HUKUM

Ketika “Jenderal” Ferdy Sambo Divonis Mati.

Apa dan Bagaimana Eksekusi Hukuman Mati Dalam Sistim Hukum Indonesia ?

PIKIRAN UMMAT.Com—Ternate||Mantan Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo divonis pidana mati.

Kasus yang langka, ada penegak hukum berpangkat Jenderal yang bisa dijatuhi vonis hukuman mati.

Bagi pencari keadilan dalam sistim hukum di Indonesia, Inilah saatnya menciptakan langkah-langkah yang adil sebagai preseden untuk masa depan hukum dan keadilan di Indonesia.Bahwa semua sama dimata hukum dan keadilan itu bukan sebuah konsep hukum semata tetapi faktual dalam dunia hukum di Indonesia.

Dalam konteks ini, semua institusi penegak hukum teristimewa Polri dan Kapolri patut diapresiasi.Bagaimana political Will Kapolri Jenderal Pol.Sigit Listyo Prabowo mengkonsolidasikan penegakan hukum dalam membuka tirai pada kasus pembunuhan di internal tubuh kepolisian layak kita acungi jempol.

Endingnya, Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menilai Sambo terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
“Menjatuhkan hukuman terdakwa dengan pidana mati,” ujar ketua majelis hakim Wahyu Iman Santoso saat membacakan amar putusan di PN Jakarta Selatan, Senin (13/2).

Selain itu, Sambo dinilai terbukti melakukan obstruction of justice atau perintangan penyidikan pembunuhan Brigadir J.
Dalam menjatuhkan putusan, hakim turut mempertimbangkan sejumlah keadaan memberatkan dan meringankan untuk Sambo. Hal memberatkan Sambo di antaranya telah mencoreng institusi Polri di mata Indonesia dan dunia.

Selain itu, ia dinilai berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya. Sementara itu tidak ada hal meringankan bagi Sambo.

Sambo dinilai terbukti melanggar Pasal 340 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 49 jo Pasal 33 UU ITE jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Putusan ini lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum yang menginginkan Sambo dihukum dengan pidana penjara seumur hidup.

Adapun dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, Putri Candrawathi, Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, Ricky Rizal atau Bripka RR, dan Kuat Ma’ruf turut terlibat.

Putri Candrawathi adalah istri dari Sambo. Sementara itu baik Bripka RR, Bharada E, maupun Brigadir J adalah ajudan Sambo kala menjabat Kadiv Propam Polri. Lalu Kuat Ma’ruf adalah sopir keluarga Sambo.

Sebelumnya, Pembunuhan terhadap Yosua terjadi pada Jumat, 8 Juli 2022 di rumah dinas Sambo nomor 46 di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Richard dan Sambo disebut menembak Yosua.

Verdy Sambo dan Putri Chandrawati (Isteri).

Hukuman Mati di Indonesia.

Roeslan Salah dalam Stelsel Pidana Indonesia (1987) menjelaskan, hukuman mati adalah jenis pidana terberat menurut hukum positif Indonesia. Bagi kebanyakan negara, hukuman mati tak lagi dilaksanakan dan hanya sebagai kulturhistoris. Pasalnya, kebanyakan negara-negara sudah tidak mencantumkan pidana mati di dalam kitab undang-undang hukum pidananya.
Hukuman mati sendiri menjadi pidana paling banyak diperdebatkan. Di satu sisi, banyak yang pro terhadap pelaksanaan hukuman mati. Akan tetapi, ada pula yang menentang pelaksanaan salah satu jenis pidana pokok ini.

Dikutip dari Jurnal Lex Crimen (2017), alasan dari mereka yang pro pidana mati adalah adanya peningkatan kualitas dan kuantitas kejahatan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, para penjahat perlu diberi terapi kejutan berupa pidana mati, terutama bagi penjahat tertentu yang tak lagi dapat diharapkan untuk berubah. Sementara kelompok kontra, memberikan alasan bahwa pidana mati bersifat final, sehingga sekali dijatuhkan tidak dapat lagi diperbaiki meski terjadi kekeliruan terhadap terpidana. Selain itu, pidana mati juga akan menutup kemungkinan bagi terpidana untuk memperbaiki kesalahannya di masa yang akan datang.

Hukum Mati Verdy  Sambo Dan Demokrasi.

Proses dan Putusan hukuman mati  terhadap Sambo memberikan pesan kuat tentang demokrasi.

Demokrasi yang memberi ruang partisipasi publik baik kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaan membuka ruang yang sangat luas terhadap pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir J yang melibatkan penegak hukum berpangkat jenderal ini.

Kasus Sambo tak bisa dipungkiri karena masif nya tekanan publik terutama melalui media maeanstream dan media sosial.Tekanan publik yang begitu masif berhasil mendorong agar kasus pembunuhan Brigadir J harus diusut tuntas.

Jenderal bisa diadili dan sampai dihukum mati merupakan kasus langka dan pertama kali di Indonesia.

Apa dan Bagaimana Eksekusi Hukuman Mati Dalam Sistem Hukum di Indonesia.

Indonesia masih mengenal vonis hukuman mati bagi pelaku tindak kejahatan berat. Tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010. Sosok yang baru saja dijatuhi hukuman mati adalah Ferdy Sambo. Ia merupakan tersangka kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Berdasarkan UU Nomor 02/Pnps/1964, sebelum eksekusi dilaksanakan, jaksa memberitahukan terpidana tentang rencana hukuman mati 3 kali 24 jam sebelumnya. Apabila terpidana hamil, maka hukuman mati dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.

Sebelum eksekusi, Kapolda membentuk regu tembak yang terdiri dari 1 Bintara, 12 Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira. Semua regu tembak berasal dari Korps Brigade Mobil atau Brimob.

Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 mengatur secara rinci pelaksanaan hukuman mati. Berikut tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia:

Terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati.
Pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang rohaniawan.
Regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati.
Regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan.
Regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 meter sampai 10 meter dan kembali ke daerah persiapan.
Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada jaksa eksekutor dengan ucapan, “Lapor, pelaksanaan pidana mati siap.”
Jaksa eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati.
Setelah pemeriksaan selesai, jaksa eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan, “Laksanakan.”
Kemudian Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan, “Laksanakan.” Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu Penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 pucuk senjata api laras panjang dengan 3 butir peluru tajam dan 9 butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 butir peluru, disaksikan oleh jaksa eksekutor.
Jaksa eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh jaksa.
Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 menit dengan didampingi seorang rohaniawan.
Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana menolak.
Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari terpidana.
Komandan Regu 2 melaporkan kepada jaksa eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati.
Jaksa eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera melaksanakan penembakan terhadap terpidana.
Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Regu Penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana.
Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana.
Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat kepada regu penembak untuk membuka kunci senjata.
Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak.
Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata.
Setelah penembakan, Komandan Pelaksana, jaksa eksekutor, dan dokter memeriksa kondisi terpidana.
Apabila dokter mengatakan terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, maka jaksa memerintahkan Komandan Pelaksana untuk melakukan penembakan pengakhir.
Pelaksanaan hukuman mati dinyatakan selesai saat dokter tidak lagi menemukan tanda-tanda kehidupan pada terpidana.
Kemudian, Komandan Pelaksana pun melaporkan hasil penembakan kepada jaksa eksekutor dengan mengucapkan, “Pelaksanaan pidana mati selesai”.
Demikian tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010.(***)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *