Jalan keluarnya ada dua. Pertama, mengakui peran legal oligarki tapi diatur oleh UU yang rumusannya berdasarkan pada amanat konstitusi dan konstruksi sosial-politik nasional. Juga harus ada lembaga pengawas yang independen untuk mencegah terjadinya transaksi gelap pihak-pihak terkait.
Kedua, kita penuhi anggaran ideal Rp 16.500 per suara. Bagaimana mendapatkan anggaran sebesar itu? Gampang. Berantas korupsi secara konsisten sampai ke akar-akarnya. Menurut mantan Ketua KPK Abraham Samad, sebagaimana dikutip kembali oleh Menko Polhukam Mahfud MD baru-baru ini, sekiranya korupsi di sektor pertambangan saja dapat diberantas, maka tanpa melakukan apapun tiap warga begara dapat mengantongi secara cuma-cuma Rp 20 juta per bulan.
Dus, solusi terhadap masalah bukan dengan kembali ke UUD 45 asli — toh, konstitusi bukan kitab suci yang tak dapat diubah — tetap memperbaiki Smith Alhadar/Institute for Democracy Education (IDe)
sistem yang sdh ada dan mengakui peran oligarki. Sepanjang oligarki diikat dengan aturan yang ketat dan perannya transparan, kepentingan mereka dan kepentingan negara dapat bertemu dan bersinergi semata-mata untuk kebaikan semua.
Misalnya di AS, industri senjata api dikuasai oligarki, sementara UU yang mengizinkan warga sipil memiliki senpi banyak disalahgunakan sehingga menimbulkan keprihatinan luas.
Desakan publik agar sipil dilarang memilikinya tidak dapat dilaksanakan bukan lantaran pemerintah tunduk kepada tekanan oligarki, tapi karena industri ini menghasilkan pajak yang sangat besar bagi negara dan mempekerjakan jutaan orang. Pemerintah AS lebih memilih solusi melalui UU kepemilikan senpi yang lbh ketat sambil meningkatan anggaran keamanan.
Industri ini bisa dibandingkan dengan industri rokok di Indonesia. Kendati ada tekanan agar industri rokok di negeri ini ditutup, pemerintah tak serta merta dapat melakukannya karena industri itu menghasilkan pajak yang besar dan mempekerjakan jutaan org miskin, serta memberi nafkah pada petani tembakau dan cengkih.
Bagaimanapun, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan peran oligarki dalam politik, melainkan tawaran untuk bersikap realistis dan bahwa kepentingan oligarki tak selamanya bersifat dikotomis dengan kepentingan negara dan masyarakat.
Harapannya, hasil pemberantasan korupsi dapat dialokasikan untuk kebutuhan pemilu sehingga peran oligarki tidak dibutuhkan. Tapi kalai ini belum bisa dilakukan sekarang, capres khususnya harus dapat bernegosiasi dengan oligarki secara tranparan yanh mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Hal ini tidak sulit karena oligarki juga berkepentingan menjaga legitimasi dan populeritas pemerintah yang didukungnya. Permintaan mereka yang eksesif justru bisa menjadi bumerang bagi kepentingan mereka sendiri.
Namun, perlu dicatat bahwa kl Anies bisa membebaskan dirinya dari jeratan oligarki ketika berkontestasi dalam pilgub Jakarta dulu, tentunya ia mampu melakukan lagi dalam pilpres mendatang.
Pasalnya, ia punya integritas dan komitnen pada kepentingan rakyat. Untuk itu ia menolak tekanan pemerintahan Jokowi dan suap ratusan miliar rupiah dari oligarki. Dus, asumsi bahwa sistem yang berlaku sekarang tidak mungkin melahirkan presiden yang bebas dari perangkap oligarki tidak cukup beralasan.
Sebaliknya, bila kembali ke UUD 45 asli justru membuka peluang lebih besar pada peran oligarki. Dan tidak juga menjamin GBHN yang disusun MPR bebas dari campur tangan oligarki dan melahirkan pemerintahan yang demokratis dan akuntabel.
Sebaliknya, presiden sebagai mandataris MPR akan menjadi kendala bagi lahirnya pemimpin yang visioner dan berpikir out of the box seperti Anies. Akhirnya, bangsa ini selamanya hanya melahirkan pemerintahan yang tdk efektif dan korup.
Tangsel, 30 Maret 2023
Komentar