MALUKU UTARA TAKAN PERNAH MINTA MERDEKA !
Catatan Refleksi.
By.USMAN SERGI, SH./Pemred.
Kamis subuh itu, kebetulan saya lagi di Mesjid Itiqlal.Usai berjamaah subuh, seperti biasa, duduk dan utak Atik handphon.
Tetiba muncul pesan Whatshap dari Dosen saya dengan foto pulau Papua disertai tulisan RUU 3 DOB provinsi Papua telah disahkan DPR RI.
Membaca pesan itu saya langsung membalas “Orang Papua mekarkan 3 DOB provinsi baru itu mudah saja sementara Maluku utara mekarkan Ibukota Provinsi yang sudah diamanatkan UU tentang pembentukan provinsi Maluku utara saja sudah 22 tahun tak pernah bisa”.
Dosen saya hanya membalas dengan emoji tertawa.
Menggelitik memang jika kita merenung tentang Maluku utara.
Provinsi yang sumbangsih SDA ke kas keuangan pusat yang tak sedikit, punya sumbangsih sejarah pembentukan NKRI yang tak kecil serta memiliki wakil-wakil rakyat dan daerah di DPR RI dan DPD tetapi seperti tak dianggap dalam Konstalasi politik nasional.
What hapened ? Sehingga Maluku utara seolah tak dihitung ? Apa malut memang tak punya power selevel Papua ? Ataukah ada dosa dari para tokoh malut yang menghancurkan kewibawaan Maluku utara sendiri kah?
Pertanyaan kritis yang mesti kita jawab dan mengurainya secara jelas dan kongkrit agar tidak ada fitnah dan dusta antara pusat dan daerah dan diantara sesama anak bangsa Maluku utara.
Anggap saja ini catatan sejarah kelam yang harus kita tulis sebagai pembelajaran berharga bagi generasi masa depan Maluku utara.
Power Malut Vs Papua.
Sebagai sebuah catatan komparatif, kita mesti menghitung head to head dalam bergening positioning antara Papua vs Malut.
Pertanyaan permulaan nya, Kenapa semua tuntutan aspirasi rakyat Papua kecuali tuntutan merdeka sangat cepat di respons pemerintahan pusat baik Eksekutif dan Legislatif ? Sikap yang sama tidak ditunjukkan pemerintahan pusat baik Eksekutif dan Legislatif terhadap aspirasi Maluku utara ?.
Katanya karena Papua punya kekayaan tambang emas yang melimpah dengan PT Freeport Mcmoran nya telah mengepulkan dapur NKRI.
Dari berbagai isyu yang saya rangkum, hanya emas di gunung grasberg itu yang menjadi nilai lebih Papua di mata pusat.Faktor kekayaan mineral Emas itulah kemudian Papua konon ditakutkan merdeka lepas dari NKRI.Dapur Indonesia so tara baasap kalau Papua lepas, kira-kira isyu itu yang kerap kita dengar.
Apa iya ? Hemat saya tidak benar karena soal tambang justru potensi tambang Malut jauh lebih besar.
Malut juga punya emas di Gosowong yang tak kalah hebat.Malut bahkan unggul dalam soal tambang secara keseluruhan yakni tambang nikel yang tak dipunyai Papua.Ratusan ijin tambang Nikel ada di Maluku utara membentang dari tengah Halmahera sampai ujung selatan di pulau Taliabu.Malut juga punya smelter di Obi Halsel dan di Haltim serta punya pabrik baterai mobil listrik yang tak dipunyai Papua.
Data nasional juga menunjukan bahwa Malut merupakan provinsi nomor 5(lima) pengepul Investasi terbesar di Indonesia tanpa menyisahkan Papua di lima besar.
Bicara potensi kekayaan tambang untuk kas negara, Malut memang unggul dari Papua dari hari ini dan ke depan.
Itu baru tambang, belum hasil laut yang bisa dibilang berimbang.
Komparatif Historis .
Apa Maluku utara tidak punya sumbangsih sejarah dan kejuangan terbentuknya NKRI ?
Hemat saya Malut justru unggul jauh dari Papua.Bahkan masuknya Papua ke dalam pangkuan NKRI karena jasa besar Maluku utara.
Kisah dan alur sejarahnya jelas bahwa sebagai bagian dari kekuasaan wilayah kesultanan Tidore yang juga dibawah kekuasaan Kolonial Belanda, berdasarkan konvensi internasional tentang wilayah NKRI bahwa wilayah Indonesia adalah wilayah jajahan Belanda maka secara otomatis Papua juga masuk dalam wilayah NKRI.Sejarah yang menjadi alibi mematikan Indonesia di PBB soal tuntutan Papua Merdeka dan bikin negara-negara kuat AS-Eropa tak bisa berkutik lagi guna mengutak-Atik NKRI seperti Timor Leste.
Oleh karena itu secara head to head, Maluku utara masih unggul dengan Papua.
Pertanyaan selanjutnya, lalu mengapa Maluku utara tak se berdaya Papua ?
Jawabannya tentu tak tunggal baik secara eksternal dan internal.
Internal.
Faktor internal merupakan salah satu indikator determinasi dalam bergening positioning Maluku utara di tingkat nasional.Dalam konteks itu soal persatuan, SDM menjadi indikatornya.
Pertama, patut kita akui, Maluku utara tidak bersatu, faktor yang menjadi modal utama dalam sebuah perjuangan.
Soal yang satu ini memang soal idiologis -historis Maluku utara.
Suatu ketika, saya ngobrol dengan salah satu Pjs Gubernur Maluku utara.Kala itu sedang berlangsung pemilihan Gubernur Maluku utara dimana seperti biasa pilgub Malut “ tidak asek kalau tidak kacau “ antara kubu AGK vs AHM yang mengulang trilogi konflik pilgub pertama TA versus AG.
Ada Statemen menarik sang Pjs Gubernur Malam itu “Maluku utara butuh pemimpin tegas”ujar sang Pjs Gubernur.
Kenapa ? tanya saya.Dia menjawab “kamu lihat daerah dengan penduduk tidak sejuta saja sampai ada 4 kerajaan/kesultanan yang berhimpitan pula plus puluhan suku bangsa, agama dengan perbedaan bahasanya.Itu menunjukan negeri Maluku utara ini punya sejarah panjang perpecahan dan pertentangan.
Saya bisa menyadari itu dengan pendekatan logika, negeri saya Makian yang kecil itu saja terdiri dari beberapa bahasa dan menjadi benang merah persatuan.
Kesimpulannya karena kita tidak bersatu seperti bersatunya orang Papua maka bergening positioning kita di level nasional juga lemah dan tak se adidaya Papua.
Perpecahan sudah pasti melahirkan pragmatisme dan inilah celah besar dalam perjuangan.Ada yang punya semangat perjuangan 45 namun ada yang melihat ini sebagai kesempatan penggarukan.
Masyarakat pragmatisme sudah pasti lemah dalam sisi idealisme perjuangan dan Jadilah kita dipimpong tak tentu arah.
Terbukti hanya memperjuangkan DOB Sofifi sebagai Ibukota provinsi Maluku utara karena telah diamanatkan dalam UU tentang pembentukan provinsi Maluku utara saja sampai 22 tahun tak pernah berhasil.
Perjuangan Gubernur AGK dinilai lain sebagai upaya memperkuat politik klan Kasuba lalu ditolak mentah-mentah secara langsung dan diam-diem dengan cara berdiam diri.
Padahal DOB Sofifi merupakan langkah visioner yang dalam jangka pendek dan panjang bernilai sangat strategis untuk kemajuan Maluku utara dimana salah satunya triliunan duit akan mengalir ke Maluku utara menutup lebih hilangnya sedikit DAU kota Tikep yang hanya berpindah ke Sofifi bukan ke luar daerah.
Buktinya 3 wakil rakyat Malut di DPR RI tak pernah terdengar suaranya mendukung perjuangan Gubernur Maluku utara.Demikian 4 wakil Daerah yakni DPD juga diam tenang dan sunyi dari hiruk pikuk perjuangan DOB Sofifi.
Tak heran ada warga Malut yang berceloteh “ Para wakil rakyat Malut di DPR RI dan DPD ini kalau di barat (AS-Eropa) mereka sudah di buang di tong sampah karena tidak berguna sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.
Itu soal DBO, ya katakanlah masih terlalu berat buat Malut.Kita turun tingkat ke sedikit ringan yakni soal jabatan pada instansi vertikal yang menjadi kewengan pemerintah pusat.
Jabatan Kapolda, Kapolres di 10 kabupaten dan kota, jabatan Pangdam dengan Gandim di 10 kabupaten dan kota serta Kakanwil.
Bagaimana perbandingannya denga Papua ?
Jelas malut kalah jauh soal putra daerah memimpin institusi hukum, militer dan sipil vertikal ini.
Anak Papua jadi Kapolda Papua dan Papua Barat itu perkara kecil, demikian Pangdam apalagi Kapolres dan Komandan Kodim.Jabatan Kakanwil juga bukan perkara sulit.
Perbandingannya dengan Maluku utara memang jauh.
Sampai hampir 70 tahun bergabung dalam pangkuan NKRI baru satu putra malut yang menjabat Kapolres yakni Wijaya Purbaya sebagai Kapolres Maluku utara kala itu belum dimekarkan sebagai provinsi Maluku utara.Wijaya Purbaya menjadi kebanggaan orang Malut dan namanya menjadi buah bibir rakyat Maluku utara.
Kian kemari, baru naik level dimana Satu putra Malut sebagai Wakapolda Malut yakni Kombes Fabanyo.
Jabatan Kapolda, Pangdam dan Kapolres merupakan mimpi yang kunjung tak sampai bagi putra Malut.
Memang patut disadari bahwa jabatan setingkat Kapolda harus memenuhi syarat kecerdasan.Disana hanya percaturan para bintang cerdas, namun upaya afirmatif juga bisa dilakukan melalui pembenahan khusus.
Ya anggap saja itu masih terlalu berat buat Maluku utara.Kita geser turun dikit ke level yang sedikit ringan yakni soal proyek APBN ke Maluku utara.
Masih ingat dengan kasus loby Gubernur AGK untuk percepatan pembangunan infrastruktur Ibukota, pelabuhan Sofifi, pelabuhan Mutui, pelabuhan petikemas Gita dan bandar udara Loleo?
Proyek APBN yang awalnya dijanjikan Presiden Jokowi sampai harus menurunkan beberapa Menteri vital seperti Menkeu Sri Mulyani, Menko Marvest Luhut B Panjaitan dan menteri lainya menggelar rapat di Kantor Gubernur Sofifi itu sampai hari ini tak serupiah pun dana proyek percepatan infrastruktur ibukota itu menetes ke Maluku utara.
Menyusul loby Gubernur AGK ke Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi untuk proyek pembangunan bandara udara Loleo, pelabuhan Very Sofifi, dermaga Sofifi, dermaga Mutui dan pelabuhan peti kemas Gita Oba awalnya direspons Menhub dengan menurunkan tim namun belakangan dipertemuan lanjutan Menteri Budi Karya Sumadi menyarankan Gubernur AGK bisa bermitra dengan pihak ke 3(tiga) untuk pembangunan proyek-proyek itu.Ya ilah.
Nyaris semua janji pemerintah pusat kepada Maluku utara hanya janji Jin wonge, istilah orang Maluku utara terhadap janji palsu.
Kenapa ? “Lagi-lagi Malut memang tak punya harga dan martabat di mata pusat sebagaimana Papua.
Untuk Papua, jalan memotong ke puncak gunung ratusan KM saja bukan urusan sulit.Ya itu keadilan pembangunan yang mesti diperoleh rakyat Papua tetapi bagaimana dengan keadilan pembangunan jalan misalnya bagi rakyat Maluku utara yang terbentang dari pulai Sopi Morotai sampai Lifmatola Sula ? Apa mereka tak memiliki hak keadilan ?
Ini pertanyaan yang Pancasilais dan konstitusional.
Ironisnya pertanyaan ini tidak pernah mengaum di dalam gedung DPR RI dan Ruang rapat DPD RI.3(tiga) wakil rakyat malut di DPR RI justru diam seribu bahasa demikian 4(empat) wakil daerah di DPD tak terdengar sedikitpun menyuarakan aspirasi pembangunan Maluku utara ini.
Soal Maluku utara memang akumulatif dari sikap dan prilaku 11 12 antara pemerintah pusat, wakil rakyat dan tidak bersatunya masyarakat Malut sendiri.
Ironisnya mereka saling menyalahkan tanpa menyadari kesalahan masing-masing.
Ya jadilah beginilah nasib Maluku utara.
Pesan penting buat Pemerintah pusat, Sparatisme dan Medeka itu dua kata yang haram dalam warisan leluhur kami sehingga Malut tak perlu merengek dengan tuntutan Medeka dan gerakan sparatisme !(***)