oleh

Tanpa Oposisi, Bagaimana Mungkin Ada Demokrasi?

Pemilu 2024 sudah selesai. Siapa presiden dan anggota DPR-nya, sudah tercatat nama-namanya.

Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil pemilu buat PPP, sudah bisa dibaca. Sulit bagi PPP dapat syafa’at. Sebab, PPP bukan partai yang mengusung calon dari penguasa.

Setelah keputusan MK terkait sengketa pilpres dibacakan, semua parpol merapat. Menyisakan PDIP dan PKS. Secara personal, anggota kedua partai ini ada komunikasi dengan pihak pemenang. Tapi tidak atas nama partai. Endingnya seperti apa? Politik itu dinamis. Jawaban klise.

Baca Juga  9 Desember, Iqbal Ruray Dilantik Menjadi Ketua DPRD Provinsi Maluku Utara Definitif

Melihat dinamika politik pasca pemilu, setidaknya ada dua catatan. Pertama, kalau pada akhirnya partai-partai pengsung paslon kalah itu bergabung kepada pihak yang menang, buat apa ada kontestasi dalam pilpres? Bukankah kontestasi itu sebuah penegasan bahwa masing-masing kontestan itu berbeda. Mereka berbeda dalam banyak hal, termasuk track record, karakter, dan gagasan soal bagaimana mengelola negara. Para pendukung memilih berdasarkan perbedaan-perbedaan itu. Dari gagasan ini, parpol juga dibedakan antara yang pro perubahan dan pro kelanjutan. Namun, ketika pilpres selesai, yang kalah gabung ke yang menang. Dimana logikanya? Alasannya, kerja bersama dan gotong royong untuk bangsa. Dan ini dimaknai sebagai sikap kenegarawanan. Yang bener aja. Bukan partai kalau tidak lihai berkamuflase.

Baca Juga  Ketua Deprov Malut Minta Pemda Jamin Stok dan Stabilitas Harga Sembako Menjelang Nataru.

Kedua, pihak pemenang menginginkan “tidak ada oposisi”. Alasannya, supaya bisa bekerja bersama-sama untuk bangsa. Emang kalau oposisi tidak bisa bekerja untuk bangsa?

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *