Bangunan Publik Berbiaya Miliaran,bervisi “Rumah kancing” : Stop Merencanakan Kegagalan [Part 54].
Anwar Husen/Kolomnis tetap/tinggal di Tidore.
Pagi tadi di sela kesibukannya,kami mempercakapkan tema yang relatif “berat”,soal proyeksi usia struktur dan ketahanan bangunan berlantai,wawasan dan kapasitas “engineer” para arsitek dan konsultan lokal kita,juga aspek estetik sebuah bangunan publik hingga filosofinya.
Kebetulan karib ini tetangga saya,teman sharing gagasan yang mumpuni.Meski hanya tamatan sebuah sekolah menengah kejuruan,dia memiliki wawasan yang cukup dalam memahami aspek-aspek tekhnis soal ini.Dan kebetulan pula,dia sedang di serahi tanggungjawab mengawasi pembangunan sarana publik,tempat ibadah di kampung asalnya yang baru saja menyelesaikan tahapan pengecoran lantai atapnya,berbiaya nyaris puluhan miliar.
Dia berkisah,karena di percayakan maka dia harus bersikap tegas untuk jenis item pekerjaan yang punya resiko “besar”,termasuk sedikit menggurui para tukang untuk pekerjaan struktur,yang kebetulan juga warga kampung itu.Biasalah,sikap merasa paling tahu dengan pengetahuan praktis yang terbatas dan minim teori,kadang membuat mereka merasa paling hebat dan lupa bahwa pengetahaun tentang soal ini dari berbagai aspek,telah berkembang sebegitu jauh,sangat jauh dari pengetahuan kita tentang konstruksi “rumah kancing”,sebuah istilah untuk menunjuk jenis konstruksi tradisional dengan mengaitkan sambungan kayu,meski di sinyalir tahan gempa itu.
Semua ini berangkat dari kesalahan proyeksi usia masjid ini karena “gagal” pekerjaan struktur,lantai penyangga atapnya bocor dan merembesi item beton lainnya termasuk tembok.Padahal kekuatan betonnya masih relatif baik.Dan fakta ini terjadi di banyak tempat,terkhusus bangunan publik tempat ibadah.Padahal investasinya yang bersumber dari swadaya jamaah yang berpuluh tahun “menabung” dan sumber daya lainnya.
Fakta lain di Tidore khususnya,ada sarana publik tempat ibadah di tengah kota,yang bisa di bilang “gagal” struktur dan konstruksi hingga desainnya.Padahal teramat besar investasi jamaah dan publik di sini,yang berujung menjadi bahan guyonan sebagian kalangan yang awam soal-soal begini,sekalipun.Padahal tempatnya di tengah kota,di pusat kesibukan,yang di harapkan bisa mengakomodasi kepentingan jamaah yang heterogen dan kadang jadi masjid “transit” antar pulau/kota.
Kamipun,bersepakat dalam beberapa hal karena ada gejala “kegagalan” dari berbagai aspek khususnya bangunan publik dengan pendekatan swadaya,tempat ibadah,masjid.Variabel itu di antaranya adalah visi dan mindset.Proyeksi usia pakai,rencana pembangunan hingga rampung,estimasi dan rencana sumber biaya.Selebihnya,aspek estetik yang mengakomodasi trend yang sedang berkembang dan ke depan nanti melalui perangkat tekhnogi yang mudah di akses saat ini.
Melibatkan banyak orang dengan banyak pikiran yang rata-rata awam,juga butuh manajemen tata kelola yang baik.Apalagi jika para imam dan staf sya’ra sudah mau merangkap sebagai “konsultan” dan tenaga tekhnis.Di sini,salah satu “kegagalan” tadi.Biasalah,sarana publik di kampung,punya sumber daya yang terbatas tetapi potensi merasa paling tahu,mau pakai nomor 10,istilah karib saya ini,juga tinggi.Semua seolah mau jadi “ketua”.
Dunia arsitek kini berkembang sudah sangat jauh.Anda alumni arsitek di jaman meja gambar yang merangkap meja pimpong dulu,sudah jauh tertinggal jika sensitifitas seni dan tekhnis,tak mampu di asah untuk mengakomodasi kemajuan saat ini yang sudah dalam tahapan programer dengan variabel dimensinya yang utuh,anda ketinggalan.Produk anda,mungkin mungkin bisa membuat orang awam “eleng”,istilah karib saya ini untuk menyebut mengakui,tetapi bagi kalangan yang cukup wawasan,anda di “tertawai” karena anda mendesain bangunan publik untuk proyeksi puluhan bahkan hingga ratusan tahun ke depan tetapi menggunakan pengetahuan dan wawasan estetik 20 tahun lalu.Ini salah satu faktor kegagalannya.
Banyak fakta bangunan publik tempat ibadah yang terlihat begitu cepat masa “kedaluwarsa”nya khususnya dari aspek estetik,di tambah letaknya di tengah kota lagi,karena di sinyalir gagal desain.Tentu berbeda dengan desain masjid yang punya latar sejarah dan filosofi tertentu yang relatif tetap,kesultanan misalnya.Dalam banyak kasus,cibiran diam-diam tetapi mempublish karena variabel “gagal” tadi,lebih di sebabkan “selera” panitia pembangunanya “rendah”,memilih juru gambar merangkap semua “juru” dengan wawasan yang terbatas karena dengan dalih anak di kampung sendiri.Bisa di bayangkan,variabelnya sendiri saja sudah sangat jauh dari kesan “intelek”,bagaimana produknya nanti bisa di sebut sebagai produk hasil berpikir.
Beberapa bangunan tempat ibadah,meski berbiaya berpuluh miliar dan punya desain yang bagus tetapi di sinyalir “gagal” konstruksinya,khususnya pengecoran lantai atap,hingga karib saya ini mengawasi benar kemiringan pengecoran atapnya yang di lakukan pekan kemarin.Di kolom part lalu,saya sempat menyinggung tentang kontribusi sumber daya KUD bagi pembangunan kembali masjid Topo bernilai puluhan miliar itu.
Apa hal paling penting di sini???menurut saya,visi dan proyeksi : material untuk fisik bangunannya punya standar kualitas terbaik di provinsi Maluku Utara.Pasirnya dari Tobelo,kabupaten Halmahera Utara,yang katanya jenis pasir dengan kualitas unggul dari olahan semburan material gunung Dukono.Batu bata merahnya dari produk salah satu usaha ini di Ternate yang tèrkenal kualitasnya.Sudah pakai bata merah,yang konon punya kualitas terbaik untuk dinding,produk terbaik lagi.Belum terhitung material lain-lain.Ini yang di maksudkan dengan visi yang terukur.Kita tidak bisa berspekulasi dengan output dari sumber daya yang begitu besar di habiskan.
Lebih dari segalanya,poinnya adalah,kita membiasakan mengelola amanah banyak orang itu secara terukur,efisien dan efektif.Sumber daya yang di kelola itu adalah hasil “menabung” dari potensi zakat,infaq dan sadaqah berpuluh tahun.Dan bisa jadi kita tak tahu,di setiap tangan yang setiap waktu memasukan infaqnya ke kotak celengan masjid secara diam-diam,terselip ungkapan dalam hatinya,merindukan kelak,anak-anaknya,cucu-cucunya,beribadah di tempat yang nyaman dan sedikit indah karena tak sempat di nikmatinya di masa muda,yang hanya di sebuah masjid tua berkonstruksi rumah kancing di kampung asalnya.Wallahua’lam.