Beberapa waktu lalu ketika ada media yang merilis data BPS Maluku Utara di penghujung tahun 2022 soal tingkat kemiskinan warga yang tinggi di beberapa kabupaten di Maluku Utara,yang kebetulan di wilayah-wilayah itu bercokol beberapa perusahaan pertambangan skala besar.Sontak terjadi perdebatan “panas” di beberapa WAG yang anggotanya saya anggap representatif dan punya cukup “kapasitas” membedahnya.Kebetulan saya salah satu anggotanya.
Biasalah,hal pertama yang jadi materi debat adalah siapa pihak yang di anggap paling bertanggungjawab atau kasarnya,bersalah.ada yang menyalahkan perusahaan-perusahaan itu,tetapi banyak juga yang menganggap kepala daerahnya yang paling bertanggungjawab.
Apapun itu,yang pasti bahwa pimpinan perusahaan-perusahaan tambang itu bukan kepala daerah tetapi mereka berinvestasi di daerah.Paing umum,dia hanya bertanggungjawab terhadap karyawannya dalam bentuk perjanjian kerja,penggajian dan hak-hak lain serta tanggungjawab sosial lain yang telah di atur oleh regulasi di bidang itu bagi warga lingkar tambang dan juga hak daerah dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH).
Para kepala daerah itu yang punya warga dan punya anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang di susun dan di formulasikan dalam bentuk kebijakan untuk membuat warganya menjadi sejahtera.itu saja.soal bahwa harus ada bentuk tanggungjawab “tambahan” lain di luar regulasi resmi,terserah kemampuan tiap kepala daerah bagaimana “menggarap”nya dan bagaimana peluangnya.
Saya menanggapi “perdebatan” itu dengan membuat analogi sederhana ini : di usia kelas lll SD sekitar tahun 1977,saya di ajak almarhum ayah saya ke Ternate menumpangi motor tempel bermesin gantung dua buah 15 PK,yang berangkat dari pelabuhan pasar lama,Garolaha,kelurahan Gamtufkange (sekarang),di pulau Tidore.
Saat tiba di Ternate jaman “timba woka” itu,saya “kaget” ketika melihat banyak lalu lalang mobil angkot beroda tiga yang tenar di sebut “Oto Bemo” plus banyak gedung dan Ruko berlantai ll yang di jaman itu,konstruksi dan desainnya sudah yang paling top.saat ini,di bilangan pasar Gamalama,yang sebagian bangunan-bangunan lama itu sudah di rehabilitasi bahkan di bangun baru.
Saking serius mengamatinya,tanpa sadar,kaki saya terperosok ke dalam selokan limbah hingga basah selutut.seingat saya,itu terjadi di depan toko Selecta,saat ini.setelah makin bertambah pendidikan dan membaca buku-buku tentang sistem kerja otak manusia,baru saya menyadarinya bahwa ketika mengunjungi sebuah objek atau tempat yang baru,ada reaksi tertentu di bagian otak tertentu pula yang memicu “kekagetan”, kekaguman dan fantasi,hal mana membuat kaki saya terperosok ke dalam selokan tanpa menyadarinya.
Kota atau tepatnya kemajuan suatu daerah atau wilayah itu parameternya adalah punya mobil yang banyak,jejeran bangunan bertingkat hingga ramainya orang lalu lalang.itu asosiasi yang terbentuk di pikiran saya saat berusia kurang lebih 9 tahun.dan mungkin seperti itu juga,hal yang di alami teman-teman sebaya saya di saat itu.dan memang jauh sebelum sekarang,di banding Ternate,di pulau Tidore sudah jauh “tertinggal”.saat itu hanya punya tiga bangunan Ruko berlantai ll, berkonstruksi dan desain “orde lama” hingga jumlah kendaraan angkutan umum yang bisa di hitung dengan jari.Ternate mewarisi “kultur” perniagaan yang bisa di runut jauh ke belakang sejak di masa “euforia” rempah-rempah di jaman kolonial.bisa di ajak ke Ternate bagi anak di usia sebaya saya saat itu mungkin “setara” malancong ke luar negeri saat ini.dan ketika kembali,cerita “bersambung”nya buat teman sebaya, bisa satu bulan belum selesai-selesai.
Seiring makin bertambah usia,tingkat pendidikan,pengalaman bahkan hingga kesadaran personal,asosiasi dan persepsi tentang kemajuan suatu daerah atau kota perlahan mulai bergeser hingga ke parameter yang lebih mendasar,kwalitatif dan manusiawi : tingkat pendidikan,derajat kesehatan,akses terhadap pangan,soal kecukupan gizi bahkan hingga ke rasa bahagia.
Ketika mengingat berita bahwa kita sedang memperbincangkan tentang banyak warga miskin di daerah penghasil tambang di maluku utara,saya membayangkan bahwa jaman ini bisa jadi mirip situasinya di tahun 70-an itu atau 30-an tahun lalu di mana asosiasi saya tentang “defenisi” kota saat pertama kali menginjak Ternate, sama seperti di benak mereka,warga dan para anak-anak kita di daerah penghasil tambang itu saat ini,sebuah defenisi paling minimal dan sederhana tentang standar kebutuhan hidup dan arti kesejahteraan,karena punya akses yang terbatas terhadap pendidikan berkualitas,jaminan kesehatan memadai,ketersediaan pangan yang cukup dan tingkat keterpenuhan gizi yang berimbang karena terlilit potensi kemiskinan yang “mengepung”.
Siapa yang paling bertanggungjawab atas semua ini,”kepala” perusahaan-perusahaan pertambangan itu yang punya karyawan dan pekerja ataukah para kepala daerah yang punya APBD dan punya warga tetapi tidak punya kesempatan karena tidak tahu ataupun tidak ada potensi yang mau di kerjakan untuk mengatasi masalah yang melilit kebutuhan hidupnya???para ekonom dan pakar,silahkan lanjutkan diskusi biar kita punya kesadaran yang sama tentang arti peradaban.
Cukup kaki saya yang terperosok ke dalam selokan limbah dan teman-teman usia sebaya yang kaget melihat “Oto Bemo” dan bangunan bertingkat di Ternate “tempo dulu” itu,jangan mereka lagi hari ini.wallahua’lam.