OPINI

MAKNA TESTIMONI JOKOWI

Smith Alhadar Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)

Beberapa hari setelah Kompas merilis hasil survey — yang menunjukkan kecilnya pengaruh Presiden Jokowi dalam pilpres 2024 — Jokowi memobilisasi relawan dan warga ke Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Tentu tujuannya menunjukkan bahwa pendukungnya masih besar dan solid.

Survey Kompas memperlihatkan hanya 15,1 persen pemilih yang akan mencoblos capres pilihan Jokowi. Dus, berkebalikan dengan tujuannyanya, mobilisasi orang ke SUGBK — yang sebagian dibayar — justru memperlihatkan Jokowi kelihatan kehilangan kepercayaan diri dan posisinya sedang merosot. Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto malah menyayangkan acara itu yang, menurutnya, hanya menurunkan citra dan mengkerdilkan Jokowi.

Dalam acara temu relawan Nusantara Bersatu itu, yang berlangsung pada 26 November, Jokowi mewanti-wanti audiensnya untuk berhati-hati dalam memilih pemimpin pada 2024. Pilihlah pemimpin yang wajahnya berkerut dan rambutnya putih semua.

Pemimpin dengan ciri ini, menurutnya, menggambarkan pemimpin yang memikirkan nasib rakyat. “Jangan sampai salah memilih pemimpin. Dengan menyebut atribut pemimpin semacam itu, secara eksplisit Jokowi merujuk pada Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, dan tegas menolak Prabowo Subianto. Ini kedua kalinya Jokowi mempromosikan Ganjar setelah pada Mei silam, dalam acara Projo, di Magelang di mana Ganjar hadir, Jokowi menyatakan calon presiden itu ada di sini.

Reaksi PDI-P yang menyayangkan acara itu menunjukkan Jokowi sedang melawan peran Megawati dalam penentuan capres PDI-P. Dalam hal ini Mega tengah berupaya mempromosikan putrinya sendiri, Puan Maharani, untuk paling tidak menjadi cawapres.

Dalam konteks kepemimpinan titisan Soekarno, pilpres 2024 memang merupakan momen krusial. Pasalnya, pada pilpres 2029, bisa jadi Mega — kalaupun beliau masih umur panjang — tak lagi berperan mengingat usianya teelah menginjak 82 tahun. Puan sendiri sudah lama dipersiapkan Mega untuk menggantikannya. Sayangnya, elektabilitas Puan sampai hari ini terbilang sangat rendah sehingga bargaining position PDI-P untuk mengusung Puan sebagai capres tak menarik parpol lain untuk berkoalisi.

Kalau Puan diposisikan sebagai cawapres dengan siapa ia dipasangkan? Dalam perpolitikan nasional, hanya ada dua ideologi besar: nasionalis dan Islam. Dengan demikian, political leverage pasangan capres-cawapres hanya akan signifikan kalau pasangan ini mewakili dua ideologi itu.

Sejak pilpres langsung yang dimulai 2004, semua pasangan yang menang berasal dari kombinasi ini, kecuali pilpres 2009 di mana SBY berpasangan dengan Boediono. Tetapi pada saat itu, SBY sedang berada di puncak populeritasnya. Karena itu, berdasarkan political calculus, peluang Puan menduduki kursi wapres lebih besar kalau ia dipasangkan dengan Anies Baswedan.

Kendati politik itu cair, nyaris mustahil Mega bersedia mengusung Anies-Puan. Di pihak lain, Ganjar sebagai kader PDI-P memiliki elektabilitas tinggi, yang dipandang sebagai satu-satunya lawan serius bagi Anies. Di tengah kebingungan Mega menentukan capres-cawapres yang akan diusung PDI-P di saat tak lagi banyak waktu yang tersedia, keputusan Jokowi mempromosikan Ganjar bisa difahami.

Terlebih, populeritas Anies — musuh besar Jokowi karena tak mau diatur-atur — terus menanjak. Lalu, selain berpeluang memenangkan konstestasi pilpres, Ganjar merupakan golden boy Jokowi — juga oligagki. Dalam pidato di SUGBK itu, secara implisit Jokowi memberikan testimoni bahwa Ganjar akan melanjutkan pembangunan yang dijalankan pemerintahannya, pembangunan yang diklaim berhasil dengan gilang-gemilang.

Tetapi Jokowi hanya mengungkapkan keberhasilan kuantitatif berupa pembangunan infrastruktur yang masif, meskipun para ekonom mengkritisinya karena dibiayai oleh utang yang besar itu tak membuat ekonomi bangsa kian produktif dan kompetitif. Faktanya, kesejahteraan rakyat tidak berubah alias tetap terpuruk. Dengan kata lain, secara kualitatif pemerintahan Jokowi gagal.

Dus, dengan menyebut jangan salah pilih pemimpin, sebenarnya Jokowi sedang bersaksi bahwa rakyat telah salah pilih dalam pilpres 2014 dan 2019 di mana Jokowi yang tak suka membaca dan dikendikan oligarki keluar sebagai pemenang.

Akibatnya, terjadi kemerosotan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sejak 2014. KKN merajalela, demokrasi merosot, HAM terabaikan, penegakan hukum nyungsep, utang luar negeri membengkak, kemiskinan dan pengangguran meluas, dan komitmen pada konstitualisme melemah. Memang pandemi covid-19 (sejak Maret 2020) dan perang Rusia-Ukraina (sejak Febtuari 2022) berperan dalam penurunan kinerja perekonomian negara.

Terapi, sebelum dua peristiwa besar itu terjadi, perekokomian Indonesia tak pernah mencapai pertumbuhan sebesar periode pemerintahan SBY. Yang diraih selama delapan tahun terakhir pun merupakan pertumbuhan yang tidak berkualitas. Hanya oligarki ekonomi dan politiklah yang menikmati kue pembangunan. Rakyat tetap gigit jari.

Testimoni kedua Jokowi yang salah kaprah adalah ketika ia menyebut yang wajahnya berkerut dan rambutnya putih adalah orang yang mengerti dan bekerja untuk rakyat. Padahal kita tahu, menurut BPS, Jawa Tengah merupakan provinsi termiskin di Pulau Jawa.

Selain itu, insiden kekerasan di Desa Wadas yang melahirkan trauma rakyat kecil menunjukkan Ganjar tak mengerti kebutuhan warganya dan gagal dalam leadershipnya. Ketika sebagian warga Wadas menolak menjual lahannya untuk dijadikan tambang andesit yang akan digunakan untuk membangun bendungan di sana, Ganjar mengirim aparat bersenjata lengkap untuk mengintimidasi warga persis seperti masa Orba.

Rupanya selain Ganjar ingin terlihat orang yang memuluskan proyek strategis pemerintah, ditengerai oligarki juga bermain di proyek itu. Di luar itu, terkait korupsi e-KTP, Nasaruddin (Bendahara Partai Demokrat) bersaksi di pengadilan bahwa dia melihat Ganjar menerima lebih dari 500 ribu dollar AS dalam korupsi berjamah itu. Kasus itu mau tak mau menimbulkan pertanyaan tentang integritas Ganjar.

Terkait testimoni Jokowi yang terakhir ini, intelektual Rizal Ramli mendesak Jokowi berkata jujur. Ia menduga Jokowi sedang menyiapkan boneka oligarki baru agar kroni-kroninya aman. “Rakyat cuma slogan untuk tameng oligarki,” katanya. Memang pilihan Jokowi pada Ganjar bisa dikata sebagai jaminan program pembangunan dan kebijakannya yang hanya menguntungkan oligarki dilanjutkan.

Terutama proyek IKN, kereta api cepat Jakarta-Bandung, LRT, dan infrastruktur lain yang terancam mangkrak. Di luar itu, mestinya ia juga ingin penggantinya melindungi karir politik dan bisnis dua puteranya, menantunya, dan iparnya.

Sebenarnya, kalau Jokowi seorang negarawan, mestinya ia tak ikut bermain dalam pilpres mendatang agar kontestasi berjalan fair dan jujur sehingga ia berkontribusi bagi pematangan demokrasi. Kalaupun ia ingin berperan, mestinya ia mempromosikan Anies Baswedan. Alasannya, dilihat dari prestasi dan integritas ketika lima tahun memimpin Jakarta, Anies paling layak menggantikan dirinya.

Bukan dengan membabi buta meneruskan semua program pembangunan dan kejijakan Jokowi, tetapi untuk mengoreksi dan memulihkan penyakit yang sedang diderita bangsa. Kalau pilpres hanya menghasilkan presiden duplikat Jokowi, itu berarti menghina akal sehat rakyat, dan hanya melegitimasi serta meneruskan kerusakan yang ditinggalkan pemerintahan Jokowi. Rakyat juga diminta untuk berdamai dengan oligarki busuk.

Perlu juga diingatkan bahwa dunia sedang memasuki resesi dan karena belum ada tanda-tanda perang Ukraina akan segera berakhir, krisis global yang juga akan berdampak besar bagi Indonesia masih akan terjadi bertahun-tahun ke depan. Untuk itu, hasil pilpres 2024 haruslah merupakan jawaban Indonesia terhadap tantangan yang tidak kecil itu di depan.

Anies tentu saja bukan malaikat, tetap dari aspiran capres yang tersedia hari ini, hanya dia yang membawa harapan yang mampu menjawab tantangan global dan domestik. Hal itu hanya mungkin dengan tidak menjadi duplikat Jokowi. Rendahnya approval rating Jokowi sebagaimana hasil survey Kompas di atas — ke depan sangat mungkin populeritas Jokowi makin anjlok akibat krisis ekonomi — mengkonfirmasi hal itu. Artinya, rakyat Indonesia ingin perubahan. Enough is enough, Jokowi!

Tangsel, 28 Nov 2022

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *