OPINI

Beragama Untuk “Diri Sendiri) (part 10)

Anwar Husen,S.Pd,M.Si kolomnis tetap.

Jum’at Mubarak : salah satu kebiasaan baik dan sangat di anjurkan dalam komunitas masyarakat di jazirah Arabiah adalah menyedekahkan makanan terbaik yang di punyai.Terlebih,bagi mereka yang merasa berkelebihan.

Hampir setiap waktu,pemandangan menyedekahkan makanan adalah hal biasa : di keseharian,di ramadhan,di momentum haji dan umroh dan di perhelatan besar lainnya,hal yang kerap menonjol terlihat.iya,bahwa mereka memang terlihat berkelebihan,tetapi menyedekahkannya dalam bentuk makanan adalah pilihan yang paling di sukai di antara pilihan menebarkan aroma kebiasaan baik untuk para tamu yang datang.

Di masyarakat kita mulai menggejala kebiasaan memberi makan di masjid di waktu jum’at.alangkah indahnya jika kebiasaan baik ini juga di alami oleh masjid-masjid di sekitar kita yang jama’ahnya terlihat berkekurangan.

Ada salah satu dari sirah nabawiah yang sengaja saya kutip di sini : ketika di beri hadiah makanan,Nabi biasanya mengajak para sahabat untuk makan bersama.terkadang,meski berkekurangan,kaum fakir sering berbagi makanan yang mungkin satu-satunya yang di punyai dengan harapan Nabi bergembira dan senang menikmatinya.

Tetapi tidak untuk kali itu,ketika beliau menerima semangkuk anggur dari seorang miskin.beliau menikmatinya dengan lahap,perasaan senang dan senyum bahagia di depan si miskin itu yang menyaksikannya.

Para sahabat keheranan karena tidak biasanya Nabi berlaku seperti itu,tidak menawarkan sedikitpun hadiah tadi buat para sahabat.

Sepeninggal yang memberi makanan tadi,Nabi di tanya para sahabat karena heran dengan prilakunya yang tidak biasa.

Beliau pun menjawab : ketika memakan semangkuk anggur tadi,ada rasa masam yang hebat tetapi Aku tersenyum bahagia dan menampakan rasa senang bisa menikmatinya dengan lahap untuk menyenangkan hati si miskin itu,karena mungkin itu makanan satu-satunya yang ingin di bagi denganku.

Aku khawatir jika membaginya,kalian tak mampu menyembunyikan ekspresi rasa masam itu dan mengganggu niat dan kegembiraan si miskin tadi karena itu bukan harapannya.subhanallah.

Di kisah lain,seorang karib di Tidore bertutur bahwa kakeknya.dia harus membungkuk menyembunyikan diri di semak belukar ketika mendapati tetangganya sedang mengambil,kalau tak bisa di sebut mencuri,hasil kebunnya.dia melakukan itu hanya untuk “memelihara” perasaan orang tadi dari rasa malu karena mereka bertetangga.subhanallah.

Dua kisah dengan dua pelajaran moral yang luar biasa,paling tinggi dan nyaris tiada tara : menahan “derita” hanya untuk menyenangkan dan memelihara perasaan orang lain.yang satunya di lakukan Nabi sedangkan yang satunya lagi meniru pesan Nabi.

Pelajaran moral dari perjalanan sirah Nabi begitu banyak dan paralel dengan seluruh kisah hidup beliau yang memang di nisbatkan sebagai suri tauladan.

Dalam teori ilmu hukum,hukum itu ada karena ada manusia.Hukum adalah seperangkat aturan yang mengatur dan memaksa dalam bentuk sanksi bagi subjek pelakunya yaitu manusia untuk menjaga harmoni dan keteraturan sosial.Tetapi dalam Islam,harmoni dan keteraturan sosial dalam konsep hidup bermasyarakat di atur lebih dari sekedar soal urusan sebab-akibat,soal urusan sanksi.Menjaga “rasa” saja,itu sudah bernilai “hukum”.

Kita di kenai kewajiban menyedekahkan sebagian menu buat tetangga ketika semerbak aroma masakan itu menyebar dan tercium oleh mereka.di pesan yang lain,kita yang kenyang dan tertidur pulas di kenai akibat hukum tertentu ketika ada tetangga yang tidak bisa tertidur karena berkekurangan dan menahan derita kelaparan.

Kita mahfum bahwa Nabi adalah sosok tauladan yang jadi rujukan kita bahkan menjadi rahmat bagi sekalian alam.karena itu,menirunya adalah menelusuri perjalanan sirah,kebiasaan dan kisah hidupnya.ini prilaku keberagamaan yang sudah final.Kuta tidak bisa mengadopsi praktek dan prilaku beragama yang terpelihara dari kebiasaan masyarakat sebelumnya yang belum tentu menjadi kebiasaan yang di anjurkan.

Ada prilaku keberagamaan tertentu dari sebagian kita yang mungkin perlu di “koreksi” bersama yakni pemahaman dan prilaku beragama yang menjadikan ibadah ritual yang implikasinya “personal” sebagai satu-satunya kewajiban yang “super serius” di tunaikan hingga seolah Surga hanya milik kita dengan melupakan tanggungjawab sosial.

Bahkan kadang kita terkesan “sombong” di depan orang lain karena merasa paling baik dan alim.kita mungkin lupa bahwa ibadah ritual sebagai “media” komunikasi dengan Tuhan itu berada di level Ruh.

Di level Dhohir itu berbeda dimensinya, sehingga “mendekati”Nya harus dengan metodologi komunikasi di level ruh pula.

Ungkapan,masuklah ke dalam Islam itu secara kaffah oleh ahli d hakikat di maknai secara dimensional,dhohi dan bathin.Kadang kita mendapati banyak fakta di depan mata kita bahwa seseorang yang kesehariannya terlihat compang bahkan sulit tampak ibadah ritualnya tetapi seolah dia tahu kapan “waktu”nya.Ini pesan bahwa ibadah ritual itu berada di “wilayah” hakikat setiap kita,jangan ada sikap takabur dan merasa paling hebat.

Yang tampak kemudian dari prilaku begini adalah pemahaman bahwa soal ada tetangga kita yang berkekurangan menyiasati hidupnya,soal bahwa ada anak yatim dan kaum fakir yang nyaris tak bisa bersekolah karena kekurangan bahkan ketiadaan biaya,soal bahwa ada janda di tiris rumah kita yang berjuang keras dengan segala cara untuk menghidupi buah hatinya sepeninggal sang suami dan lain-lain,itu adalah urusan mereka.cukup bagaimana kita bisa bekerja mencari nafkah di siang hari,
melaksanakan semua ritual wajib agama bahkan semua yang hukumnya sunah-sunah dan kemudian menutup semua pintu rumah dan beristirahat cukup.padahal prinsip keseimbangan dalam kehidupan adalah syarat keteraturan sosial yang banyak di pesankan oleh agama.

Hal yang paling berbahaya dan berpotensi membuat sesat adalah pada orang yang awam atau bukan di anggap ahli karena tingkatan pengetahuan dan pemahaman hakikatnya yang belum cukup serta cenderung punya referensi hanya pada praktek dan prilaku keberagamaan yang terpelihara dari kebiasaan masyarakat sebelumnya yang di terima secara taken for granted,tetapi mencoba mengidentifikasi diri sebagai orang hebat yang paham bahkan ahlinya dan memaksakannya menjadi rujukan banyak orang dalam kehidupan sosial.

Tipikal seperti ini yang paling potensial menyebar “kesesatan” berjamaah apalagi di komunitas yang sama-sama awam dan mungkin kurang berpengetahuan,karena “berpura-pura” mengidentifikasi diri sebagai orang alim dengan berbekal produk jasa tukang jahit berbentuk “jubah kabasaran” adalah fakta prilaku keberagamaan kita yang nyaris terlihat menggejala.Apalagi di era ini,ketika sebuah kebajikan kecil dan bernilai sangat “pribadi” bisa di unggah di media sosial dan di lihat banyak orang.saya pernah guyon ke teman : jauh lebih baik kita mengunggah momentum kita menyantuni kaum fakir di media sosial,meski mungkin kadar ri’ya nya berjalan berbarengan dengan pesan motivasi bagi orang lain tapi tak apa lah,karena ada nilai manfaatnya buat kaum fakir,dari pada kita mengunggah aktifitas kita sedang serius melaksanakan ibadah ritual kita di rumah-rumah ibadah bahkan dengan embel-embel mengajak orang lain untuk menghormatinya.

Kita memang hidup di jaman di mana belas kasih untuk menyantuni sesama seringkali bukan lagi bernilai prilaku yang di anjurkan dalam perintah agama tetapi lebih pada tabiat yang perlu di tampakan sekedar memberi gambaran diri seolah dermawan dan berpura-pura menutupi esensinya bahwa kita memang doyan beragama hanya untuk diri sendiri.wallahua’lam.!

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *