OPINI

Inisial BL Hingga “Tragedi” Buah Kersen : Fair itu Terhormat [Part 63].

Anwar Husen/Kolomnis Tetap/tinggal di Tidore.

 

Ada dua media online berbeda yang sempat saya baca.Mengangkat postingan facebook dari sebuah akun yang menulis isu,ada seseorang pengusaha di Maluku Utara berinisial BL,yang katanya main proyek,menjadi sumber berita dengan beberapa konfirmasi pada nara sumber terkait.Saya mencoba mengecek soal status pertemanan di akun facebook saya,ternyata kami belum berteman.Lagi,ada beberapa nama akun yang sama dan membuat saya kesulitan untuk sekedar “mengintip” postingan yang jadi sumber berita tadi.

Karena sering mengangkat informasi berita media untuk jadi konten tulisan kolom,saya tertarik menulis soal yang satu ini.Alasannya,ada variabel tokoh dan daya magnet isu yang kuat.Dan meski jauh,bisa jadi di pandang oleh yang “mempersoalkan”,ada gejala ketimpangan distribusi sumber kesejahteraan hingga menutup ruang bagi pengusaha lain untuk berkompetisi mengais rejeki.Mungkin juga ada asumsi pelanggaran aturan di soal begini.

Tak penting bagi saya memperpersoalkan siapa inisial BL,sebagai apa dia atau bahkan pernah menjadi apa.Begitupun pejabat terkait dalam urusan ini.

Di kolom ini pada part sebelumnya,saya pernah menyinggung soal kebebasan berekspresi dan berpendapat hingga informasi yang berkatagori hoaks.Setiap warga negara bahkan terkesan begitu “merdeka” dalam soal ini.Cukup punya akun yang terverifikasi atau bahkan akun berkatagori palsu,anda sudah bisa di sebut WTS : Wartawan tanpa Surat Kabar.Itu di media sosial,jenis media yang paling “merdeka”,bagi saya.

Kembali ke laptop,isu tadi.Bagi saya,ada beberapa variabel yang perlu di verifikasi tentang soal isu begini agar kita terlihat fair hingga bisa rasional,tidak mengalihkan atau bahkan terkesan lari dari locus rasionalitas sebagai basis berargumen.Bagi saya begini,kesempatan berusaha,hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah jaminan yang di berikan oleh negara bagi setiap warna negara,siapapun dia,sepanjang tidak ada aturan yang di langgar.Dari sini dulu mindset dan basis argumen di bangun.Menuduh hingga menyerang secara tidak fair hingga menggunakan inisial nama orang bahkan masuk ke wilayah privasi,bisa saja di tafsirkan sederhana : kita kehilangan “jurus” untuk bersaing,kalau tak bisa di bilang kehilangan akal sehat.Variabel kompetensi,sumber daya dan jaringan kerja misalnya,itu adalah hal yang bentuk secara sengaja dalam waktu yang lama.Dia tidak serta merta terjadi secara tiba-tiba dan harus di “hargai” sebagai bagian dari sebuah proses.

Variabel berikut,soal kapasitas dan konteks.Jika saya seorang berlatar pengusaha kemudian terpilih dalam kontestasi politik menjadi kepala daerah.Setelah periodesasi saya sebagai kepala daerah berakhir,saya kembali menekuni profesi awal sebagai pengusaha.Ini adalah alur yang normal.Yang tidak normal kalau saya tidak mau berhenti menjadi kepala daerah dan publik mencemohnya karena konteksnya pelanggaran aturan,sama seperti logika bahwa kalau saya di “larang” kembali menekuni profesi awal saya berarti saya tidak bisa mundur sebagai kepala daerah meski periodenya sudah berakhir karena menafikan hak saya sebagai warga negara.Menjadi kepala daerah dan pengusaha itu di tempuh dengan cara-cara yang legal.saya harus punya pilihan yang tak bisa di hambat.

Soal terminologi “monopoli” yang di gunakan,ini bisa membuat kacau nalar publik,seolah segala proses dan mekanisme berusaha bisa di lakukan sekehendak orang-perorang,tidak ada aturan yang mengatur.Dulu,masih bisa di nalar ketika segala aturan tetek bengek tentang pengadaan barang dan jasa yang belum di proteksi seketat saat ini.Tuduhan bersekongkol dalam soal begini,masih bisa di maklumi karena cukup “celah”.Tapi jika konteksnya di letakan saat ini,ketika regulasi dan sistemnya makin baik memproteksi praktek pelanggaran aturan,rasanya hanya mengumbar ketidaktahuan ketika kita mempersoalkannya.Kalau di tuduh ada praktek bersekongkol,mungkin bisa jadi ada juga celahnya.Tapi ketika di minta membuktikan,apakah kita cukup cerdas untuk bisa “menguji” semua itu,di sini soalnya.Jika tidak maka ada celah juga dari pihak yang merasa di rugikan reputasi usaha hingga nama baiknya untuk menguji balik tuduhan kita.Kesannya, nampak laksana angin,terasa tapi tak terlihat wujudnya,analog sekongkol soal ini dan di saat ini.Memaksa bisa melihat “wujud” angin juga tak cukup hingga tak cerdas jika itu hanya lewat ciutan di media sosial.Lagi pula,dalam urusan soal pengadaan barang dan jasa itu sudah ada mekanisme “check and re-check”nya,yang bisa di verifikasi secara terbuka oleh setiap yang berkepentingan karena berbasis tekhnologi aplikasi macam-macam.

Jika sepuluh buah apel di bagi kepada sepuluh orang maka setiap orang akan mendapatkan satu buah.Fakta ini akan di terima sebagai bentuk “keadilan” dalam praktek prinsip musyawarah/mufakat.Tetapi bila menggunakan prinsip logika dalam persaingan usaha,ini tak adil karena menafikan aspek kompetensi,sumber daya hingga reputasi,menyamaratakan.Anda meraih peluang karena anda memiliki cukup sumber daya untuk itu.

Secara pribadi,saya merasa kaget juga membaca berita di media online tadi,tak membayangkan bahwa hal-hal begini bisa jadi konsumsi publik yang meluas.Bahwa mendengar selentingan soal praktek “jual beli” paket pekerjaan dalam urusan pengadaan barang dan jasa di lembaga pemerintahan,kita mungkin pernah mendengarnya di cerita-cerita lepas di kedai kopi,dan cerita begitu bukan hal baru.Bahkan tak sekedar itu,jabatan di pemerintahan saja di endus media,ada indikasi di perjualbelikan.Tetapi “nilai”nya tetap hanya cerita : menghembuskan angin dari mulut ke mulut,memindahkan kabar yang “konon”.Mempersoalkannya di ranah publik saja yang terbilang “baru”.

Di masa kecil dulu,ada kenangan yang saya ingat hingga kini.Ketika di minta menghitung buah kersen yang ada di tangannya,hasil panjat,untuk memastikan siapa yang mendapatkan lebih banyak,seorang teman saya tak bisa menghitungnya hingga selesai,entah karena lupa atau memang pengetahuan berhitungnya yang pas-pasan.Di tengah kebingungannya,dia berujar sambil memasukan perlahan buah kersen tadi satu persatu ke mulutnya : ah,yang penting makan.

Agar tak sepertinya,kita mestinya tak selalu menempuh “jalan pintas”,meniru cara teman masa kecil saya ini,mengalihkan ketidakmampuan “berhitung”nya dengan konpensasi yang begitu mudah di terka dan terkesan “receh”.Wallahua’lam.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *