OPINI

Muadzin Dade.(07)

By.Anwar Husen,S.Pd,M.Si. Kolomnis tetap.

Sekecil ataupun sesederhana apapun sebuah ‘peristiwa’ yang terlintas,selalu saja terbentang seribu pesan inspirasi,pelajaran dan hikmah bagi setiap kita.

Namanya mungkin Kadir.kami menyapanya Dade.Malam itu (27/07/2021),ketika melewati tempat nongkrongnya menonton televisi di depan rumah tetangga sebelah, saya sempat bertemu beliau,pria paruh baya ini adalah muadzin tetap pada masjid Al-Insan di kompleks kami di Tomagoba,Tidore.

sekitar setengah jam kami cerita ‘kongko-kongko’.kebetulan sudah lama saya ingin ‘mengingatkan’nya tentang satu hal : nada dasar adzan dhuhur.maksudnya,dia sering ‘hilang’ kontrol dan menyamakan ‘nada dasar’ dhuhur dengan magrib.kadang dia adzan semampu suaranya hingga saat ‘reffrein’ di “hayya alash sholah”, suaranya terdengar parau.di samping memang terdengar agak ‘mengganggu’,juga karena saya pikir ada efeknya nanti terhadap gangguan infeksi pita suara yang juga membahayakan bagi kesehatannya.

Saya seringkali sensitif pada hal-hal begini.bukan apa-apa tetapi kebetulan saja saya sedikit punya “pembanding” pernah lama hidup “bertetangga” dengan masjid,jauh sebelum ini bahkan dari masa kecil : rumah kakek dari bapak saya di kelurahan Topo,Tidore,tiris atapnya nyaris bersambungan dengan atap masjid.sedikit masa kecil saya di habiskan di masjid ini.maklum anak-anak,masjid tidak sekedar jadi tempat sholat berjamaah.sesekali,tempat “bermain”.rumah kakek saya dari garis ibu di kelurahan Soadara,bersebelahan dengan masjid.sama seperti di Topo,masjid juga jadi tempat “wisata” di sedikit masa kecil saya.apalagi waktu ramadhan yang teramat berkesan hingga saat ini.sedangkan rumah orang tua saya di kelurahan Gamtufkange,bertiris nyaris tersambung dengan mushollah Nurussabah di kompleks kami,Garolaha.di saat jum’at ataupun menjelang ramadhan,”stanya” (bangunan kecil) depan masjid Gamtufkange,jadi tempat kami berebutan memukul beduk tanda masuk waktu jum’at ataupun jelang 1 ramadahan.bisa di bilang,sedikit banyak saya tumbuh dan besar berpaut dengan “kultur” ini.lantunan suara pengajian (dan terjemahan) dari qari dan qariah seperti Muhammad Dong,Nanang Qosim,Muammar Z.A,Maria Ulfa dan lain-lain dari toa masjid dan mushollah,sedikit banyak jadi media belajar sekaligus kenangan masa kecil yang mengesankan.saya jadi sadar ada ungkapan yang “membenarkan” tempat bermain masa kecil di masjid tadi bahwa masjid tanpa anak-anak tak ubahnya pekuburan.

Umumnya di ” kampung”,termasuk kampung orang tua,masyarakatnya memang relatif homogen.masjid menjadi sarana ibadah sekaligus sarana membangun ukhuwah.mereka sepertinya menyadari benar bahwa masjid itu di bangun dengan kekuatan swadaya,solidaritas dan semangat ukhuwah yang kuat jadi tak akan ada artinya jika kelak modal sosial yang teramat mahal ini hilang seketika hanya karena ada pihak yang seolah sengaja meletakan “kepemilikan” di dalamnya.tidak ada yang merasa paling “berkuasa” atasnya,mereka sadar hakikatnya.semua berlangsung harmoni.

Kembali lagi,saya bilang
padanya,bahwa di siang hari,apalagi saat terik,kita memiliki kemampuan suara yang terbatas.berbeda dengan waktu magrib,isya ataupun subuh karena suasana dan hawanya.

Saya bersyukur kebetulan punya pengalaman pribadi soal efek memaksakan suara ini sehingga ada hikmah dan pesannya juga sehingga bisa jadi pintu masuk berbagi pengalaman dengannya : dulu saat baru trending nyanyi audio visual karaoke,saya sering menyanyi dengan nada dasar yang “tinggi”.lagu-lagu Benny Pandjaitan semisal Gereja Tua,Pilu,Risau serta Cinta dan Permata adalah sedikit dari deretan lagu-lagu ‘gaco’ yang bikin urat leher tegang.maklum,baru “kaget” juga dengan tekhnologi menyanyi yang begini.

Suatu ketika saya mengalami gangguan infeksi pita suara akut.dokter merekomendasikan obat yang saya masih ingat hingga kini.namanya Bicrolid.saat itu,20-an tahun lalu harganya per tablet 9000 rupiah.saat ini saya cek di ‘om google’,harganya sudah di kisaran 200 hingga 300-an ribu per strip berisi 10 tablet.artinya,sudah di kisaran 20 hingga 30 ribuan per tablet.apalagi pekerjaan muadzin tetap itu rutin.andaikan saja frekuensi adzannya 1 hari 5 kali,di kali lagi 30 dalam sebulan dan di kali lagi 10 tahun saja,kira-kira berapa banyak pita suara kita harus di paksakan apalagi dengan nada yang tinggi meski ada jeda istirahatnya.

Saya juga sempat menyarankannya doa saat sujud terakhir meminta di pelihara suaranya karena pekerjaan rutinnya yang mulia ini.

apa tanggapannya,dia menyimak dan bersyukur atas informasinya.tapi ini yang bikin kaget kata muadzin kita yang mirip bilal ini : setelan volume suara di toa masjid memang sudah di atur ‘standar’ dan tergolong tinggi oleh pengurus masjid di sound systemnya dan pintu ruang alat-alat itu terkunci dari luar.entah kuncinya di pegang siapa.jadi dia terpaksa harus menyesuaikan dengan nadanya yang tinggi itu.begitu juga saat memutar “ngaji” ataupun tarhim,suara toa kadang begitu mengagetkan bagi kita tetangga sekitar masjid karena memang volumenya langsung meninggi tanpa “aba-aba”.

Tanpa terasa,waktu bergeser makin larut.meski,berbagi dengan orang-orang polos dan berbicara apa adanya,kadang mengasyikan dan menginspirasi.saya percaya,muadzin Dade dengan polos dan apa adanya saat adzan untuk memanggil orang untuk sholat.dia tak ada urusannya dengan tetek bengek soundsystem itu.itu hanya media,bukan jadi penentu kadar dosa dan pahala seorang hamba.kita saja yang sering membuat “masalah” yang tidak perlu.

Semoga Allah SWT.senantiasa mempertautkan hati kami agar kerap sadar dan jauh dari bahaya ri’ya yang menggorogoti setiap amalan.

kami pun,berpisah untuk rehat.

Tidore,27-07-21.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close