Di sebuah WAG komunitas,seorang kawan memposting berita seorang tokoh partai politik yang cukup lama di kenal vocal dan lantang membela kebenaran dalam praktek penyelenggaraan negara.tokoh ini pun suatu ketika pernah berkunjung bersama keluarga untuk mengisi liburannya ke maluku utara.banyak aktifis menyambutnya bak pahlawan dan menjadi nara sumber diskusi di beberapa kedai kopi tempat mangkalnya kawan-kawan yang “pro perubahan”.
Di berita tadi,si “tokoh” ini mengomentari soal urusan pinjam-meminjam biaya logistik dalam sebuah kontestasi kepala daerah yang mana pernyataan/kesepakatan dalam urusan itu sempat viral di media dan terbaca publik secara luas (dengan demikian publik seyogyanya telah tahu masalahnya),dan pada akhirnya ada pengakuan kedua belah pihak dan di “anggap” selesai.dan saya,sebagaimana juga,mungkin teman-teman lain,menanggapinya lebih sebagai “friksi”,kalau tidak bisa di sebut sebagai framing atas kepentingan yang “belum selesai”,tetapi si tokoh ini mungkin memandangnya sebagai “murni” hutang-piutang perdata di luar kontestasi pemilihan kepala daerah dan memohon lembaga penegak hukum untuk mengusutnya.padahal sebagai orang yang pernah menjadi anggota DPR-RI,pasti tahulah seperti apa “resiko” dunia politik kita apalagi terkait pemilihan kepala daerah.
Banyak kawan-kawan anggota WAG ikut berkomentar miring atas prilakunya yang tiba-tiba tanpa ada angin dan hujan menyoal integritasnya.saya menanggapi postingan kawan atas berita ini dengan komentar singkat bahwa si tokoh begitu cepat “berubah” dan ternyata kelasnya tak lebih hanya setara “cakar bongkar”.
Mengapa saya lebih memilih menggunakan istilah cakar bongkar???begini analognya : istilah ini sering di lekatkan pada prilaku calon pembeli pakaian bekas yang sering di jual dan laik pakai.istilah lainnya,rombengan.konon itu adalah pakaian bekas di negara tertentu yang di beli dan di jual kembali.calon pembeli perlu untuk memilih dan memilah (mencakar dan membongkar) tumpukan pakaian tadi untuk mendapatkan yang di inginkan dan mungkin memiliki kualitas lebih baik.calon pembeli yang rajin “cakar” dan “bongkar” sering mendapati kualitas pakaian yang masih bagus dan berharga miring.
Nah,dalam benak saya,prilaku konsumen ini mirip prilaku tokoh tadi.konon menurut teman saya yang memposting berita itu,si tokoh ini baru saja mendapat “berkah” karena partainya baru saja lolos verifikasi untuk ikut pemilu.
Teman saya bisa jadi benar.logika kalkulasinya begini : jika si A memusuhi si B,apalagi si A ini punya kekuatan struktural yang kuat dan masif (sebut saja rezim kekuasaan) karena berbeda sesuatu kepentingan strategis misalnya,maka berharap “belas kasih” si A dapat di tempuh dengan cara turut menyerang si B.apapun resiko pribadinya yang di terimanya menjadi tidak lagi penting.katakanlah,soal integritas diri dan ketokohan yang mulai di ragukan,misalnya.kadang dalam politik,hal semacam itu dalam batas-batas “tertentu” masih di anggap normal dan bisa di tolerir publik.tetapi berbalik 180 derajat dari karakter aslinya sama arti mengubur integritas diri yang cukup lama dan “berdarah-darah” di perjuangkan.
Jadi,membela si A dalam contoh di atas dengan cara turut menyerang “musuh”nya itu,analog dengan prilaku calon pembeli pakaian cakar bongkar tadi.bedanya,prilaku calon pembeli pakaian bekas “mencakar” dan “membongkar” tumpukan pakaian bekas itu untuk mendapatkan kepuasan dan nilai ekonomis berbelanja sedangkan prilaku tokoh tadi yang turut menyerang karena telah mendapatkan keuntungan “pra-bayar” berupa partainya yang lolos verifikasi pemilu (jika benar) adalah prilaku “mencakar” dan “membongkar” untuk mendapatkan keuntungan politis dan memuaskan hasrat berkuasa.wallahua’lam.
□karivela_anwar
15/02/23