RENCANA KENAIKAN BBM DIKRITISI KALANGAN PAKAR.
PIKIRAN UMMAT.Com—Ternate||Pemerintah dan DPR telah menyepakati kenaikan harga BBM bersubsidi.
Seperti biasa, pemerintah beralasan Subsidi BBM terlampau membebani APBN yang hingga tahun anggaran 2022-2023 mencapai kisaran Rp.502 triliun.
APBN bisa jebol itulah narasi yang seringkali dikembangkan pemerintah saat memangkas subsidi BBM.
pemerintah beralibi, hasil pangkas subsidi BBM akan diarahkan pada belanja modal infrastruktur yang dipandang lebih produktif bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat.
Kalangan pakar dan aktivis dengan tegas menolak pengurangan subsidi BBM yang berimplikasi pada kenaikan harga -harga barang.
BBM bersubsidi pertalite diperkirakan mengalami kenaikan dari Rp.7500.Wacana beredar, harga pertalite bakal menembus harga Rp.10.000 namun belum bisa dipastikan.
”yang jelas pertalite bakal naik”ujar Arwan.
Kalangan pakar ekonomi memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai memicu danpak luas baik ekonomi dan sosial politik.
Danpak inflasi atas mutua nya kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok dan harga lainya bahkan dinilai bakal lebih membebani APBN.
Menurut Ekonom Dr.Mukhtar Adam, BBM merupakan nadi ekonomi, alat gerak inflasi, pemicu inflasi, bahan dasar kemiskinan yang berujung pada keterpurukan ekonomi pada wilayah kepulauan yang mobilitasnya sangat tergantung BBM.
“BBM nadi ekonomi, alat gerak inflasi, faktor pemicu inflasi, bahan dasar kemiskinan, yang berujung pada keterpurukan ekonomi pada wilayah kepulauan yang mobilitasnya sangat bergantung pada BBM sebagai bahan dasar penyambung transportasi lintas pulau-pulau”
Mukhtar mengklaim kebijakan pemangkasan Subsidi BBM dengan asumsi satbilisasi ekonomi justru berbalik menjadi blunder akibat danpak kenaikan harga barang.Pemerintah baik pusat, provinsi, Kabupaten/kota dan Desa bakal diperhadapkan pada perhitungan harga satuan APBN, APBD dan APBDes akibat kenaikan harga satuan dan membuat ruang fiskal semakin sempit.
“Pemerintah dengan segala kuasanya mengatur kebijakan, bisa jadi subsidi yg di asumsikan 502 Triliun di cabut untuk memenuhi kebutuhan belanja lain, akan membuat ekonomi makin stabil, bisa jadi asumsi ini menjadi keliru, oleh karena subsidi yg di cabut menjadi alasan bagi Pertamina menaikkan harga, efek kemudian seluruh rangkaian barang dan jasa akan mengalami kenaikan, atas kenaikan harga-harga barang berdampak pula ke pemerintah baik pusat, daerah dan desa dalam memperhitungkan Harga satuan barang dan jasa sebagai standar merumuskan APBN, APBD dan APBDes juga mengalami kenaikan, maka lagi2 APBN, APBD dan APBDes bakal terkuras pada belanja yang harganya mengalami kenaikan sebagai dampak dari kenaikan harga BBM”papar ekademisi yang dikenal kritis ini.
Dia menilai Pemerintah terbelenggu dengan cara pandang klasik yang keliru dimana subsidi dipandang sebagai momok fiskal Karen dianggap tidak efektif.
“Subsidi dipandang sebagai momok dari fiskal, karena dipandang subsidi yg diterbitkan pemerintah tidak tepat sasaran oleh karena kelompok kayajuga menikmati subsidi”ungkapnya.
Founder Kampoeng Malanesia & SIDEGon ini justru menuding pemerintah sesungguhnya menghukum dirinya sendiri dengan ketidak mampuan mengelola Subsidi kemudian berbalik menyalahkan subsidi itu sendiri.
“Sisi lain subsidi juga menghasilkan banyak mafia dalam perdagangan BBM, banyak tangan yang turut serta mencari keuntungan dari sistem pembatasan, sesuatu yg dirumuskan dalam UUD sebagai hajat hidup orang banyak tidak dapat dilindungi negara atas nama kemakmuran, sesuatu yang suci dalam kitab UUD menjadi sirna oleh karena cara merumuskan kebijakan dan derivatif kebijakan yang bersifat teknis tidak disusun secara baik dan tuntas akibatnya memberi efek yang makin memperburuk kondisi fiskal negara”tandas nya.
Mukhtar memintah pemerintah merekonstruksi kembali Pertamina sebagai mandatory pengelolaan subsidi BBM sehingga subsidi bisa menjadi efektif bagi pemenuhan kebutuhan rakyat dan menjadi alat pertumbuhan ekonomi.
“Amanat pasal 33 UUD 1945 adalah penguasaan SDA untuk sebesar-besarnya kemakmauran rakyat bukan kemakmuran pemerintah, oleh karena itu devisit tidak dapat menjadi dalil bagi pengurangan derajat kesejahteraan rakyat”pungkasnya(***)