OPINI

Ada “Cap Tikus” di Grup WA.(Part 19).

Anwar Husen,S.Pd,M.Si. kolomnis tetap

“Baku sedu”,saling canda,itu terjadi kemarin.Tapi itu bukan yang pertama.Biasalah di WAG,saling canda itu menjadi bumbu yang kadang memberi “interupsi” bahwa tertawa itu memang bikin sehat,ada impuls di syaraf “bahagia” yang tersentuh dan memicu semangat baru.Teman saya sering meniru iklan suplemen Supertin,tambah semangat.Sama seperti tulisan ini,tidak bermaksud mencekoki pembaca dengan analisis yang rumit,dia sekedar pengantar tidur malam atau sekedar teman saat rehat menikmati kopi kesukaan.

Adalah WAG FORDISTA,sebuah grup alumni Himpunan Mahasiswa Islam Maluku Utara,KAHMI,yang di gagas karib Herman Usman,seorang dosen,juga penulis handal.Anggotanya “gado-gado”,hampir semua kalangan profesi ada di sini : birokrat,politisi,pengusaha,wartawan dan pimpinan media hingga pensiunan pejabat eselon l.

Latar ini,yang sering membuat grup ini punya perspektif yang agak utuh dalam melihat masalah ataupun sesuatu isu yang sedang menggelinding.Nama-nama seperti Darsis Humah [saya kerap menyebut beliau Kapita Toloko untuk menganalogkan levelnya],Saiful Bahri Ruray,Ade Adam Noh,Moksen Sirfefa,Ishak Naser,Faisal Jalaludin,Syarifudin Usman,Rahmi Husen hingga Hasby Yusuf,ada di sini.Tak lupa,Nur Sangadji,seorang putra Mareku yang yang kini dosen di Universitas Tadulako,Palu.Tak ketinggalan,pengasuh rubrik kolom di media Forum Keadilan.Demikian untuk menyebut beberapa saja anggotanya.Sebagai WAG “insan akademis”,hampir semua gelar akademik ada di sini,baik level maupun disiplin ilmunya,S1 hingga S3 bahkan Profesor,”Paten”,bukan Honoris Causa [HC].Dari sarjana Agama hingga Tekhnik Perkapalan,sarjana Pendidikan hingga Sosial Politik.Sebuah grup yang nyaris lengkap.Dan karena “nyaris” tadi,maka sesuatu hal yang di diskusikan,sulit di temukan simpulnya.Dan memang,tidak di maksudkan ada kesimpulan di sini.Masing-masing berkesimpulan sendiri,namanya saja insan akademis.

Kemarin[15/03],usai mendiskusikan tema “berat”,tiba-tiba ada teman yang iseng memposting soal “Cap Tikus”,minuman tradisional di beberapa daerah di Indonesia,khusus Indonesia Timur.Sudah saya duga,ini pasti “heboh”.Tak salah,beragam tanggapan pun bermunculan.Mulai dari berita untuk jadi “pembanding”,pengalaman pribadi bersentuhan soal ini hingga ada yang sengaja memposting foto daftar isi sebuah buku hasil riset seluk-beluk Cap Tikus di sebuah daerah tetangga.Saya sontak mengingat kata-kata Widyaiswara saat diklat PIM ll di kampus PKP2A-Il LAN Makassar 2012 lalu.Saat suasana kelas jadi ramai dengan tema obrolan yang ngelantur bak Pasar,sambil senyum-senyum,sang Dosen ini berujar bahwa orang dewasa jika bertemu orang dewasa,jadi anak-anak.Kata-katanya ini sering saya ingat ketika menemui suasana yang sama di mana saja.

Lanjut,saya nimbrung “baku sedu” di tema Cap Tikus tadi : dulu ketika minuman keras,sebutan untuk minuman berkadar alkohol tinggi,belum Top dan bagi yang “mencicipi”nya seolah jadi simbol “modernitas”,pernah ada minuman berbotol plastik yang namanya Anggur Beranak bermerk Colesom yang di rekomendasikan untuk ibu-ibu yang baru melahirkan.Takarannya pun di atur dengan gelas kecil yang tenar dengan Sloki.Tapi apa mau di bilang,minuman yang katanya buat untuk ibu melahirkan ini justru laris manis dan jadi langganan anak-anak muda yang relatif seusia saya ketika itu di tahun 1980-an.Untung saja frekuensi dan waktu melahirkan ibu-ibu itu tak menentu,sesuai usia kehamilan,kalo tidak,bisa jadi masalah baru lagi.

Meski telah di pahami,saya coba merefresh pengalaman saya ketika menjadi Kepala Dinas Periwisata provinsi Maluku Utara lalu.Saat itu di tahun 2017,kami pernah merekomendasikan beberapa jenis Kesenian dan Tradisi untuk mendapatkan “lisensi” dan pengakuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda yang setiap tahun di laksanakan oleh kementerian Pendidikan.Seingat saya,jenis Kesenian dan Tradisi Kukuhena,Seri Godoba dan Tide-Tide dari kabupaten Halmahera Utara mendapatkan pengakuan itu yang di terima Gubernur Maluku Utara,K.H
Abdul Gani Kasuba,Lc.di Gedung Kesenian TIM,Jakarta.

Provinsi tetangga,Maluku,mengajukan tradisi Minum Sopi untuk mendapatkan pengakuan itu di wilayahnya yang memang sudah turun-temurun.Juga Papua,saya lupa jenis Kesenian dan Tradisi yang di ajukan,tapi tak jauh dari “urusan” alkohol sebagai tradisi masyarakatnya yang telah lama ada dan berlaku hanya di lingkungan budaya mereka.

Di wilayah-wilayah ini,menemukan minuman beralkohol jenis Cap Tikus tadi ataupun produk olahan dari pohon Nira yang lazim di sebut Saguer di kedai-kedai pinggiran jalan dan di seremoni budaya,mungkin pemandangan yang biasa,yang di sini,sesuatu yang di anggap “luar biasa”.Tapi tetap saja,selalu saja ada modus untuk bisa mengakali yang luar biasa itu.

Kawan saya berkisah dari cerita temannya : cara “menyelamatkan” jenis minuman tradisional beralkohol tertentu lewat laut adalah dengan cara memberi sedikit pemberat pada Jerigen berisi minuman tadi dan membiarkannya melayang di laut.Begitu tiba di pesisir dan bisa di pastikan bahwa situasi “terkendali” alias tidak ada potensi Razia,barulah “Jangkar” tadi di tarik dan di amankan.Nampaknya,selalu saja ada “jalan” bagi yang ingin lebih cepat sampai di depan pintu “penjara” diri.Dan saling canda di grup insan akademis tadi masih akan terus bergulir dengan tema-tema “serius” hingga kocak setelah Cap Tikus dan Saguer.Wallahua’lam.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close