Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada serentak akan digelar diseluruh daerah provinsi dan kabupaten serta kota di seluruh Indonesia pada bulan November 2024.
Pemilihan Kepala Daerah galibnya merupakan agenda politik 5 tahunan atau digelar sekali dalam 5 tahun.
Sebagai agenda politik praktis, dinamika Pilkada tak luput diwarnai intrik.Berbagai cara dilakukan, menyebarkan isu-isu bohong sekalipun, menggunakan medsos dan media maeanstream dengan tujuan pembunuhan karakter.
Isu-isu negatif digunakan sebagai alat pukul dan saling jegal terhadap kontestan tertentu yang dipandang bisa menjadi batu sandungan atau dinilai kuat dan potensial bisa memenangkan kontestasi Pilkada.
Sebagai sampel, beberapa pekan ini Masyarakat Malut disuguhi informasi dan pemberitaan kasus korupsi yang diduga melibatkan kontestan Pilkada tertentu di Maluku utara.Beritanya cukup masiv namun terkesan tak berimbang.
Ironisnya, tudingan yang dilayangkan tidak berdasar baik secara azaz hukum formil dan materil.
Pada isu kasus korupsi misalnya, Data BPKP yang kompeten secara konstitusional dan memiliki kompetensi ilmiah diragukan bahkan diingkari tanpa ada data banding yang ilmiah.Padahal hanya melalui data BPKP, kasus korupsi baru bisa diproses.Tidak ada lembaga lain diluar BPK dan BPKP yang bisa dijadikan rujukan dalam proses kasus korupsi.
Apa tujuannya ? Bisa jadi ansih hukum namun dibaca dari alur nya, besar kemungkinan bermotif politik.Modusnya memang murni pemberitaan hukum tetapi kesan yang ditimbulkan adalah agar terduga yang diberitakan kehilangan simpati publik karena disuga melakukan tindakan korupsi.
Ini memang permainan gaya lama dimana isu politik lah yang menjadi target bukan isu hukum.Isu korupsi sebagai isu politik.
Beruntung lembaga penegak hukum anti korupsi yakni Pidsus Kejaksaan dan KPK benar-benar profesional dan tidak terbawa arus intrik politik yang berlindung dibalik isu anti korusi ini
Namun perkembangannya mereka seolah tak kenal lelah memanfaatkan ruang demokrasi kebebasan berpendapat yang mulia semata-mata menegakkan kebenaran itu.
Nilai kebenaran berita media maeanstream yang lebih tinggi dipandang sebagai lahan subur untuk menanam informasi degradatif ini yang dimanfaatkan.
Ada persoalan sosial bahwa seseorang yang telah diisukan diduga melakukan praktek korupsi seolah-olah disimpulkan seperti pelaku korupsi sehingga dalam konteks politik praktis Pilkada, kontestan dimaksud tak layak dipilih.Ini tujuan akhir dari berita korupsi asal ada berita korupsi alias berita korupsi sebagai isu politik.
Hukum propaganda agen rahasia Hitler “kebohongan yang diulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran”.Berita yang tidak berdasar itu dikemas berulang-ulang agar dipercaya publik.Teori propaganda diktator bengis ini rupanya dimanfaatkan sebagai senjata mematikan.Motif ini bertentangan dengan nilai kemanusian dan azaz serta norma hukum.
Atau pun ini fonomena post truth yang lagi ngetrend di zaman now.Sederhananya, post truth adalah suatu era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Caranya dengan memainkan emosi dan perasaan netizen.
Berdasarkan sistem hukum positif yang dianut Indonesia, ada azaz hukum presumtion of innocence atau praduga tak bersalah yang artinya Makna asas praduga tak bersalah adalah setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan.
Kesimpulan
Pilkada merupakan momentum demokrasi yang harus dimanfaatkan untuk memilih pemimpin yang bersih dan berintegritas guna busa mengelola kekuasaan pemerintah bagi sebeaar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.Namun demikian, proses demokrasi harus dilalui secara sistimatis dan bertanggun jawab.
Upaya mendompleng kebebasan berpendapat secara tidak bertanggun jawab hanya akan membelikan tujuan dari proses demokrasi untuk menghasilkan kepemimpinan yang tidak profesional dan berintegritas.
Manfaatkanlah ruang demokrasi secara bertanggun jawab agar demokrasi bisa menghasilkan kepemimpinan yang bersih dan bermartabat !