IDUL ADHA, PEMPUS, WALIKOTA TAUHID DAN ISMIT ALKATIRI.
By.USMAN SERGI,SH.
Presiden PB MAKABA.
Idul Adha atau hari raya kurban 1443 H di tahun Masehi 2022 ada yang beda khusunya di kota ternate .
Ada dialektika mewarnai kapan mestinya ritual mengenang pengorbanan atas sebuah komitmen ketauhidan Nabiullah lah Ibrahim AS dengan putra tercinta Nabiulah Ismail AS itu.
Tak lain karena Walikota Ternate Tauhid Soleman mengambil jalan baru yang lebih substansial dan menikung azas formalitas berpemerintahan Indonesia.
Polemik dialektika pun berkembang menyikapi sikap dan keputusan Orang nomor satu Kita Ternate itu.
Ada pro kontra mewarnai nya.Ada yang tegas menunjuk batang hidung Tauhid Soleman telah bersalah menentukan Idul Adha di hari Sabtu tanggal 9 Juli 2022 ketimbang mengikuti keputusan pempus pada hari minggu tanggal 10 Juli 2022.
Secara formil mungkin saja Tauhid Soleman keliru karena dalam aras azas berpemerintahan, urusan agama merupakan 1 bidang dari 5 bidang kewenangan pemerintah pusat dalam sistem otonomisasi daerah.
Dalam konteks ini, penetapan puasa, Idul fitri dan Idul Adha merupakan domain keputusan pemerintah pusat.Daerah tinggal ikut.
Namun umat muslin tentu tak saja melihat secara kacamata kuda.Sebab soal agama tidak sekedar urusan formalitas pemerintahan tetapi ada urusan substansial yang terkait dengan soal sah dan haram nya.
Hukum apapun mazhab nya tetap tak terlepas dari soal hukum ruang dan waktu.
Pada tempat mana dan kapan mestinya suatu ibadah harus dilaksanakan merupakan urusan pokok dan substansial yang tak bisa dilepaskan begitu saja karena urusan formalitas pemerintahan.
Disinilai dialektika itu bersemai mencari bentuk dan standing positional yang tepat.
Ismit Alkatiri.
Ismit Alkatiri adalah seorang jurnalis senior terkemuka Maluku utara.
Penggemar berat minuman kopi ini saya kenal bukanlah seorang ulama tersohor yang patut didengar dan diikuti fatwa nya apalagi terkait soal agama.
Namun ditengah perdebatan dialektis soal penetapa Idul Adha ini patut menjadi pembanding.
Tulisan ertikenya yang terbit pagi ini di sebuah media online menarik untuk kita simak.
Ada kajian akademis yang cukup kuat terkait perbandingan waktu antara Ternate dan Arab Saudi soal waktu tepat kapan mestinya Idul Adha digelar.
Logika Perbandingan Waktu
Pada saat saudara-saudara kita melaksanakan wukuf di Arafah itu pada siang hari, kita di Ternate sudah masuk pukul 6 sore di hari yang sama, yakni Jumat (8/7). Dengan demikian, jika di Arab Saudi melaksanakan shalat id pada Sabtu, 9 Juli 2022 pukul 08.00 pagi, saat yang sama waktu Ternate telah menunjukkan pukul 14.00 WIT atau jam 2 siang.
Dari perbandingan waktu tersebut, apakah kita harus menunda pelaksanaan shalat Idul Adha pada besok hari? Ingat…!, dalam logika perbandingan waktu menurut GMT, Ternate lebih cepat 6 jam dari waktu Saudi Arabia? Jika hal ini kita analogikan ke momentum pergantian tahun Masehi, maka Ternate lebih dulu merayakan Tahun Baru ketimbang Saudi Arabia. Lalu kenapa pelaksanaan shalat Idul Adha di Ternate justru belakangan dari Arab Saudi?
Tidak tampaknya hilal pada derajat yang diisyaratkan saat pemantauan sebelum 1 Juli 2022 kemarin, bisa jadi karena faktor cuaca.
Lazimnya, untuk penentuan 1 Ramadan, terlihat hilal atau tidak, sudah harus ada keputusan segera. Tentu keputusan segera itu lebih karena ibadah puasa Ramadan diawali tanggal 1. Berbeda dengan pelaksanaan rukyat untuk menentukan masuknya bulan Dzulhijjah. Ketidaktampakan hilal pada posisi derajat yang diisyaratkan bukan sesuatu yang mendesak dalam mengambil keputusan. Kita melakukan rukyat untuk menetapkan waktu pelaksanaan shalat 10 hari kemudian. Kenapa tidak, rukyat dilakukan kembali pada malam-malam berikutnya sebelum menemukan waktu tepat jatuhnya 10 Dzulhijjah? Kalau memang hilal hanya bisa terlihat sekali dalam sebulan, seyogianya skema hisabiyah menjadi alternatif untuk menentukannya.
Toh, dengan menggunakan peralatan yang canggih Saudi telah melihat hilal pada saat itu dan mengambil keputusan 10 Dzulhijjah jatuh pada tgl 9 Juli 2022 waktu setempat. Tentu, kita yang di Ternate tinggal mengkomparasi dengan waktu yang lebih cepat 6 jam dari Saudi. Artinya, mestinya Ternate lebih duluan 6 jam melaksanakan Idul Adha ketimbang Saudi, UEA dan sekitarnya. Langkah ini bukan berarti kita menggunakan Saudi sebagai matla’ melainkan logika pembagian waktu menurut GMT.
Kesimpulan.
Perdebatan dan dialektika penetapan hari H Idul Adha oleh Walikota Ternate harus dilihat secara substansial tanpa mengabaikan azas formil berpemerintahan.
Bahwa Allah sebagai pemilik hukum telah berpesan bahwa perbedaan pandangan dalam Islam merupakan rahmat.
Allah seolah menuntun kita bahwa perbedaan pandangan tak mesti saing menghujat apalagi menghukum satu diantara yang lain.
Bukankah perbedaan juga lunrah dan galibnya negara dengan sistem demokrasi ?
Bukankan pula perbedaan waktu dunia merupakan keniscayaan ?
Bukankan pula perbedaan penentuan awal puasa, Idul fitri dan Idul Adha kerap berbeda dalam sejarah umat manusia ?
Dalam konteks ini marilah kita letakan perspektif konstitusional bernegara bahwa UUD 1945 telah menyatakan dengan tegas bahwa Negara menjamin kebebasan rakyat untuk menjalankan keyakinan dan agamanya sesuai dengan kepercayaan masing-masing .
Bahwa negara dengan tegas menjamin setiap agama dan aliran menjalankan praktek ritual keagamaan tanpa terkecuali.
Selama ini NU, Muhammadiyah dll pun telah berbeda dalam menentukan waktu peribadatan.
Jadi marilah kita saling menghargai tanpa menghujat apalagi menghukum sebuah perbedaan keyakinan menjalankan keyakinan beragama di NKRI ini.(***)