HEADLINEPOLITIK

WACANA USULAN PEMAKZULAN PRRSIDEN DALAM TAHAPAN PILPRES.

Dr. Abdul Aziz Hakim ; Saya Berbeda Pandangan dengan Pakar lain.

 

PIKIRAN UMMAT.Com— Jakarta||Wacana usulan pemakzulan atau Impeachment Presiden Jokowi dalam tahapan Pilpres yang dilontarkan oleh Faizal Assagaf dkk, yang tergabung dalam petisi 100 saat bertemu Prof Mahfud MD, di Kantor Kemonkopolhukam, dan ditanggapi oleh tiga pakar hukum tata negara yakni Prof Dr. Jimly, Prof Dr. Yusril dan Zainal Arifin Muhtar, membuat semakin menarik untuk diamati.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Dr. Abdul Aziz Hakim, SH , MH menilai wacana pemakzulan atau impeachment presiden hubungannya dengan fenomena Pilpres 2024 ini tentu tidak sekedar melihat dalam konteks pengalihan isu dan alasan waktu serta soal prosedural sebagaimana pandangan beberapa pakar

Saya kira ini usulan serius dalam konteks berbangsa dan bernegara, lagi-lagi jika dihubungkan dengan fenomena keterlibatan anak Presiden Jokowi yakni Gibran yang ikut dalam kontestasi Pilpres 2024.

Aziz justeru tidak sependapat jika isu pemakzulan ini diberi alasan karena ada pengalihan isu, soal tidak mudahnya prosedur dan juga waktu untuk memproses pemakzulannya sangat singkat.

Saya kira justeru ini alasan yang kurang substansial jika dihubungkan dengan konstruksi sistem pemakzulan presiden dalam UUD 1945. Saya kira kita harus super serius mengawasi Presiden Jokowi, agar kecenderungan dalam memanfaatkan kekuasaannya demi kepentingan anaknya. Sebab jika tidak, maka demokrasi kita akan terbunuh sendiri, bukan karena prilaku presiden tetapi kita sebagai anak bangsa juga ikut terlibat karena melakukan pembiaran secara masif dugaan pelanggaran hukum dalam proses Pilpres ini.

Jadi kalau alasannya sekedar pengalihan isu, ini justru tidak substantif dan objektif, jika kemudian dihubungkan dengan prilaku Jokowi yang cenderung melakukan abuse of power dalam tahapan Pilpres ini.

Saya kira ini momentum Pilpres yang paling krusial dalam fase sejarah Pemilu kita sejak republik ini didirikan, dimana baru pertama kali anak presiden aktif kut berkontestasi dalam Pilpres , dan sejak tahapan awal pendaftran Pilpres sudah terlihat gejolak carut marut, disebabkan soal polemik syarat usia Gibran yang belum cukup, kemudian dilegalkan Mahkamah Konstitusi RI, dan berakhir dengan diberhentikannya Ketua MK RI oleh MKMK RI dan dicatat oleh sejarah sebagai putusan yang melanggar etika berat.

Menurut saya Jokowi ini terpilih jadi presiden karena ada sejumlah syarat yang dia harus penuhi. Salah satu syaratnya seperti Tidak pernah mengkhianati negara,Setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika; Dan selanjutnya ketika terpilih sebagai presiden, juga disumpah sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yaitu
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):

“ Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik
Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik­-baiknya dan
seadil­-adilnya, memegang teguh Undang­-Undang Dasar dan  menjalankan
segala undang­-undang dan peraturannya dengan  selurus­-lurusnya serta
berbakti, kepada Nusa dan Bangsa”.

Dari prinsip-prinsip konstitusi ini saya berpendapat bahwa persoalan ini adalah persaolan mendasar kenegaraan dan kebangsaan yang wajib dijalankan presiden demi menjalankan mandat rakyat yang dimanifestasikan melalui konstitusi.

Syarat konstitusional tersebut ini wajib dijalankan Presiden jika tidak maka opsi pemakzulan menjadi jalan satu-satunya sebagai mekanisme konstitusional untuk mencabut mandat rakyat tersebut.

Menurut Dr. Abdul Aziz Hakim, syarat pemakzulan yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 7b yaitu karena
Presiden  telah
melakukan  pelanggaran  hukum berupa pengkhianatan  terhadap  negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan  tercela;
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil  Presiden  tidak  lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Maka berdasar syarat konstitusional tersebut, saya menilai ada dua alasan konstitusional yang bisa ditarik dalam norma ini jika dihubungkan dengan problem Pilpres, yakni pertama bisa saja Presiden dimakzulkan karena melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara dan kedua, presiden tidak memenuhi syarat sebagai presiden.

Saya kira prinsip norma ini bisa dijadikan dasar untuk dilakukan pemakzulan terhadap presiden jika tindakannya dalam Pilpres ada kecenderungan kuat presiden memanfaatkan kekuasaannya dengan menggerakkan alat-alat, badan, lembaga, serta aparatnya ikut serta untuk mempengaruhi kemenangan anaknya sebagai Cawapres.

Jika dugaan ini terjadii maka saya kira presiden Jokowi melanggar norma-norma konstitusional seperti pelanggaran terhadap etika berbangsa, larangan untuk KKN, dan terlibat adanya konflik interest. Ketiga hal ini sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Saya kira kalau ini yang dilakukan Jokowi dan terbukti, maka akan dididakwa atau dimakzulkan ditengah jalan, sebagai sanksi konstitusional terhadap presiden karena melakukan pelanggaran konstitusi berupa pengkhianatan terhadap negara, dan juga tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.

Saya kira presiden harus menahan diri atas ambisinya untuk cawe-cawe pada detik-detik unjuri time saat tahapan Pilpres ini, apalagi terindikasi menggerakan beberapa aparaturnya untuk ikut serta mengintervensi proses penyelanggaraan Pilpres, Ini justeru jika presiden melakukannya dan diketahui rakyat maka akan menjadi Boomerang terhadap anaknya yang maju sebagai Cawapres. Justeru momentum ini Rakyat akan mencabut mandat melalui jalan yaitu dengan tidak memilih Gibran pada tanggal 12 Februari nanti. Ini merupakan sanksi sosial dari dan oleh rakyat terhadap Jokowi karena terindikasi melakukan cawe-cawe dalam Pilpres demi kepentingan anaknya.

Jadi menurut Aziz, usulan pemakzulan ini tidak sekedar isu pengalihan politik sebagaimana di maknai Prof Jimly.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Maluku Utara ini juga menilai, jika usulan pemakzulan terhadap presiden ini tidak bisa diberi alasan karena prosedurnya yang rumit. Saya kira rumit dan tidak rumit itu bukan alasan yang tepat, karena nanti kita terjebak dengan hal-hal yang formil prosedural tetapi menghilangkan hal-hal yang substansial. Jangan-jangan suatu saat presiden telah melanggar hukum berupa pengkhinatan terhadap negara serta sudah melanggar konstitusi, lalu kita bilang pemakzulan tidak bisa dilkukan karena prosudurnya rumit dan susah, ini yang bahaya.

Lebih lanjut menurut Aziz, yang menulis riset tentang Impeachment presudent ini menyatakan bahwa usulan pemkzulan ini jangan dihalangi dengan alasan karena waktunya yang mepet. Saya justru berbeda pandangan dengan Prof Yusril. Usulan pemakzulan ini jangan dihitung dengan waktu tahapan Pilpres yakni dengan hitungan sebulan. Jika usulan ini tidak setujui karena tahapan Pilpres tinggal sebulan, itu benar tetapi masa jabatan Jokowi kan sampai Oktober 2024, bisa saja usulan pemakzulan ke DPR dan Proses pemeriksaan ke MK RI dalam waktu kurang lebih 10 bulan masih sangat efektif untuk dilakukan. Lagian apa relevansinya usulan pemakzulan dengan soal waktu Pilpres, kan kita melihat nilai pelanggaran hukumnya yang dilakukan oleh Presiden bukan soal waktu Mau satu hari atau satu bulan lagi jika itu pelanggaran hukum ya tetap pelanggaran, jadi tetap tidak ada kompromi soal ini.

Menyinggung soal kekuatan politik parlement Dosen FH UMMU Ternate ini menyatakan bahwa kekuatan parlement dengan skema politik saat ini, yakni dua kekuatan politik yaitu partai pendukung Anies dan Ganjar bergabung itu sangat mungkin dilakukan proses pemakzulan. Ini kalau dua kekuatan politik itu menganggap bahwa Presiden Jokowi sudah tidak netral dan punya kecenderungan melakukan abuse of power yaitu melakukan intervensi politis alias cawe-cawe untuk memenangkan sala satu pasangan dan itu merugikan secara langsung dua kubu yaitu kubu Anies -Muhaimin dan Kubu Ganjar-Mahfud maka sya kira peluang besar untuk dilakukannya proses pemakzulan dalam masa-masa Pilpres.

Aziz juga menyatakan bahwa usulan pemakzulan Presiden di Indonesia selalu terhalangi oleh kekuatan politik di parlement sebagaiman diatur dalam konstitusi, sehingga sistem pemakzulan kita tergantung pada kekuatan politis di parlement kita. Nah saya lihat kekuatan politik parlement sekarang ini justeru jika dikonsolidasikan itu sangat memungkinkan untuk dilakukan pemakzulan.(***)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *