HEADLINEOPINI

MENYOAL KISRUH BELEID PERPRES KRIS BPJS KESEHATAN

King Faisal Sulaiman:Pakar Hukum Tata Negara UMY

Pada 8 Mei 2024, Presiden akhirnya menerbitkan Perpres 59/2024 ikhwal Jaminan Kesehatan. Melalui Beleid ini, diharapkan akan memberikan angin segar bagi perbaikan sistem kelas pelayanan kesehatan oleh BPJS, yang selama ini dianggap masih diskriminatif. Secara konsep sistem BPJS sdah baik dan menjadi jalan menuju Indonesia dengan UHC (Universal Health Coverage) yang mumpuni. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, masih banyak yang patut dibenahi. Penerapan sistem kelas akan digantikan dengan mono kelas yakni Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).

Sistem KRIS  ditargetkan akan berlaku efktif pada 30 Juni 2024,bagi seluruh rumah sakit di Indoensia. Terdapat kewajiban menyediakan tempat tidur KRIS bagi rumah  sakit plat merah, sebesar 60 %; sedangkan rumah sakit swasta di kisaran 40%. Hal ini bukanlah target yang mudah untuk diwujudkan akan tetapi sudah menjadi perintah Perpres yang wajib dipenuhi.

Sepintas kebijakan ini cukup logis untuk jangka pendek karena amanat UU 40/2004 mengenai sistem jaminan sosial nasional/SJSN sudah terkaver. BPJS tetap menjadi operatorutamanya. Konsitutusi menekankan, setiap warga negara berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhakmemperoleh pelayanan Kesehatan. KRIS diharapkan menghapus disparitas pelayanan BPJS kesehatan selama ini. Namun KRIS bukanlah problem solver jangka panjang. Yang mesti dievaluasi justru titik hulu kebijakan yakni grand design reformasi sistem jaminan sosial secara komprehensif.

Lambannya Tranformasi BPJS

Perspektif UU Kesehatan (17/2023) menegaskan, bahwa setiap orang berhak mendapatkan Pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau agar dapat mewujudkan derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya dan mendapatkan perawatan kesehatan yang sesuai dengan standar pelayanan kesehatan. Banyak bentuk upaya yang dilakukan untuk menunjangpembangunan kesehatan.

Upaya kesehatan ini bersifat komprehensif dan juga holistik serta memiliki tujuan agar penduduk Indonesia mendapatkan haknya untuk sehat. Salah satu upaya yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka mencapai peningkatan kesehatan tersebut adalah melalui UU BPJS (24/2011).

Sejak berlakunya UU BPJS, terjadi peralihan atau proses transformasi penyelenggaraan program jaminan sosial di Indonesia.  Hanya saja proses transforamsi hingga sekarang belum berjalan mulus. Merujuk pada Pasal 5 UU BPJS maka,skema BPJS dibagi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Keduanya merupakan hasil transformasi dari empat BUMN mencakup: PT ASKES; Jamsostek; ASABRI dan TASPEN.

PT ASKES beralih menjadi BPJS Kesehatan dan mulai aktif  operasional pada 1 Januari 2014 tanpa likuidasi. Hal ini berlaku juga bagi PT Jamsostek yang beralih menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Januari 2014, namun aktif operasional pada 1 Juli 2015.  Sementara ASABRI tetap menjalankan perannya dalam menyelenggarakan jaminan kesehatan untuk kepentingan operasi militer yang membutuhkan penanganan khusus. Program jaminan kesehatan yang umum dilimpahkan melalui BPJS Kesehatan.

TASPEN sebagai pengelola dana  pensiun untuk pegawai negeri sipil belum diatur mekanismenya secara detail dalam UU BPJS. Padahal BPJS Ketenagakerjaan secara otomatis mendapat mandat untuk mengembangkan program pensiun untuk pekerja penerima upah (non PNS). Hanya saja, UU

BPJS mengamanatkan keduanya (TASPEN/ASABRI, bertransformasi paling lambat 2029.

Transformasi BPJS Kesehatan sebagai bagian dari skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), memberikan perubahan signifikan bagi skema perlindungan sosial tenaga kerja di Indonesia. Melalui UU BPJS, setiap orang bekerja (Aparatur Sipili Negara/TNI/POLRI, pekerja penerima upah (PPU); dan pekerja bukan penerima upah/mandiri (PBPU); wajib diikutsertakan dalam dua skema program jaminan sosial yaitu JKN dan Jamsostek .

Berdasarkan manfaat dari BPJS, sudah seharusnya seluruh masyarakat merasakan manfaatnya secara merata. Per September 2023, BPJS Kesehatan mencatat bahwa jumlah peserta dari JKN sudah mencapai lebih dari 262 juta atau sekitar hampir 95% dari total seluruh penduduk di Indonesia (Bangun, 2023). Namun, pada akhir bulan September juga diberitakan bahwa sebanyak 52,3 juta peserta dengan Kartu Indonesia Sehat berstatus tidak aktif. Artinya, sekitar 20% dari seluruh peserta tidak membayar iuran lagi (Agus, 2023).

Adanya peserta yang tidak lagi membayar iuran ini bisa jadi menandakan adanya suatu sistem BPJS Kesehatan yang perlu dievaluasi dan diperbaiki kedepannya agar masyarakat juga tetap memiliki kesadaran untuk berkontribusi dalam Jaminan Kesehatan Nasional yang bersifat gotong royong. Terlebih, beberapa tahun terakhir BPJS Kesehatan mengalami peningkatan jumlah peserta yang pesat. Di mana, seiring dengan perkembangan JKN, evaluasi program BPJS Kesehatan menjadi semakin penting. Program JKN bertujuan untuk memberikan akses kesehatan yang lebih luas kepada seluruh penduduk Indonesia.

Disparitas Regulasi Yang Perlu Dibenahi

UU Sistem Jaminan Sosioal Nasional (SJSN) tidak mengatur pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah mengenai seberapa siginifikan tangngujawabnya, dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehartan Nasional (JKN). Regulasi SJSN melalui tetentuan Pasal 13 hingga Pasal 17, hanya mengatur keterlibatan pihak Pemerintah Daerah dalam membayar iuran Badan Usaha dan kepesertaan yang terkatogeri Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau biasa disebut Kartu Indonesia Sehat (KIS PBI). Segmen ini, diperuntukan bagi warga kurang mampu, karena iuran BPJS Kesehatan golongan PBI di bayarkan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dengan mendapatkan hak perawatan kesehatan yang kelas rendah.

Dalam prakteknya, tangungjawab Pemda dalam pembiayana kesehatan masyarakat miskin, juga belum maksimal diterapkan di 514 Kabupaten dan Kota seluruh Indonesia. Ambivalensi pengaturan norman juga di temukan pada UU BPJS. Tidak ada ketentuan terkait mekanisme pemberian dan pengaturan kewenangan kepada  pemerintah daerah (Pemda) dalam aspek Pengawasan penyelenggaraan program BPJS.  

Yang diatur dalam UU BPJS, hanya skema pengawasan secara internal oleh BPJS sendiri yang cenderung monopoli-sentralsitik. Sedangkan bentuk pengawasan eksternal dilaksanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK); Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).  Belum ada ketentuan terkait skema penguatan kebijakan kompensasi JKN dalam program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenegakerjaan secara nasional.

BPJS Kesehatan masih mengalami banyak tantangan dalam melaksanakan program jaminan kesehatan nasional (JKN)/ Kartu Indonesia Sehat (KIS). Diantaranya mencegah terjadinya tindak kecurangan (fraud). Tindak kecurangan disinyalir bisa terjadi dalam pelaksanaan JKN. Fraud dapat dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan untuk mencari keuntungan secara tidak wajar. Fraud pada BPJS Kesehatan dapat terjadi karena kekosongan hukum yang mengatur fraud pada BPJS dan sejumlah regulasi terkait. Selama ini, regulasi terkait sistem jaminan sosial hanya fokus mengatur aspek pencegahan dan tidak memiliki daya penegakan hukum yang kuat.

Pasca putusan MK (6/PUU-XVIII/2020) Jo 72/PUU-XVII/2019, mestinya ada legislatif review UU BPJS. Hal ini penting, agar tidak terjadi rechstvacuum dalam pelaksanan program jaminan sosial. Putusan MK a quo, telah membatalkan aturan UU BPJS yang berimplikasi pada terhambatnya transformasi kepesertaan program BPJS selama ini.

Tanggungjawab Pemerintah Daerah dalam pengelolaan BPJS   juga perlu diatur secara komprehensif. Selama ini, akses pelayanan kesehatan yang memadai bagi daerah kepulauan masih perlu mendapat perhatian Pusat.

Ketersediaan Faskes dan minimnya pendanaan masih menjadi kendala lapangan dalam pelayanan prima; apalagi daerah terpencil yang sulit dijangkau. Termasuk problem pemerataan tenaga dokter (dokter spesialis) dan medis.

Selama ini serapan pelayanan kesehatan dan biaya BPJS Kesehatan, banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan yang memiliki faskes dan Nakes lebih memadai.

Terakhir, spending mandatory/dana khusus untuk bidang kesehatan mesitnya wajib hukum tersedia dalam setiap ploting anggaran APBN/APBD. Alokasi pembiayaan kesehatan terutama bagi kelompok miskin atau termarginal, akan berdampak positif bagi peningkatan kualitas kesehatan. ***

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *