HEADLINEOPINIPOLITIK

Raja di Panggung Demokrasi

Sebuah catatan Perkembangan Demokrasi.

Raja di panggung politik demokrasi menjadi isu yang menarik.Pertemuan dua kutub yang kontradiktif secara idiologis, nilai, budaya dan sistem ini menyuguhkan ruang diakusi yang menantang dan dialektis.

Kaum demokratis menyangsikan masa depan demokrasi substansial raja di panggung demokrasi.Bahwa demokrasi tidak sekedar ritual politik formalistik seperti pemilu semata tetapi suasana kehidupan kebangsaan juga harus kondusif terhadap hak berbicara, kritik sampai pro kontra.

Mereka menyangsikan apakah Raja yang anti kritik bisa bertransformasi demokratis dalam sistem demokrasi yang mendewakan kebebasan, egaliter dan sarat kritik ?

Nonsen ! Kalangan demokratis haqqulyakin bahwa Pertemuan demokrasi dengan idiologi dan nilai-nilai kepemimpinan monarki absolut ibarat pertemuan air dengan minyak yang tak mungkin menyatu.Gesekan bakal mewarnai penyelenggaraan pemerintahan.Dalam sejarahnya, nilai kepemimpinan raja yang absolut dan otoriter akan manivestasi dalam kepemimpinan pemerintahan otoriter yang menindas dan potensial melanggar ha azasi manusia.

Isu raja di panggung demokrasi kemudian menjadi isu yang menarik kerena dua hal :

Pertama, ini pertemuan dua kutub yang secara idiologis, Nilai, budaya dan sistem yang sangat kontradiktif.Sejarah nya, lahirnya sistem demokrasi merupakan kritik total terhadap idiologi, budaya dan sistem monarki atau sistem kerajaan yang dinilai kaum demokratis mengekang hak-hak sipil terutama kebebasan rakyat dalam berpendapat.

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang mementingkan partisipasi aktif warga negara dalam pengambilan keputusan politik. Tujuan utamanya adalah menciptakan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur dengan prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, dan keterbukaan sebagai landasan.

Sementara nilai dan budaya kepemimpinan monarki cenderung otoriter, lebih mementingkan stabilitas politik pada saat yang sama kebebasan sipil dikekang.

Ke dua, pemilu dan pemilukada sebagai instrumen tunggal demokrasi sejatinya tidak saja sebagai medium membangun pemimpin – kepemimpinan yang demokratis namun sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan demokrasi substansial.Sejarah demokrasi belajar pada kasus Hitler di Jerman, yang lahir melalui Pemilu yang demokratis namun akhirnya menjadi pemimpin fasis dan otoriter, mesin pembunuh demokrasi.

Terdapat sekurang-kurangnya dua alasan utama mengapa banyak negara menggunakan sistem demokrasi dan berupaya memberangus nilai dan praktek absolut- otoritarian :

Pertama, demokrasi sebagai asas fundamental telah diakui oleh hampir seluruh negara di dunia. Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan telah memberikan arah bagi peranan rakyat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.

Di Indonesia, misalnya, demokrasi telah diterapkan sejak masa-masa awal kemerdekaan meski secara bentuk berbeda-beda di tiap zaman. Indonesia pernah menerapkan sistem demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi perwakilan, hingga demokrasi dengan skema pemilihan presiden-wakil presiden langsung seperti yang sekarang berlaku.


Benturan Idiologi, Nilai dan Budaya Monarki dalam Siatem Demokrasi dan Posisi Ideal Raja di Panggung Demokrasi.

Benturan dan gesekan nila dan budaya kepemimpinan tak bisa dielakan dalam Raja dipanggung Demokrasi.

Seiring Idiologi, Budaya dan nilai-nilai demokrasi masih terus dikembangkan yang mengandung pengertian kemampuan manusia yang berupa sikap dan aktivitas yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi seperti menghargai perbedaan, dan kebebasan yang bertanggung jawab.Cita-cita pemerintahan demokratis ini sulit diwujudkan pemerintahan berbasis nilai monarki atau raja.

Pertanyaan kritisnya, apakah raja  dalam sistem demokratis bisa mendorong penguatan budaya, nilai dan sistem demokrasi ?

Pertanyaan ini penting karena dalam sistem demokrasi sangat dibutuhkan Budaya demokrasi yang memungkinkan praktek kekuasaan dan praktek sosial yang dapat menghindari tindak sewenang-wenang terhadap warganegara karena Negara demokrasi mengakui supremasi hukum. Negara dengan praktik pemerintahan yang dipilih oleh rakyat.

Demokrasi memungkinkan seluas-luasnya interaksi demokratis yang kritis, pro kontra, kebebasan berbicara dan berpendapat serta kritik yang seringkali bebas nilai bakal berbenturan dengan kekuasaan yang bercirikan nilai dan dikelola dengan nuansa kerajaan.

Banyak kalangan skeptis tentang masa depan raja di panggung demokratis dalam memperkuat tatanan demokrasi apalagi tidak diinstitusionalisasikan dalam sistem seperti dalam monarki konstitusional.

Bagaimana Raja sebagai pemimpin dalam sistem demokrasi yang sangat bising oleh kritisme publik bisa bertahan menghadapi dinamika demokrasi yang bebas nilai ? Bagaimana pula dengan pendukung atau barisan pendukungnya ? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mengawal dinamika raja dipanggung demokrasi.

Ambil contoh ada Presiden Gubernur atau kepala daerah yang menyandang status Raja setiap saat menghadapi kritik yang bersiliweran di media maeanstream dan media sosial bahwa  Gubernur di duga melakukan korupsi bahkan sangat kritis Gubernur Koruptor” apakah bisa di terima secara emosional oleh Gubernur yang berstatus raja dan para pengikutnya ?Itu baru soal isu korupsi, belum isu demokrasi.

Bahkan sebaliknya lebih berbahaya dan menandai lonceng kematian demokrasi adalah apabila rakyat takut menyampaikan kritik karena pemimpin berstatus seorang raja.

Sejauh ini kita belum menemukan praktek kekuasaan Raja di panggung demokrasi berlangsung stabil dalam sistem kekuasaan demokratis.

Idealnya, Raja berperan substansial sebagai pengawal kekuasaan dan pengayom rakyat.Posisi ini lebih memungkinkan Raja bertransformasi sebagai tokoh bangsa dan tokoh moral dalam memperkuat demokrasi ketimbang tokoh kekuasaan yang sarat kepentingan.

Ini harus menjadi catatan penting bagi partai politik dan pers sebagai pilar demokrasi dalam upaya mendorong penguatan sistem demokrasi.

Tentu tidak bisa menyerahkan desain kepemimpinan demokrasi kepada pemilu formalitas ditengah kesadaran rakyat akan demokrasi yang masih minim.

Ingat ! Kekuasaan yang lahir secara demokratis tidak menjamin tegaknya kelangsungan demokrasi !

”Demokrasi Itu Mati Ketika Rakyat Takut Berbicara “

Bekasi, 12 Mei 2024.

 

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *