OPINI

ANIES DAN ORKESTRA KODOK

Smith Alhadar Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Ada sebuah rumah terpencil yang tak biasa. Arsitekturnya berbeda dengan rumah manapun di daerah itu. Dulu, rumah itu terkesan angker dan lingkungannya sepi. Tapi sejak lima tahun terakhir, rumah itu jadi perhatian seisi dunia.

Terutama karena penghuninya lain daripada yang lain. Orang dari mana-mana dari semua kelas sosial masuk keluar rumah yang catnya sudah berganti dari merah menjadi putih. Lingkungannya pun berisik sepanjang waktu.

Anehnya, penghuni rumah tak merasa terganggu. Padahal, tetangga-tetangga terjauh pun jengkel dengan suara bersahut-sahutan yang semakin hari semakin keras. Mending kalau suara-suara itu enak didengar. Tak bedanya dengan suara seribu radio rusak!

Ternyata yang berisik itu adalah orkestra kodok. Dan penghuni rumah adalah Anies Baswedan. Mungkin karena dirigennya kodok cacat, berbagai nada yang dihasilkan orkestra tidak membentuk musik yang harmonis.

Menurut fitrahnya, orkestra kodok punya empat tujuan. Saya akan menyebut tiga saja, yang relevan dengan tulisan ini. Pertama, memberi tahu musuh tentang teritori kekuasaan mereka.

Artinya, mereka menggunakan identitas regional untuk memberi tahu Anies bahwa ia tak disukai. Identitas regional berarti para penghuninya punya kesamaan pandangan (ideologi), kebiasaan (budaya), dan tujuan (politik).

Mereka juga disatukan oleh kesamaan kepentingan hidup (ekonomi) karena makanan yang tersedia di sekitar sudah cukup untuk bikin mereka bisa bertahan hidup.

Sebelum Anies, penghuni rumah itu adalah seorang pemarah. Tapi para kodok senang bukan main. Bukan lantaran Ahok menjadikan lingkungan mereka semakin nyaman, melainkan lantaran ia bagian dari status quo yang dipromosikan istana, istana tempat asal kodok. Juga karena Ahok berbeda dalam sikap dan ideologi dengan sebagian besar penduduk sekitar yang rata-rata kurus dan dekil.

Para kodok berkhayal bahwa dengan kehadiran Ahok, ideologi dan budaya orang-orang terbelakang itu akan berubah sejalan dengan ideologi para kodok yang menyebut diri ‘Islam liberal’. Kodok beranggapan, kemiskinan penduduk terkait langsung dengan jenis Islam yang mereka anut, bukan lantaran ditelantarkan negara.

Maka Ahok diharapkan menjadi simbol pembaharuan terhadap pandangan dan gaya hidup dekaden manusia-manusia melarat itu, meskipun budaya yang dibawa Ahok tidak mencerminkan budaya unggul.

Kodok berpendapat, tindakan aniaya sosial boleh dilakukan pemimpin demi masa depan yang lebih baik bagi orang-orang yang dipimpinnya, seperti jalan pikiran Orde Baru. Kini Ahok sudah diusir rakyat yang dekil itu. Tapi orkestra kodok malah makin dinamis. Pasalnya, bos para kodok masih bertahan di istana, dan mereka ingin mempertahankannya.

Sebenarnya, tak ada argumen valid bahwa keterbelakangan sebuah komunitas berkaitan langsung dengan budaya (agama) mereka, melainkan sistem ekonomi. Masyarakat Korea Utara dan Korea Selatan adalah sebuah bangsa yang utuh. Kenyataannya, penduduk Korea Selatan yang kapitalis-demokratis jauh lebih maju dan makmur ketimbang saudara mereka di utara di bawah sistem komunis.

Kalau budaya yang bersumber dari ajaran Khonghucu dan Budha membuat pengikutnya progresif, bangsa Cina akan merupakan bangsa paling maju sejak ribuan tahun lalu. Faktanya, Cina baru berkembang 45 tahun terakhir setelah sistem ekonomi komunis diganti dengan kapitalisme negara.

Itu pun masih ada 250 juta warga Cina yang hidup di bawah garis kemiskinan. Di Indonesia, warga Tionghoa yang hidup melarat cukup besar. Yang kini mendominasi perekonomian nasional adalah mereka yang diuntungkan oleh fasilitas penguasa sejak zaman penjajahan.

Kalau pengikut Yesus atau christianity adalah jaminan menjadi kaya dan maju, mengapa bagian terbesar populasi Benua Amerika hidup dalam kemiskinan? Filipina, yang mayoritas penduduknya memeluk Katholik, bukan merupakan anggota ASEAN paling maju. Padahal, berkat jajahan AS, Filipina merupakan salah satu negara terdepan di Asia Timur pada awal abad ke-20 ketika mayoritas anggota ASEAN berada dalam penjajahan.

Menurut sosiolog Max Weber, etika protestanlah yang membuat pemeluknya di Eropa Barat maju pesat. Tapi mengapa masyarakat Jerman Timur di bawah sistem komunis jauh tertinggal dari saudaranya di barat yang diatur pemerintahan kapitalis? Bukankah Jerman tempat lahirnya Protestan? Kenyataan lain, mayoritas masyarakat Ambon, Papua, Sulawesi Utara, dan Sumatera Utara, sama nasibnya dengan pemeluk agama lain di negeri ini.

Kalau Hinduisme lebih unggul dari Islam, mengapa mayoritas pemeluknya di India hidup melarat, sementara mayoritas Muslim di sana lebih makmur? Kalau Islam penyebab kemiskinan, mestinya semua Muslim di muka bumi ini malang hidupnya. Faktanya, sebagian kaum Muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara merupakan yang termakmur di dunia. Sebagian imigran Muslim di Benua Amerika dan Eropa juga merupakan bagian dari kelas menengah atas di sana.

Fakta-fakta ini menunjukkan khayalan kodok pendukung status quo terbantahkankan . Indonesia — yang maroritas penduduknya Muslim (87%) — diprediksi institusi-institusi ekonomi internasional yang kredibel akan menjadi salah satu dari tujuh negara termaju di dunia pada 2045. Syaratnya, pemimpin Indoonesia memiliki visi yang bisa diterjemahkan ke dalam kebijakan yang operasional.

Berdasarkan pada asumsi yang keliru itulah yang mendorong kodok membenci Anies. Anies (simbol kekuatan anti status quo) dipandang sebagai musuh yang menduduki teritori mereka. Ia dipandang datang dari budaya komunitas terbelakang, intoleran, radikal, dan hendak mendirikan khilafah.

Aneh, identitas ini tetap dilekatkan padanya meskipun setelah lima tahun memimpin Jakarta, semua tuduhan itu tak terbukti. Inilah yang menyebabkan sebagian kodok menjadi “mualaf”.

Mereka tak mau lebih lama disesatkan para kodok cacat, yang sesungguhnya tak punya otoritas keilmuan Islam untuk bicara tentang agama ini. Biar begitu, para kodok tetap memainkan orkestra dari lagu yang itu-itu juga dari dulu sampai sekarang.

Fitrah kedua dari tujuan kodok memainkan orkestra adalah untuk melindungi diri dari predator. Bila merasa diserang, kodok akan mengeluarkan suara panik bernada tinggi.

Anies dilihat sebagai predator terhadap ideologi, budaya, politik, dan kepentingan mereka. Artinya, mereka takut lingkungan hidup Indonesia akan berubah karena mereka berilusi Anies akan mengganti Pancasila dengan syariah. Hakikatnya, mereka tidak yakin dengan apa yang mereka katakan sendiri, tapi rakyat perlu ditakut-takuti agar bersetuju dengan pandangan mereka.

Lagi-lagi aneh karena mereka tak takut pada ideologi, budaya, politik, dan kekuatan status yang berselingkuh dengan oligarki untuk kepentingan sendiri. Padahal, keseluruhan postur kekuatan status quo inilah yang hari ini menciptakan ketegangan sosial, kemiskinan yang meluas, kemerosotan demokrasi, dan anjloknya indeks korupsi Indonesia.

Memang secara makro, kinerja ekonomi Indonesia dianggap baik. Tetapi pertumbuhannya tak berkualitas. Buktinya, kesenjangan kaya-miskin kian lebar. Pada saat bersamaan, penguasa hendak memperpanjang masa jabatan presiden dengan berbagai cara.

Dan para pemuka kodok tak mempermasalahkan upaya kekuatan status quo menindas hak politik Anies untuk ikut kompetisi dalam pilpres mendatang, meskipun hal itu akan merusak rezim pemilu, konstituasionalisme, dan konsolidasi demokrasi yang konon mereka dukung. Mereka malah mendukung bakal capres pengusung ideologi status quo. Mengaku liberal, tapi tidak toleran kepada yang berbeda dengan ideologi dan gaya hidup mereka.

Fitrah ketiga kodok adalah memainkan orkestra ketika merasa terancam atau terkejut. Kini okestra dimainkan dengan nada-nada tinggi setelah Anies nyaris pasti akan menjadi salah satu capres. Kepanikan mereka meningkat hebat lantaran potensi menang Anies cukup besar. Tiba-tiba mereka yang mengkhotbahkan penentangan terhadap politil identitas, mendesak kaum Nasrani menggunakan politik identitas untuk mengalahkan Anies.

Mereka memunculkan istilah berbau rasis dan pejoratif: kadrun. Tapi istilah ini dengan cepat kehilangan kelogisannya ketika bakal capres yang mereka dukung berlomba-lomba bertransformasi menjadi kadrun untuk kepentingan politik elektoral yang tak lama lagi akan digelar.

Juga karena atribut-atribut yang melekat pada Anies tidak match dengan terminologi itu. Makna kadrun (kadal gurun) yang mereka definisikan adalah kelompok fanatik, bodoh, munfik, intoleran, dan radikal. Kira-kira serupa dengan citra pendukung ISIS atau Al-Qaedah.

Sementara atribut-atribut yang melekat pada Anies adalah intelektual kelas tinggi yang dihormati pemerintah, tokoh, dan institusi akademik internasional. Ia juga dikenal jujur, istiqamah, demokratis, dan moderat. Capaian-capaian cemerlang yang ditorehnya di Jakarta bisa disaksikan semua orang.

Tidak mungkin orang waras akan mengingkari ini, kecuali para pembenci yang telah kehilangan akal sehat dan nurani. Anies berdiri di sana secara telanjang untuk dinilai. Tidak ada yang dia sembunyikan. Bahkan, KPK yang diperalat untuk menjeratnya, pun tak mampu menemukan nodanya.

Yang sulit dimengerti, kebisingan orkestra kodok tak mengganggu Anies. Ia malah menikmatinya. Kadang ia tertawa geli melihat makhluk-makhluk yang lucu itu. Kaki depannya pendek, kaki belakangnya panjang. Lompatannya jauh saat mencium bahaya.

Kelucuan ada pada wajah, motif, dan semangat mereka. Sampai-sampai mereka lupa pada fitrahnya sendiri. Biasanya kodok main orkestra ketika hujan atau malam hari. Kini mereka “bernyanyi” dengan suara fals selama dua puluh empat jam.

Para kodok makin dongkol karena bukannya mengecam, membela diri, atau melapor ke polisi, Anies malah menyediakan panggung lebih besar untuk mereka tumpahkan sumpah serapah sepuas hati.

Mereka tak sadar, atau barangkali sudah terlanjur malu, bahwa fitnah yang tidak dirancang secara logis akan menjadi bumerang. Pasalnya, hukum besi kebohongan akan berlaku: Anda bisa membohongi sebagian orang pada suatu waktu, tapi tidak mungkin membohongi semua orang sepanjang waktu.

Tak apa. Teruslah bermain orkestra. Anies tak akan pernah marah. Orang cerdas yang bijaksana tak mungkin kecewa pada kebodohan yang disengaja.

Tangsel, 8 Maret 2023 !

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *