PERANG UKRAINA, TIMUR TENGAH, DAN PILPRES INDONESIA
Smith Alhadar Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE)
Perang Ukraina menghadirkan krisis ekonomi, yang kemudian memicu krisis politik, di sebagian negara di dunia. Meskipun Indonesia masih menikmati pertumbuhan yang lumayan, tidak ada jaminan ke depan keadaan akan stabil atau membaik karena perang Ukraina terus bereskalasi yang kian mengancam stabilitas dan keamanan dunia.
Sementara ketidakpastian pemilu serentak di Indonesia menciptakan gejolak di masyarakat. Padahal, kemiskinan dan pengangguran yang meluas disebabkan pertumbuhan ekonomi yang tak berkualitas — hanya dinikmati orang-orang yang sudah kaya — plus kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan pajak pada rakyat kecil meluas, stabilitas sosial-politik terganggu.
Di pihak lain, negara-negara Timur Tengah produsen minyak dan gas menikmati durian runtuh (windfall profit) akibat melonjaknya harga energi di pasar global. Terkait hilangnya sebagian energi Rusia di Eropa akibat sanksi AS dan NATO, produsen energi negara Timur Tengah, seperti Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Kuwait, Arab Saudi, Iran, Libya, dan Aljazair, muncul sebagai kekuatan ekonomi dan politik baru.
Maka kita menyaksikan para pemimpin negara-negara besar bergegas ke Timur Tengah untuk memperkuat dan memperdalam kerja sama ekonomi dan politik yang komprehensif jangka panjang. Indonesia juga tak ketinggalan. Pada Juli tahun lalu, Indonesia menandatangani kerja sama ekpnomi komprehensif dengan UEA. Tapi ini masih jauh dari memadai dalam usaha memanfaatkan potensi ekonomi Timur Tengah yang sangat besar untuk mendongkrak ekonomi kita. Terutama menarik investor dari kawasan itu.
Memang belakangan ini ekonomi dunia mulai membaik setelah inflasi di AS menurun dan Cina menghentikan zero covid-19 policy. Pertumbuhan ekonomi dunia pun dikoreksi meningkat tahun ini. Di atas kertas, para ekonom memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh moderat 5,3 persen.
Kendati demikian, kian memburuknya hubungan AS-Cina setelah AS menembak balon Cina di atas langit AS dan eskalasi perang Ukraina, bisa menyebabkan ekspektasi optimistis di atas berbalik arah. Pada 6 Februari silam, Sekjen PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa dunia bisa mengarah ke “perang yang lebih luas” ketika resiko eskalasi lebih lanjut dari konflik Ukraina meningkat. Dalam pidato di hadapan 193 anggota PBB itu, Guterres mengatakan, prospek perdamaian makin tipis, sementara eskalasi lanjutan dan pertumpahan darah terus membesar.
Memang memasuki satu tahun, konflik makin intens. Kampanye militer Moskow tak mengalami kemajuan ketika Barat memberikan bantuan finansial dan persenjataan kepada Kiev. Ini akan memperpanjang dan mengintensifkan perang.
Harapan AS dan NATO, dengan mereduksi ekspor energi Rusia ke pasar global — sehingga memperlemah kemampuan perangnya — Rusia dapat dikalahkan atau, setidaknya, memaksanya maju ke meja perundingan perdamaian dengan syarat-syarat yang didikte Ukraina-NATO, yakni memaksa Rusia angkat kaki dari wilayah Ukraina yang diduduki, termasuk Semenanjung Krimea yang dicaplok pada 2014. Walakin, harapan NATO itu nampak tidak realistis.
Pertama, sanksi-sanksi ekonomi yang diterapkan Barat tidak berdampak signifikan terhadap kemampuan perang Rusis. Ini karena Cina dan India, konsumen energi fosil terbesar dunia, memborong energi Rusia. Sebaliknya, justru Eropa yang kelimpungan menghadapi krisis energi dan pangan yang memicu inflasi tinggi.
Maka bila perang berkepanjangan — diduga Presiden Rusia Vladimir Putin yang sabar menghendaki perang berlangsung lama — Eropa dan dunia akan mengalami krisis ekonomi yang lebih berat, yang akan memicu krisis politik global. Sebagian negara berkembang, termasuk Indonesia, juga akan memasuki krisis yang lebih parah. Sekarang saja tak kurang dari 30 negara berkembang sedang antri menjadi pasien IMF.
Kedua, rakyat Rusia tidak siap menghadapi kekalahan karena dampaknya adalah Rusia tereduksi menjadi negara lemah, dan meruntuhkan pamornya sebagai salah satu pemain global yang menentukan. Karena itu, kendati mungkin kecewa dengan kepemimpinan Putin dan performa militer Rusia, tak ada pilihan lain bagi mayoritas rakyat Rusia kecuali mendukung perang.
Ketiga, di atas kertas, Rusia tak akan “kalah”. Negara Beruang Merah itu punya 6.000 hulu ledak nuklir berbagai jenis, terbesar di dunia. Memang tak dapat dibayangkan Putin akan menggunakan senjata penghancur massal ini. Tapi kalau harus menghadapi opsi kalah perang atau menggunakan nuklir, kiranya Rusia akan memilih yang terakhir.
Di luar itu, banyak negara, termasuk Cina dan India — serta juga hampir seluruh negara di Timur Tengah — tak menghendaki Rusia kalah karena dengan demikian tatanan multipolar yang mereka dambakan demi melepaskan diri dari hegemoni Barat tak akan tercapai. Maka cukup alasan bagi kita untuk khawatir bahwa kondisi dunia ke depan tidak sesuai dengan harapan.
Di tengah ketidakpastian dunia di satu pihak, dan meningkatnya kekayaan sebagian negara Timur Tengah di pihak lain, mestinya Indonesia menggarap kawasan itu secara lebih serius. Kita memiliki sumber daya alam yang melimpah dan komoditas-komoditas unggulan yang dibutuhkan negara-negara Timur Tengah yang sedang tumbun pesat. Dengan demikian, Indonesia memiliki potensi besar untuk membuka pintu ekspor ke kawasan itu.
Berdasarkan data ekspor Indonesia tahun 2022, tujuan ekspor masih didominasi oleh pasar Cina, AS, Uni Eropa, dan India. Sementara negara Timur Tengah yang menjadi tujuan ekspor Indonesia saat ini terbatas pada Arab Saudi, UEA, dan Yordania.
Nilai ekspor Indonesia ke Timur Tengah memang masih rendah. Penyebabnya, kita belum memiliki kesepakatan dagang dengan negara-negara di kawasan itu kecuali tiga negara yang disebutkan di atas. Padahal, Indonesia punya daya tawar yang lebih dari cukup karena memiliki pasar yang besar dan kelas menengah yang terus tumbuh.
Secara politik, Indonesia bersahabat dengan semua negara di kawasan itu yang, secara bersama, tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Gerakan Non-Blok. Walakin, modal politik ini tidak sebanding dengan tingkat kerja sama ekonomi, terutama karena Indonesia hanya melihat Timur Tengah dari kacamata politik, agama, dan pasar TKI.
Mengingat negara-negara utama tujuan ekspor Indonesia belum pulih sepenuhnya, bahkan berpotensi terjerumus ke dalam resesi bila geopolitik global memburuk, Indonesia sangat perlu menengok Timur Tengah sebagai tujuan ekspor dan sumber modal guna menahan lajunya PHK dan meningkatkan kinerja ekonomi.
Menurut Wakil Ketua Kadin Shinta W Kamdani, tekanan pada ekspor padat karya muncul dalam bentuk permintaan ekspor yang menurun. Sampai November 2022, sektor padat karya dalam negeri sudah mem-PHK-kan kepada 919.071 orang. Ini kaitannya dengan demand ekspor yang sudah turun (Kompas, 6 Februari).
Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus, menilai UU Cipta Kerja belum memberi dampak signifikan terhadap realisasi investasi, apalagi penciptaan lapangan kerja (idem). Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi di Koordinator Bidang Ekonomi Elen Setiadi tetap meyakini, kehadiran UU Cipta Kerja dapat mendorong penciptaan lapangan kerja lebih banyak. Caranya, mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga di atas 6 persen. Kalau pertumbuhan hanya 4-5 persen, tidak akan cukup kuat untuk menciptakan banyak lapangan kerja (idem). Padahal, dalam keadaan normal sebelum pandeni dan perang Ukraina, ekonomi Indonesia di bawah rezim Jokowi belum pernah tumbuh 6 persen.
Untuk itu, investasi di sektor padat karya harus ditingkatkan karena, meskipun investasi di Indonesia meningkat pada 2022, investasi yang masuk bersifat padat modal dan teknologi tinggi. Maka diplomasi ekonomi kita ke Timur Tengah harus juga berfokus pada penarikan investor di sektor padat karya. Kalau tidak, kecenderungan PHK yang
berkepanjangan dan menurunnya daya beli masyarakat akan meningkatkan gejolak politik.
Besarnya gejolak politik juga disumbang oleh ketidakpastian pemilu. Ini disebabkan santer diberitakan masa jabatan presiden akan diperpanjang atau Jokowi tiga periode. Kendati ditolak mentah-mentah oleh publik, akademisi, pengamat, dan mayoritas parpol karena ketiadaan kegentingan memaksa, gagasan ini tetap hidup. Bahkan terkesan kuat diorkestrasi istana.
Hal ini dikaitkan dengan pencapresan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, aspiran capres yang populeritasnya membuat rezim tak bisa tidur nyenyak. Ia memang tak dikehendaki Jokowi dan oligarki karena memilki visi sendiri tentang Indonesia masa depan.
Dengan kata lain, Anies dipersepsikan tidak akan melanjutkan blue print dan legacy pembangunan Jokowi yang menjadi keprihatinan publik. Karena itulah pilpres bisa dibatalkan atau upaya menyingkirkan Anies dari arena konstestasi pilpres berhasil dilakukan. Menurut laporan majalah Tempo edisi terakhir, ada rencana sidang MPR pada Agustus mendatang mengagendakan memperpanjang masa jabatan presiden.
Ini tentu saja aneh. Di negara demokrasi out going rezim dengan dukungan oligarki menghambat hajat nasional itu berlangsung tepat waktu, jujur, dan adil. Bukan tidak mungkin negara besar di luar sana yang dekat dengan rezim Jokowi ikut mendukung rencana tak senonoh itu. Pasalnya, Anies akan melakukan konsolidasi demokrasi dan perbaikan-perbaikan ekonomi yang bisa jadi menyerempat kepentingan Cina. Terlebih, Anies akan memperkuat kerja sama strategis dengan negara-negara besar di Indo-Pasifik, termasuk AS, serta Inggris dan Uni Eropa untuk mengimbangi Cina.
Harus diakui, kalau gejolak gepolitik global berkepanjangan, maka rezim Jokowi berpotensi meninggalkan masalah di semua lini negara yang harus ditangani pemerintahan berikutnya. Selain isu ekonomi dan politik, juga menyatukan masyarakat yang terbelah sejak 2014. Simpatisan Anies percaya tokoh yang pandai dan berintegritas itu mampu mengemudikan bahtera Indonesia mengarungi gelombang dan badai di samudera luas.
Ketika memimpin Jakarta yang kompleks dan rumit di semua aspek, di tengah hantaman pandemi covid-19, ia relatif berhasil menjawab tantangan-tantangan yang tidak ringan. Keberhasilannya ditunjukkan oleh hasil jejak pendapat lembaga-lembaga survey: tingkat kepuasan warga Jakarta atas kinerja Pemprov DKI mencapai hingga 83 persen. Tak kurang penting, ia berhasil mengurangi tingkat kemiskinan di Jakarta dalam kondisi sulit itu, serta berhasil pula mengharmoniskan hubungan semua komunitas agama dengan menghadirkan keadilan untuk semua.
Anies juga toloh bersih yang diperlukan Indonesia saat indeks korupsi Indonesia menurun drastis. Tidak hanya punya banyak gagasan, lalu pandai menarasikannya, tapi juga lihai mengeksekusi gagasan-gagasan itu. Artinya, ia punya kapasitas intelektual dan leadership. Yang juga harus dicatat, ia adalah tokoh internasional yang diharapkan berkontribusi menciptakan planet manusia ini menjadi lebih baik.
Yang lebih penting, ketokohan internasionalnya akan sangat membantu Indonesia menyelesaikan masalah dalam negeri melalui kerja sama yang bermakna (meaningful cooperation) dengan dunia global.
Tentu saja Anies tidak mampu menghadirkan surga bagi Indonesia. Bangsa ini terlalu rumit dan kompleks untuk ditangani satu orang. Tapi setidaknya, dengan pertimbangan rasional dan objektif, dialah aspiran capres yang paling mungkin kita andalkan untuk mengatasi kerentanan ekonomi, sosial, dan politik domestik, serta tantangan-tantangan eksternal. Semoga.
Tangsel, 12 Februari 2023