Di Terminal Rum,Otokritik itu “Berharga” 2000 Rupiah [Part 70].
Anwar Husen/Kolomnis Tetap/Tinggal di Tidore
Di Jum’at sore pekan kemarin,saat hendak menyeberang ke Ternate,saya kepergok teman saya,seorang ibu paruh baya di depan pintu masuk fasilitas toilet di terminal penumpang pelabuhan Rum-Tidore.Dia,yang sebelumnya berjualan di pelataran terminal ini bertutur bahwa sedang menjaga toilet,dan sudah berbayar alias tidak gratis lagi,saat saya menanyakan kenapa nongkrong di situ di waktu begini.
Memang,sejak beroperasinya terminal ini usai di rehabilitasi berat,kondisi toilet di sampingnya tak lama bertahan.Saya pernah beberapa kali hendak menggunakan tetapi mendapati kondisinya yang tak layak pakai.Beberapa fasilitasnya bahkan terlihat rusak termasuk air di krannya yang tak lagi jalan.Pengguna lainnya mungkin pernah mengalami hal sama.
Malam tadi,di sebuah WAG,saya membaca berita di sebuah media online,apa yang saya temui kemarin itu,soal toilet yang berbayar.Di sebutkan tarif per sekali masuk 2000 rupiah.Di sinyalir juga bahwa tarif yang tertagih ini tidak masuk ke kas daerah sebagai pendapatan asli daerah [PAD].
Di silang pendapat mengomentari berita ini,saya berkomentar bahwa biar saja di tagih [mungkin untuk sekedar biaya pembersihan] karena warga kita memang tidak terbiasa secara mandiri menjaga fasilitas publik.
Sampel kasusnya bukan cuma di pelabuhan Rum tadi,soal kebersihan toilet.Kita sering mendapati hal yang sama di banyak tempat bahwa jika kebersihannya serahkan begitu saja pada kesadaran warga untuk secara mandiri merawatnya,agak sulit.Jangankan fasilitas toilet di ruang terbuka yang jauh dari “pengawasan”,di ruang-ruang publik yang relatif berhimpitan,di gedung kantor pemerintahan hingga di Mal dan pusat perbelanjaan,juga sama.Banyak di temui kondisi toilet yang tak terjaga kebersihannya.
Saat masih menakhodai sebuah institusi pemerintahan di urusan pendidikan,pemuda dan olahraga di kota Tidore Kepulauan sekitar 13 tahun silam,saya pernah menawarkan diri kepada tim penilai Adipura bahwa kantor ini di masukan sebagai salah satu titik pantau yang di nilai untuk mendukung target kota terbersih,dan itu di terima.Ketika tim ini datang,yang pertama kali di amati dan di nilai adalah kebersihan toilet.Maklum,dinas ini mengurus sekitar 2500 guru dan tenaga kependidikan yang setiap waktu berpotensi untuk berurusan di kantor ini.Belum termasuk masyarakat umum.Artinya apa???potensi pemakaian toilet pasti tinggi,dan karena itu,pasti rawan dari sisi kebersihannya.Apa faktanya???masih juga di temui prilaku pengguna toilet yang tak ramah kebersihan.
Kita mahfum,bahwa urusan kebersihan khususnya kebersihan toilet di wilayah domestik rumah tangga,itu hal yang paling utama.Banyak dari kita bisa menyadari itu tetapi banyak juga yang mungkin belum menyadari bahwa indikator paling utama kita di nilai punya prilaku hidup bersih,bisa tercermin dari kebersihan toiletnya.Jika hal yang paling “tidak penting” bahkan mungkin menjijikan saja,sudah sedemikian terawat dan terjaga kebersihannya maka asumsi di hal-hal lain,pasti terjaga kebersihannya.
Di Maluku Utara,mayoritas penganut agama yang mengajarkan betapa pentingnya hidup,hingga ada ungkapan bahwa kebersihan adalah sebagian dari pada iman.Tidak hanya di tataran kebersihan “fisik”,para ahli hakikat memandang bahwa “bersih diri” secara hakikat adalah syarat paling utama dari tahapan menyingkap tirai ilahiah.Tentu ini menjadi pemandangan yang paradoks dari prilaku keberagamaan kita,antara di “baca” dan di wujudkan dalam bentuk prilaku hidup.
Jadi salahnya di mana???saya cenderung berpandangan bahwa ini soal mentalitas dan prilaku.Kita sepertinya beranggapan bahwa yang namanya fasilitas publik adalah fasilitas banyak orang,tidak ada pemilik tunggal.Makanya,kita cenderung berprilaku seadanya karena itu bukan tanggung jawab kita.Sulit di temukan ada mentalitas dan prilaku yang menggejala bahwa urusan publik adalah urusan kita semua.Bahkan hingga ke kesadaran paling dasar bahwa jika ada fasilitas publik yang tidak di jaga,bisa-bisa membuat keluarga saya kerepotan saat membutuhkannya di lain waktu,toilet tadi misalnya.
Untuk kedua kalinya,saya menulis dengan memberi contoh mentalitas dan prilaku hidup bersih masyarakat Jepang,meski ini sesungguhnya hanya mengobral kekurangan bahkan kebodohan.Masih ingat sisi lain event Piala Dunia terakhir kali yang viral lalu???apalagi kalau bukan suporter Jepang yang dengan suka rela membersihkan sisa sampah di stadion usai menonton tim nasionalnya.Ironisnya,ini di lakukan saat tim kesayangan mereka kalah saat itu.Bisakah hal begini terjadi di sini???hampir mustahil.Lucunya,ada penonton sepakbola di sebuah event di sini yang mencoba meniru prilaku suporter Jepang tadi.Bukan mimpi???Tidakkah semestinya mereka yang meniru kita,karena hampir semua variabel dasarnya kita miliki termasuk anjuran dari ajaran agama yang mayoritas kita anut???
Berhentilah sebentar untuk berpandangan bahwa itu sudah menjadi urusan yang berwewenang,pemerintah dan lain-lain.Jika begini terus mindset yang di bangun maka tak ubahnya kita sepakat bahwa kita berhak untuk tidak merawat atau bahkan mungkin turut merusak fasilitas publik di sekitar kita,yang di bangun dari pajak yang kita bayar,apalagi ini toilet,tempat orang “mengekspresikan” dan menyalurkan sebagian kebutuhan paling privasinya.Betapa kita tidak bertenggang rasa.
Bagi saya,tidak terlalu penting menanyakan uang pecahan 2000 rupiah untuk tarif toilet di terminal pelabuhan Rum tadi akan “lari” ke mana.Anggap saja itu adalah jawaban atau otokritik terhadap prilaku kita menggunakan fasilitas publik bahwa yang serba gratis,belum tentu baik akibatnya.Wallahu’alam.