Di beberapa pekan kemarin (08/02/2023),ketika membeli pulsa pra bayar di sebuah kedai dekat rumah,ada kesulitan yang menyebabkan pulsa sulit “pindah alamat” ke HP saya.sang penjual hanya berujar singkat ketika saya menanyakannya,gangguan jaringan.padahal ternyata di ketahui bahwa sebabnya bukan karena ada gangguan pada jaringan telkomsel tetapi persediaan pulsa di Hp nya habis.dia jadi tersenyum malu.
Di kesempatan lain,di sebuah kantor pajak,saya meloporkan SPT.ketika login setelah saya memberi tahu passwordnya,tidak bisa.si petugas hanya berujar singkat,ada gangguan jaringan.saya sedikit heran dan tidak terlalu yakin karena teman sebelah saya yang punya urusan sama,tidak ada masalah alias lancar-lancar saja bahkan sudah selesai.beberapa saat kemudian di ketahui bahwa sebabnya bukan pada jaringan telkomsel.
Dua potongan “kasus” kecil ini,di rasa cukup bagi saya untuk menulis catatan ringan ini karena ada “celah” yang di anggap menarik.
Bahwa memang kita membutuhkan ketegasan,kalau bukan kepastian, untuk “membuktikan” bahwa kita benar.ketika hal itu tidak bisa atau tidak terjadi,kita cenderung mengenyampingkan tanggung jawab itu sebagai bukan “beban” kita.
Terlebih,tanggung jawab ataupun resiko itu di timpakan pada objek yang tidak tegas,misalnya menyebut nama orang ataupun lembaga tetapi pada objek yang “buram”.pada kasus di atas,yang jadi “korban” adalah jaringan telepon,sebut saja Telkomsel.sepertinya,kita berpikir bahwa ketika menyebut objek yang tidak tegas dan jelas alias buram tadi,kita berharap bahwa orang akan memakluminya sebagai bukan salahnya atau bukan salah kita,tetapi salah “pihak” lain.
Nyaris sama dengan objek lain yang tidak terlihat dan sering di “salahkan” juga, misalnya makhluk gaib.sebut saja jin,iblis,setan dan macam-macam yang tidak kasat mata itu.ketika ada tetangga kita yang tiba-tiba pingsan, misalnya,kita mudah sekali percaya ketika ada seorang pria tua yang berpeci dan berjenggot putih misalnya sebagai simbol orang “berilmu”,menyebut sebabnya karena di ganggu makhluk halus.meski pada akhirnya baru di ketahui secara medis bahwa yang bersangkutan semalam suntuk begadang bersama teman-teman mendiskusikan hal ihwal pemilihan kepala daerah dan tekanan darahnya tiba-tiba bermasalah di esok harinya.
Ciri masyarakat animis memang cenderung menimpakan sebab kesalahan terhadap sesuatu,lebih kepada objek yang tidak kasat mata.dan yang lebih miris lagi,itu bisa menjadi alasan pamungkas orang menjadi memakluminya.
Boleh saja tanpa sadar,ini adalah bentuk lain “transformasi” midset dan prilaku di era digitalisasi ini dengan menunjuk pada objek lain yang juga tidak kasat mata sebagai sebabnya : jaringan telepon.padahal kita sering lupa bahwa transformasi tekhnologi komunikasi saat ini telah jauh berkembang dan begitu pesat.saat ini,rasanya terlalu mudah bagi seorang siswa kelas satu SMP untuk bisa “menguji” dan memastikan apakah terjadi gangguan jaringan komunikasi telepon atau tidak lewat kepiawaiannya yang begitu cepat mengutak-atik handphone yang di genggamnya.tetapi kita kadang tak menyadarinya.produk tekhnologi komunikasi berbentuk handphone memang hadir di waktunya dan pada generasinya.dia hadir,nyaris simultan dengan kebutuhan generasi milenial kita saat ini.jadi,kita sebagai “orang tua”,sebutan lain untuk komunitas dengan usia tertentu yang “terlambat” mengadaptasi perkembangan tekhnologi komunikasi yang begitu cepat dengan fitur yang beragam untuk mempermudah kebutuhan kita terhadap sesuatu informasi misalnya,semestinya mawas diri dan jangan “bikin diri mangarti”.
Di sekolah ataupun lembaga pendidikan di level tertentu,transformasi tekhnologi komunikasi bahkan bisa menjadikan peserta didik menjelma sebagai sumber informasi belajar karena kecepatan mereka dalam mengadopsinya.mereka menjadi objek bahkan sekaligus subjek pembelajaran.para guru dan pendidik kita bahkan kewalahan jika tak mampu mengadaptasi diri.belum lagi jika kita meneropong implikasinya dari aspek perubahan sikap dan prilaku peserta didik saat ini.rasanya,ada pergeseran nilai afektif tertentu yang secara kreatif harus di antisipasi dalam transformasi proses belajar.ini adalah fakta yang sering terjadi dan kita mungkin pernah mengalaminya.
Saya membayangkan,jika suatu saat perkembangan tekhnologi komunikasi dan digitalisasi kita sudah pada tingkat tertentu di mana jaringan telepon itu tidak lagi menjadi “makhluk halus” dan bisa menjelma seperti robot dengan artificial intelligence (AI) tertentu yang bisa bereaksi menanggapi kebohongan yang di timpakan padanya melebihi perangkat Lie Detector, pendeteksi kebohongan yang umum di pakai pada laboratorium kriminal misalnya,dia akan spontan “mengklarifikasi” bahkan punya hak yang di atur untuk bisa mengadukan ke pihak berwajib jika ada yang coba-coba menjadikannya sebagai kambing hitam.
Kita memang hidup di jaman paling rasional tetapi terkadang “potret buram” ini masih sulit di hindari : mudah sekali melempar kesalahan pada objek yang tidak kasat mata karena memang itu adalah cara paling aman menghindari kesalahan.wallahua’lam.