Semalam,ada hajatan pembacaan doa berkenan 200 hari berpulangnya almarhumah mertua saya di kediaman,di Santiong,Ternate.Acaranya di rangkai tausiyah peringatan 1 muharram oleh kerukunan keluarga Topo,Tidore,yang berdomisili di Ternate.
Di sesi tausiyahnya,seorang ustadz yang cukup di kenal mengungkap beberapa hal sebagai minimal,bentuk renungan bagi kita yang masih hidup.Sang ustadz ini berujar,kematian itu sendiri ada bentuk keadilan Tuhan.Jika tak ada kematian dan pengadilan di hari akhir kelak,banyak dari kita akan protes betapa Tuhan tidak berlaku adil.Orang jujur dan kufur,orang baik dan dan orang bertabiat buruk,orang saleh dan pelanggar perintah agama,akan mendapatkan perlakuan yang sama,tidak adil.Dia melanjutkan,jika nabi Adam Alaihissalam dan Siti Hawa di turunkan dari surga karena “melanggar” perintah Tuhannya maka kita yang hidup bergelimang dosa berharap mendapatkan surga.
Di jeda istirahat usai bersantap,saya mendengar sambil menyelami cerita karib sekaligus keluarga saya,yang mengelola BKM masjid Nurul Iman,Santiong.Dengan penuh semangat,dia mengungkap sesuatu yang di sebutnya “metode baru”.Ternyata yang di maksudnya adalah sadaqah beras setiap jum’at pagi yang jadi “terobosan” dan telah berjalan kurang lebih seminggu ini.Dia mengungkap fakta kehidupan keseharian di lingkungan itu soal ketimpangan ekonomi tertentu,yang menurut BKM yang di pimpinnya,harus hadir memberi solusi.Kita tak bisa berharap masjid harus menjadi ramai oleh jamaah tanpa mengenali problem yang di hadapi jamaah dengan berbagai latar sosialnya.Dan pemantik paling utama yang membuatnya tergugah adalah bahwa dia dan keluarga punya pengalaman ada warga yang mengetuk pintu rumahnya sembari berharap ada belas kebaikan meminjamkan beras.Tentu ada hal yang miris di tiris masjid.Seminggu terkumpul 6 karung beras dan petugas menyiapkan data yang “valid” untuk distribusinya.
Komentar