OPINI

TANGAN CINA DALAM POLITIK NASIONAL

Smith Alhadar/Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Campur tangan asing terhadap negara yang dipandang strategis bagi kepentingannya sudah lama menjadi kelaziman. Terutama menjelang pemilu yang berpotensi melahirkan pemerintah baru yang tak sejalan dengan kepentingannya.

Dalam pilpres di AS tahun 2016, Rusia dituduh campur tangan untuk mempengaruhi hasil pilpres dalam memenangkan Donald Trump. Komunitas Evangelis di AS adalah basis pendukung Trump yang bersimpati pada rezim Presiden Vladimir Putin yang dipandang sebagai pembela agama Kristen.

Dalam konteks pilpres Indonesia 2024, nyaris mustahil Cina hanya jadi penonton. Indonesia terlalu penting bagi Cina di tengah persaingan strategis dengan AS di Indo-Pasifik.

“Mengendalikan” Indonesia, big brother-nya ASEAN, merupakan keniscayaan bagi Cina untuk menguatkan posisi tawarnya dalam klaim tumpang tindih dengan empat anggota ASEAN di Laut Cina Selatan (LCS) yang kaya energi. Juga untuk melemahkan posisi AS yang menantang klaim Cina itu.

Dalam kaitan ini, kita layak menduga berbagai upaya pemerintahan Jokowi untuk memperpanjang masa jabatan presiden dan menyingkirkan Anies Baswedan dari arena kontestasi pilpres tak lepas dari pesanan Cina sebagai “sekutu” pemerintahan Jokowi.

Pemerintah bukan hanya akrab, tapi juga melayani kepentingan Cina. Sementara Anies adalah antitesa Jokowi yang didukung kelompok yang kritis terhadap Negara Tirai Bambu itu.

Lebih jauh, Anies dicurigai didukung AS dan Uni Eropa. Juga Jepang, Taiwan, Australia, dan India. Kunjungan Dubes AS untuk Indonesia Sung Yong Kim ke markas PKS pasti memperkuat kecurigaan Cina itu.

Dus, upaya KPK mempersangkakan Anies dalam kasus Formula-E sangat mungkin merupakan bagian dari upaya Cina menjaga keberlanjutan kekuatan status quo. Taruhannya terlalu besar bila Anies jadi presiden.

Kudeta militer di Myanmar yang didukung Cina untuk menyingkirkan pemerintahan demokratis dukungan AS sulit untuk dipisahkan dari konteks pertarungan Cina-AS.

Tanpa dukungan — mungkin juga dorongan Cina — hampir mustahil militer berani mengambil alih kekuasaan yang sangat beresiko bagi kelangsungan hidup junta militer.

Cina butuh Myanmar untuk mendapatkan pijakan di Selat Malaka yang sangat strategis dan instrumental bagi kepentingan geostrategisnya, terutama untuk memperkuat posisinya di LCS. Tapi kendali atas Myanmar tak akan ada artinya tanpa dukungan Indonesia yang menguasai seluruh sisi selatan Selat Malaka.

Tetapi lebih dari sekadar isu pilpres, kepentingan Cina di Indonesia bersifat jangka panjang. Kebetulan Beijing telah menemukan mitra yuniornya di Indonesia sejak 2014.

Sejak berkuasa, berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi — yang langsung maupun tidak langsung beririsan dengan kepentingan Cina — patut dicurigai sebagai bagian dari grand design Cina. Gejalanya dapat diamati pada beberapa fakta berikut.

Pertama, pemerintah memprioritaskan investasi Cina dalam proyek infrastruktur dan pertambangan nikel. Nikel sebagai bahan utama pembuatan baterei adalah komoditas masa depan di mana Cina berambisi menjadi produsen utama barang yang menggunakan baterei. Kebetulan pemerintahan Jokowi juga punya ambisi yang sama sehingga ada convergence kepentingan Cina dan Indonesia.

Namun, deal-deal Indonesia-Cina dalam dua sektor itu terlalu berat sebelah. Sebagai pemilik modal dan teknologi, pemerintah merasa pantas bila Cina lebih diuntungkan. Misalnya, terkait dengan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang pembengkakan anggarannya dibebankan pada Indonesia.

Padahal, kalau dulu pemerintah menerima tawaran Jepang, biayanya tak sebesar sekarang. Tak heran, pihak oposisi mencurigainya sebagai jebakan Cina melalui strategi perangkap utang — toh, kenyataannya Indonesia harus memperbesar utang yang sudah sangat besar untuk menambal kekurangan dana proyek itu — untuk membelenggu Indonesia sebagaimana dilakukan di Sri Lanka.

Kesepakatan proyek tambang nikel juga dikritisi pengamat. Bertentangan dengan UU, pemerintah membuka pintu lebar-lebar bagi buruh kasar Cina dalam jumlah besar. Sementara ekonom senior Faisal Basri mengatakan proyek-proyek itu hanya menguntungkan Cina dan oligarki. Negara tak mendapat apa-apa. Pemerintah membela diri bahwa industri hilirisasi nikel akan memberi nilai tambah besar bagi bangsa di masa depan.

Kedua, orkestrasi bahaya politik identitas, khilafah, intoleransi, dan radikalisme yang dilakukan pendukung status quo. Narasi ini paling getol dilakukan PSI, pendukung Ahok sekaligus sangat anti-Anies. Menurut Rocky Gerung, eksistensi partai ini ditopang oligarki yang merupakan sekutu Jokowi.

PBNU di bawah Ketua Umum Said Aqil Siraj bersaksi bahwa Cina berperan besar bagi negeri ini. Bahkan, katanya, tanpa Cina tidak ada Indonesia. Terkait hubungan mesra dengan PBNU yang membela penindasan Beijing atas minoritas Muslim Uighur, Cina mengucurkan dana seratusan juta rupiah untuk pesantren NU.

Staf Ahli Presiden Mohtar Ali Ngabalin bahkan mengatakan bahwa wali songo adalah orang Cina. Sementara Denny Siregar mengkhotbahkan bahwa Cina masuk ke negeri ini hanya membawa duit.

Ketiga, dibentuknya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Dicurigai BPIP punya misi menggebuk kelompok yang tak disukai, terutama Islam konservatif yang kritis terhadap pemerintah dan Cina.

Secara tak terduga, Ketua BPIP Yudian Wahyudi mendeklarasikan bahwa agama adalah musuh Pancasila. Kita jadi heran, Ketua BPIP tidak tahu bahwa sila pertama Pancasila mengakui eksistensi agama. Memusuhi agama sama artinya memusuhi Pancasila. Ketua Pengarah BPIP adalah Ketua Umum PDI-P yang kurang sensitif terhadap Islam. Bahkan, ia “mengharamkan” partainya berkoalisi dengan PKS.

Keempat, PDI-P — yang punya hubungan kerja sama dengan Partai Komunis Cina — menginisiasi RUU Haluan Ideologi Pancasila ( HIP). Tujuannya, penyelenggara negara menjadikan HIP pedoman dalam menerapkan kebijakan pembangunan nasional.

Bagaimanapun, HIP dicurigai sebagai upaya melegalkan komunisme. Pasalnya, RUU HIP tidak menjadikan TAP MPRS XXV/1966 tentang larangan menyebarkan ajaran komunisme di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, HIP dianggap sebagai upaya terselubung untuk melegalkan komunisme.

Dalam mengkonter kritisisme terhadap HIP, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto menyatakan partainya bersedia memasukkan TAP itu sebagai konsideran asalkan khilafah juga dilarang. Pernyataan Hasto ini membuat jelas bahwa HIP sebenarnya diniatkan untuk melegalkan komunisme atau menguburkan Islam konservatif sebagai kekuatan politik.

Di masa Orde Lama, atas pengaruh PKI sebagai proksi Cina dan sekutu Soekarno dalam Nasakom, Soekarno membubarkan Partai Masyumi yang dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI. PRRI hanya menuntut pemberlakuan otonomi daerah, bukan memisahkan diri dari NKRI. Karena tuduhan itu, Ketua Masyumi Muhammad Natsir baru diakui sebagai pahlawan nasional pasca reformasi 1998.

Kelima, sikap permisif pemerintah terhadap ulah Cina di LCS. Dalam menjalankan keketuaan ASEAN tahun ini, Menlu Retno Marsudi menyatakan, di tengah tantangan dunia yang kian sulit ini, cara pandang positif, kerja sama, dan optimisme, justru semakin diperlukan.

Cara pandang inilah, menurut Retno, yang akan menjadi roh besar dalam implementasi Pandangan ASEAN atas Indo-Pasifik di bawah keketuaan Indonesia di ASEAN. Namun, beberapa pengamat kecewa karena menlu tidak menggali permasalahan dan tidak menyinggung secara langsung beberapa isu penting yang sangat berpengaruh di Indonesia ataupun Asia Tenggara.

Wakil Direktur CSIS Shafiah Muhibat, misalnya, menyayangkan ketiadaan isu LCS, Korea Utara, Selat Taiwan, serta persaingan geopolitik Cina-AS. Sementara Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu menyebut politik luar negeri 2023 akan tetap bersikap reaktif terhadap isu eksternal dan internal serta cenderung pragmatis (Kompas, 12 Januari 2023).

Memang isu LCS khususnya yang demikian penting tetapi tidak menjadi fokus Indonesia terlihat aneh. Padahal, dalam menjalankan keketuaan ASEAN, Indonesia harus menjadikan LCS — yang dapat mengganggu stabilitas ASEAN — sebagai isu prioritas. Nampak jelas pemerintah sengaja menjauhi isu-isu yang rentan disalahartikan oleh pihak-pihak terkait, terutama Cina. Apalagi merugikannya.

Keenam, Presiden Jokowi mengakui negara melakukan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa G30S 1965 yang menewaskan ratusan ribu orang dan berkomitmen memberi kompensasi kepada semua anggota PKI dan keturunannya, yang dalam hal ini ditetapkan sebagai korban.

Penyelesaian non-yudisial ini, yang dipilih pemerintah di mana TNI ditetapkan sebagai pelanggar HAM berat menguatkan kecurigaan bahwa komunisme sedang diusahakan untuk dilegalkan. Apalagi simpatisan dan anggota keluarga PKI tak lagi segan mengaitkan dirinya dengan partai itu, yang dulu merupakan proksi Cina.

Ribka Tjiptaning Proletariyati, anggota Komisi IX DPR dari fraksi PDI-P yang merupakan putri anggota PKI, misalnya, menulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI.” Pengakuan bahwa PKI adalah korban pada hari ini kiranya tak bisa dilepaskan dari politik elektoral yang tak sampai setahun lagi.

Jumlah keturunan PKI yang mayoritas bergabung ke PDI-P cukup besar, sekitar 20-25 juta jiwa. Dus, upaya mengakomodasi aspirasi anggota dan keturunan anggota PKI merupakan usaha pemerintah memelihara konstituennya. Sudah pasti hal ini juga menggembirakan Cina, yang sampai hari ini tidak mengakui PKI sebagai dalang tragedi G30S.

Bagaimanapun, pengakuan negara atas kejahatan TNI khususnya berakibat luas. Citra baik TNI di mata rakyat dan dunia internasional menjadi rusak. Padahal, rakyat adalah roh TNI. Kehilangan legitimasi rakyat berarti kehilangan roh. Secara internasional, TNI akan diperlakukan sebagai pariah. Sementara beberapa waktu lalu, mantan Panglima TNI Andika Perkasa membuka pintu bagi masuknya keturunan anggota PKI ke dalam tubuh militer. Tidak mungkin kebijakan ini merupakan keputusan independen Andika.

Toh, komando tertinggi TNI adalah presiden. Di masa lalu, PKI menyusupkan anggotanya ke tubuh TNI sebagai bagian dari strategi mengambil alih kekuasaan negara. Dengan demikian, akses Cina ke lembaga-lembaga strategis negara kian terbuka.

Semua fenomena yang dikemukakan di atas sulit untuk tidak dikaitkan dengan keterlibatan Cina. Tetapi ini adalah konsekuensi “persekutuan” terselubung pemerintahan Jokowi dan Cina. Toh, tidak percuma apa yang sudah diberikan Jakarta kepada Beijing. Masuknya investasi besar Cina ke Indonesia dalam kerangka OBOR merupakan imbalan yang diberikan Cina. Juga pasar besar Cina terbuka lebar untuk semua komoditas Indonesia.

Lebih jauh, dukungan Beijing dalam percaturan geopolitik regional dan internasional Indonesia dipandang akan menguatkan posisi pemerintah. Pada saat bersamaan, pemerintah membangun hubungan baik dengan AS agar “persekutuan” dengan Cina tak menjadi faktor negatif bagi kinerja politik luar negeri Indonesia. Apalagi Indonesia masih sangat butuh AS terkait klaim Cina atas Laut Natuna Utara.

Sejak merdeka, pemimpin Indonesia telah melihat Cina sebagai kekuatan yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan nasional. Tak heran, Presiden Soekarno merangkul Cina dalam melawan nekolim. Ketika berkuasa, Gus Dur melontarkan gagasan agar Indonesia membangun poros Cina-Indonesia-India untuk memperkuat posisi Indonesia di tingkat regional dan global.

Dalam konteks India sebagai pesaing Cina, gagasan itu tidak realistis. Lebih menguntungkan bila India tetap independen secara politik dan militer untuk mengejar kepentingan nasionalnya dengan membangun hubungan strategis dengan negara-negara besar, terutama Rusia dan AS, yang dapat meningkatkan bargaining positionnya vis a vis Cina dalam sengketa perbatasan kedua negara.

Ada pihak-pihak yang menertawai isu kebangkitan komunisme di Indonesia. Ideologi ini dianggap telah bangkrut sejak Uni Soviet runtuh pada 1991. Tetapi gejala Cina di tanah air tak memungkinkan kita untuk mengabaikan begitu saja adanya invisible hand Cina untuk mempermanenkan pengaruhnya di negeri ini melalui penciptaan proksi.

Rakyat miskin di mana pun akan tertarik pada janji utopis komunisme. Itu sebabnya, ideologi ini masih bertahan di beberapa negara. Bahkan di negara-negara makmur seperti Eropa dan Israel.

Apalagi Cina masih mengaku diri sebagai negara komunis, meskipun kenyataannya ia telah mengadopsi kapitalisme negara. Vietnam, Korea Utara, dan Kuba masih mengusung komunisme. Dus, wajar kalau sejumlah pihak di Indonesia khawatir dengan kebangkitan komunisme.

OBOR adalah proyek infrastruktur global Cina yang menghimpun sekitar 60 negara di Asia, Afrika, dan Eropa. Indonesia adalah salah satunya. Dalam konteks Asia Tenggara, Indonesia adalah negara kunci. Tanpa Indonesia, akses Cina ke Samudera Hindia akan terhalang.

Maka menanamkan pengaruh Cina di Indonesia adalah keniscayaan. Di pihak lain, ketiadaan proksi Cina yang bisa diandalkan merupakan tantangan besar. Memang Megawati merupakan ahli waris politik pro-Cina Soekarno, tetapi itu belum cukup. Terlebih, Megawati sekali waktu akan hilang dari panggung politik nasional dan pada saat itu belum tentu PDI-P bisa survive. Dus, Cina butuh proksi yang solid dan militan yang lebih loyal.

Komunisme dari mantan anggota PKI dan keturunannya merupakan yang diharapkan itu. Mengingat rakyat Indonesia yang miskin, hampir miskin, dan rentan miskin telah mencapai lebih dari 200 juta jiwa sebagai dampak hantaman pandemi covid-19 dan perang Ukraina — keterpikatan pada komunisme tak dapat diremehkan.

Apalagi banyak orang mulai hilang kepercayaan pada sistem demokrasi sebagai sarana politik mencapai kesejahteraan ketika sistem otoritarian Cina berhasil membebaskan 400 juta rakyat Cina dari kemiskinan hanya dalam waktu 40 tahun. Dus, komunisme yang dilegalkan — yang bukan tidak mungkin atas permintaan Cina sebagai harga “persekutuan” — berpotensi menghadirkan ancaman bagi tatanan demokratis saat ini.

Bukan tidak mungkin pula wacana memperpanjang masa jabatan presiden akan diwujudkan. Pemerintah merasa tak perlu khawatir dengan dampak yang mungkin ditimbulkannya karena Cina akan mendukungnya secara penuh sebagaimana yang dilakukannya atas Myanmar. Apalagi, menurut hasil jajak pendapat lembaga-lembaga survey, kepuasaan rakyat atas kinerja pemerintahan Jokowi masih cukup tinggi.

Belum tentu narasi yang dikemukakan ini pasti benar. Tetapi pernyataan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam seminar beberapa hari lalu bahwa situasi saat ini mirip dengan tahun-tahun menjelang tragedi G30S patut diwaspadai.

Tangsel, 1 Februari 2023.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *