Pekan ini,pekan yang “sibuk”.Biasa,membersihkan rumah ala kadar jelang Ramadhan,ziarah kubur,memenuhi sejumlah undangan hajatan hingga melayat dan berbagi empati dengan keluarga yang berduka.Tapi justru karena hal-hal inilah,muncul inspirasi yang jadi materi tulisan.Ada dua hal yang ingin saya tulis.Ini salah satunya.
Sering di sapa Diman,saya tak menyebut nama aslinya.Dia ipar saya,menikah dengan sepupu saya dari garis ibu.Berusia kisaran 30-an,Diman ini asli Morotai.Di tidore,dia hidup bersama keluarganya,isteri dan satu anak perempuan berusia belia di sebuah rumah sangat sederhana “sekali”,RSSS,istilah teman saya,di kelurahan Tambula,Tidore.Pekerjaannya “driver” Bentor,kendaraan roda dua yang di modifikasi dan di gunakan untuk angkutan penumpang.
Saya iseng menanyakan pendapatannya perhari jika waktunya “ngebentor” sejak pagi hingga sore hari.Dia tak menjawab pasti,tapi dari rautnya terkesan tak sesuai ekspektasi.Dia hanya menyebut setorannya buat majikan 50 ribu rupiah perhari,senbari memberi isyarat bahwa selisihnya cukup untuk makan meski pendapatannya tak sebesar dulu lagi.Diman terbilang telah cukup dalam hitungan tahun punya profesi ini.
Komentar