurnakan Ganjar sebagai presiden boneka. Terlebih, tak mungkin ia memberantas korupsi ketika banyak kader PDI-P yang terlibat di dalamnya.
Alhasil, di bawah Ganjar percepatan kemerosotan bangsa akan kian cepat. Pertama, ia akan melanjutkan legacy Jokowi yang bermasalah, yang bila diteruskan negara ini bisa bangkrut. Misalnya, proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung yang, karena ketelodoran pemerintah, pembengkakan biayanya harus dipikul pemerintah. Artinya, harus gunakan uang rakyat.
Indonesia terpaksa harus meminjam dari Cina dengan bunga sangat tinggi. Sementara, proyek itu tak memiliki kegunaan praktis dan urgensinya. Ini proyek merugi karena faktor ekonomis tak menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Belum lagi proyek-proyek mangkrak yang penyelesaiannya membutuhkan dana besar, sementara pengoperasiannya akan merugikan negara.
Terlebih, masalah IKN. Proyek ini menyita porsi APBN yang cukup besar di tengah utang negara yang membubung tinggi dan angka kemiskinan yang terus membesar. Tadinya, Jokowi berjanji IKN akan dibiayai swasta. Faktanya hingga kini tidak ada investor yang tertarik membenamkan modalnya di proyek yang tidak layak, tidak realistik, dan berpotensi mangkrak itu.
Kendati demikian, kemungkinan besar Ganjar akan melanjutkannya karena KCJB juga diinginkan Mega untuk membuat mimpi ayahnya jadi kenyataan. Bung Karno memang penggagas awal pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan. Legacy Jokowi lain yang akan dilanjutkan Ganjar adalah mempertahankan kerja sama erat diberbagai bidang dengan Cina karena ini juga merupakan kehendak Mega, yang oleh Cina diperlakukan bak ratu.
Yang mengkhawatirkan, pemerintah mengabaikan keprihatinan Barat atas kebijakan pro-Cina yang diadopsi pemerintahan Jokowi dan akan dilanjutkan Ganjar. Padahal, kartu Barat sangat penting bagi geopolitik kita untuk mengimbangi Cina yang kian agresif dan asertif di kawasan.
Tidak masuk akal pandangan penerintah bahwa tak ada yang dikejar Cina di negeri yang kaya sumber daya alam dan pasar yang besar kecuali kerja sama ekonomi melalui proyek OBOR, proyek infrastruktur global Cina untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dalam negerinya dan memperbesar perannya di dunia internasional. Dengan membelakangi Barat, kita kehilangan kekuatan strategis dan instrumental untuk meningkatkan daya tawar kita vis a vis Cina yang mengklaim Laut Natuna Utara sebagai miliknya, sekaligus menjaga independensi kita. Jangan lugu memandang motif Cina.
Dus, di bawah Ganjar, eksploitasi Cina atas sumber daya mineral kita dan kehadiran sejumlah besar buruh kasarnya di Indonesia yang menimbulkan protes luas dalam beberapa tahun terakhir akan berlanjut. Demikian juga politik belah bambu terhadap umat Islam. Di medsos, Ganjar sudah lama mengamplifikasi bahaya radikalisme, intoleransi, dan politik identitas. Ia tidak tahu bhw Islamlah yang akan menjdi penyelamat bila muncul ancaman dari luar.
Dengan demikian, pertentangan masyarakat akan kian keras. Pernyataan Jokowi baru-baru ini yang secara implisit mengisyaratkan Anies akan mengubah keadaan normal menjadi abnormal bila terpilih menjadi presiden tentu saja merupakan pernyataan omong kosong karena justru kalau Ganjar meneruskan diskriminasi dan penindasan atas kaum Muslim akan melemahkan ketahanan bangsa. Mungkin juga akan mendestabilisasi negara.
Dipastikan Ganjar juga akan tunduk pada kemauan oligarki ekonomi yang merupakan sekutu oligarki politik yang mendukungnya. Tentu saja kenyataan ini mengkhawatirkan karena akan menyuburkan korupsi dan merusak tatanan bernegara di mana yang berdaulat adalah oligarki, bukan rakyat. KKN keluarga Jokowi pun akan terjaga. Ini juga yang menjdi alasan mengapa Jokowi nekat cawe-cawe dalam urusan pilpres.
Dus, kepemimpinan Ganjar akan membahayakan Indonesia. Selain tak punya prestasi dan integritas — serta berpotensi merusak negara lebih jauh — ia tunduk pada tokoh yang kapasitas intelektual dan kearifan sebagai tokoh bangsa tak dapat diandalkan. Kita hanya tahu PDI-P adalah partai kiri, tapi tak pernah tahu gagasan besar Mega tentang Indonesia. Sangat mungkin ia memang tak punya visi besar yang bisa dipertanggungjwbkan secara akademis.
Pernyataan-pernyataannya justru memperlihatkan kedangkalan pikirannya. Orang seperti ini yang akan membimbing Ganjar. Dus, Ganjar seperti org buta yang dituntun orang yang tak memahami peta jalan. Dalam kondisi ini masuk akalkah dan bermoralkah bila kita mempertaruhkan nasib bangsa pada Ganjar?
Tangsel, 21 Juni 2023.