“Letakkan Sejenak Kompetisi PILGUB, Junjung Harkat dan Martabat Kemanusian untuk Sahabat-Ku Benny Laos dan Saudara kita yang ditimpa Musibah”. (Dr. Muhammad Kasuba,MA ).
KEKUASAAN Ilahi tentang kapan, di mana, dan bagaimana cara memanggil hamba-Nya berlaku juga dalam konteks“kepergian Benny Laos” dan empat korban meninggal lainnya. Ia meninggal dalam peristiwa kecelakaan Speedboad Bella 72 di Pelabuhan Bobong sabtu (12 Oktober 2024).
Publik Maluku Utara terhentak dengan peristiwa “naas”tersebut, siapapun yang melihat video dan foto yang beredarluas di group watshap dan medsos pasti terenyuh, miris, memilukan dan menyedihkan. Kepulan asap disertai jilatan api begitu cepat, saat yang sama terdengar teriakan pertolongan dari seisi penumpang dan kepanikan dari warga di sekitarnya.
Melalui video, terlihat ada penumpang yang melompat/menceburkan diri ke laut dan sebagian mungkin terpanggang di dalam speedboat. Saat itu tidak berlaku perbedaan politik, agama, suku maupun ras dan etnis. Siapapun yang menyaksikannya pasti akan terpanggil dan tercabik-cabik hatinya, dan refleks untuk menolong sebisanya,di sini hanya berlaku NURANI dan Panggilan JIWA sebagai sesama Mahluk Tuhan.
Secara personal saya tidak dekat dengan Bapak Benny Laos, saya sedikit mengenalnya melalui ‘Mini Biografi’(Beny Laos) karya Yogi W. Utomo. Buku ini hadiah dari seorang kolega saya 3 tahun silam. Pengantarnya ditulis oleh Jendral H.Wiranto dan Tito Karnavian. Membaca karya tersebut kita mengetahui lika-liku ketegaran batin seorang Benny Laos dalam menghadapi beragam kesulitan hidup . Ia terinspirasi dari sang tokoh “idolanya” bernama Santiago dalam novel fiksi “The Old Man and The Sea” karya Ernest Hemingway di tahun 1954.
Keteguhan hati ‘Sang tokoh Santiago’ dalam novel itu diceritakan demikian tabah mengarungi segala bentuk tantangan dan rintangan di tengah lautan itu, nampaknya sejalan dengan ketegaran seorang Benny Laos. Secara garis besar buku yang diberi judul sang penulisnya “Jalan Hidup Benny Laos” itu terdiri dari 4 bagian antara lain : Hidup Yang Sulit (Bab 1), Hidup di Rantau (Bab II), Jalan Kebangkitan ( Bab III) dan Menapaki Tangga Sukses (Bab IV).
Buku ini mengajarkan kita untuk menjalani hidup dengan ketulusan hati dalam bekerja, ketegaran menghadapi badai kehidupan dan keteguhan sikap dalam memegang prinsip. Setidaknya itulah terbaca dari narasi pengantar dalam buku tersebut.
Kematian Sebagai Peristiwa Biologis dan Medis
Kematian itu (tidak) MATI, kata Rocky Gerung dalam buku “Eksisitensi Ketiadaan”. Ia malah bertumbuh dalam berbagai motif. Ini pendekatan antropologis dan tentu bukan sumber defenisi medis tentang kematian. Otak yang berhenti secara biologis (brain death) menjadi batas penyambung hidup dan di situ hidup terputus.
Merujuk pada peristiwa yang menimpa Benny Laos,secara ilmiah saya menemukan di WAG keluarga, kirimansang kakak Ipar (Nurlaila Sawoy), sumber itu menerangkan sebuah istilah teknis yang disebut sebagai “Apneu EC Drowning” yakni situasi seseorang yang tenggelam. Pada tahap awal “tanpa nafas” (Early Conscious) yang berarti korban “masih sadar” saat tenggelam, namun mampu bernafas karena saluran pernapasan tersumbat oleh air.
“Ini berbeda dengan tenggelam biasa”, lanjut atrikel tersebut. Di mana korban mungkin sudah tidak sadar. Pada tahap ini, air belum masuk ke paru-paru, namun jika tidak segera ditangani, dapat menyebabkan apa yang disebut sebagai (asfiksia) atau kematian.
Pada saat yang sama “Multiple burn injury” adalah cedra pada tubuh yang meliputi beberapa luka bakar. Ini menunjukan seseorang mengalami di lebih dari beberapa bagian tubuh, dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Cedera semacam ini seringkali membutuhkan penanganan media intensif, terutama jika luka bakar menutupi area tubuh yang luas atau melibatkan lapisan kulit yang dalam.__Paling tidak inilah penjelasan medis, yang menjadi penyebab KEMATIAN Beny Laos dan ini tentu di luar dari kepakaran saya.
Kematian Sebagai Peristiwa Sosial
Setidaknya kita telah mendapatkan analisis secara “medis-Biologis. Namun dalam perspektif antropologi,sosiologi dan filsafat memberikan tafsiran yang tentu berbeda.Dalam tafsir sosial, kematian itu hidup lagi dalam sistem KEYAKINAN—bahwa kematian itu lebih berurusan dengan “mereka yang ditinggalkan” – karena di situ ada istri, anak,keluarga, kerabat dan sahabat yang memiliki “memori atau kenangan” dari orang yang meninggal.
Lebih dari itu, Kematian sebagai peristiwa sosial diperlihatkan mendahului kematian sebagai peristiwa eksistensial. Di situ, kematian berarti DUKA LARA masyarakat karena ada sosok individu yang tidak lagi produktif. Benny Laos setidaknya telah berada di “panggung politik” tentu punya pendukung, simpatisan dan para pencintanya yang telah mendapat sentuhan kebaikannya.
Bahkan bagi para kompetitor yang menjadi “rival politik–nya” pun ikut berduka atas kepulangan Benny Laos, setidaknya itu yang diucapkan oleh Ustadz MK, Jo’ Ou H. Husain Alting Sjah dan Aliong Mus, baik melalui pernyataan tertulis maupun unggahan video, dan saya yakin itu diucapkan dengan penuh KETULUSAN dari hati yang amat dalam, mereka melupakan sejenak, bahwa mereka berada di arena pertarungan PILGUB Maluku Utara.
Setidaknya itulah representasi sikap dari para calon pemimpin Malut yang sejalan dengan pesan mendiang Gus Dur yang ditulis secara indah oleh Yudi Latif dalam Karyanya ‘MATA AIR KETELADANAN : Pancasila dalam Perbuatan’. Ucapan Gus Dur itu adalah “Jika Engkau berbuat baik, orang tidak akan bertanya Engkau beragama apa?, kebaikanmu pasti akan dibalas oleh Sang Pemberi Kebaikan”.Dalam artikulasi yang lebih kuat, Gus Dur menambahkan ‘Jangan Engkau bela Tuhan, bela lah manusia di bumi, karena Allah bersemayam dalam setiap penciptaan manusia.
Kematian dalam pandangan Heidegger mengganggu“normalitas”, dan karena itu suplai sejarah diperlukan untuk mereproduksi energi sosial yang pernah dikumpulkan seseorang semasa hidupnya. Biografi adalah tempat energi itu direproduksi, karena di situ menggambarkan tentang kiprah,karya, reputasi dan jejak yang telah ditoreh seseorang.
Setidaknya itu yang terpantau di media, terutama media sosial, sampai tulisan ini di buat berita tentang Benny Laos dengan beragam “platfom” seperti Fb, twiter, IG dan tik-tok telah menyeruak mencapai “ribuan” para viewer
Kematian yang ditafsirkan adalah upaya untuk menyudahi keragu-raguan bahwa yang mati adalah “konstruksi sosial” yang memelihara referensi Si tubuh. Jadi tubuh yang mati adalah manusia minus referensi sosiologisnya.Tubuh yang terurai bumi adalah tubuh yang ditinggalkan oleh referensi sosialnya.
Seketika yang sosial berhenti maka energi antropologis tubuh juga lenyap. Yang sosial berpindah menjadi mineral. Ada kenangan yang tertinggal, lalu tumbuh dalam referensi baru “pikiran” “teladan” “cita-cita” “reputasi” “kiprah “karya”dan seterusnya.
Namun politik kenangan itu juga adalah politik “otoritas”dari para para pencinta yang menjadikan kematian untuk menyambung kehidupan. Di sinilah seperti yang disebutkan sosiolog Ivan Illich, sebuah Biografi tidak ditulis untuk mengenang “Si Mati”, tapi untuk menyiasati kehidupan. Dalam Biografi, kematian digunakan untuk mensubsidi kehidupan. Di situ, kematian adalah kepentingan bagi mereka yang HIDUP.
Jadi sebetulnya, karena manusia bukan sesuatu yang “menggeletak bigitu saja”, maka kematian membangkitkan pertanyaan eksistensial “mengapa hidup harus ada?”. Bila kematian harus diperlakukan sebagai ruang belajar survivalitas manusia, maka kematian tidak boleh diberi batu ‘NISAN STRUKTURALISME’ kata Ferdinan de Saussure.
Akhirnya tulisan ini ditutup dengan mengutip ucapan Basri Salama “dengan ucapan duka mendalam yang MELANDA dari kami, dan semoga suatu saat nanti, sang waktu akan membawa “kesembuhan dan ketenangan” bagi keluarga, kerabat, sahabat dan semua yang ditinggalkan.__Selamat Jalan Sahabatku Pak Benny Laos,Engkau telah hadir memberikan makna bagi warna DEMOKRASI di Maluku Utara, Selamat beristirahat dalam Tidurmu yang Panjang di sisi Tuhan-Mu”.
Note : De Mortuis Nihil Nisi Bene “Tentang yang telah tiada, Jangan katakan apa pun kecuali yang baik” (Pepatah Latin).