OPINI

ISU ISRAEL DI TENGAH KEBANGKRUTAN REZIM JOKOWI

Smith Alhadar Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Di tengah eskalasi kekerasan Israel-Palestina, rezim Jokowi nekat melawan resistensi publik terhadap rencana kedatangan timnas sepakbola Israel di Piala Dunia U-20 yang akan berlangsung di Indonesia pada 20 Mei-11 Juni mendatang.

Ketua PSSI Erick Thohir menegaskan, pemerintah menjamin keamanan timnas Israel. Menko Polhukam Mahfud MD juga mengatakan tak masalah dengan kedatangan timnas negara Zionis itu. Kata Mahfud, pemerintah telah membahas dan menyiapkan semua jalur: politik, diplomatik, keamanan, dsb.

Tapi alasan bahwa politik tak boleh mencampuri urusan olahraga tak dapat dijadikan argumen. Toh, sepanjang sejarah olahraga modern, politik selalu berkelindan dengan olahraga. Dan hampir semua negara pernah memboikot negara tuan rumah.

Misalnya, pada Olimpiade Moskow 1980, AS memimpin boikot internasional atas even sport itu sebagai protes terhadap invasi Uni Soviet ke Aghanistan (1979). Empat tahun kemudian, Uni Soviet dan negara satelitnya balas memboikot Olimpiade Los Angeles, AS.

Yang terbaru adalah tindakan FIFA mencoret timnas sepakbola Rusia untuk berpartisipasi dalam Piala Dunia Qatar tahun lalu sebagai protes atas invasi Rusia ke Ukraina.

Indonesia juga pernah melakukan hal yang sama terkait kontingen Israel. Presiden Soekarno menolak partisipasi kontingen Israel dalam Asian Games di Jakarta pada 1962.

Penolakan ini didasarkan pada amanat konstitusi 1945 bahwa “kemerdekaan adalah hak setiap bangsa dan penjajahan di atas bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Amanat konstitusi inilah yang membuat hingga hari ini Indonesia menolak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 2015, Presiden Jokowi menyatakan pada negara-negara tamu bahwa kita harus terus berjuang bagi kemerdekaan Palestina.

Katanya, dunia masih berutang pada Palestina. Jokowi bahkan mengajak boikot terhadap produk Israel. Memang Palestina merupakan satu-satunya bangsa yang belum juga merdeka pasca Perang Dunia II ketika dekolonialisasi berlangsung di seluruh penjuru dunia.

Konsistensi pemerintah Indonesia mendukung kehadiran timnas Israel akan membuat gelombang penolakan publik membesar. Sebenarnya, penyelenggaraan Piala Dunia U-20 merupakan penghormatan sebagai bentuk kepercayaan FIFA terhadap kemampuan Indonesia menyelenggarakan pesta besar olahraga itu.

Suksesnya penyelenggaraan dipandang akan mendatangkan keuntungan politik dalam hubungan internasional di mana citra Indonesia sebagai negara berkembang diharapkan meningkat. Ini juga dapat menjadi modal bagi ambisi Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia pada waktu mendatang.

Rezim Jokowi mungkin melihat penolakan terhadap timnas Israel berpotensi menjadi isu internasional yang merugikan Indonesia. Tapi pandangan ini tidak beralasan mengingat Israel tak mau bermasalah dengan Indonesia, negara Muslim terbesar yang sudah lama diincar Israel, terutama setelah mediator pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump pada 2020 berhasil mendamaikan empat negara Arab (Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko) dengan Israel.

Sejak itu Israel, dengan bantuan AS, terus berusaha memperluas cakupan Perjanjian Ibrahim (Abraham Accord) itu dengan sebanyak mungkin negara Islam, khususnya Indonesia. Tahun lalu, misalnya, dalam kunjungannya ke Jakarta, Menlu AS Antony Blinken membujuk rezim Jokowi berdamai dengan Israel dengan imbalan bantuan ekonomi. Apakah membuka pintu bagi timnas Israel bukan merupakan test the water sebagai langkah awal membuka hubungan diplomatik dengan Israel? Bisa saja.

Tetapi penolakan akan mengirim pesan moral yang kuat kepada Israel dan dunia bahwa Indonesia tidak akan toleran kepada penjajah dan konsisten mendukung Palestina. Juga untuk memelihara hubungan baik dengan bangsa Arab. Hal-hal ini jauh lebih penting ketimbang hasrat mendapatkan citra moderat dan dukungan AS serta UE atas pesta sepakbola ini.

Resistensi publik Indonesia sendiri punya alasan yang sahih. Pertama, dari sisi sejarah olahraga dunia, boikot-memboikot negara penyelenggara — sebagai hukuman atas pelanggaran hukum internasional — adalah hal biasa. Artinya, tak ada resiko internasional bila Indonesia menolak partisipasi Israel.

Kedua, dari sisi politik. Amanat konstitusi memang tak membenarkan penjajahan dalam bentuk apapun. Faktanya, Palestina masih di bawah penjajahan Israel yang telah berusia 75 tahun. Dan harus pula memikul beban politik apartheid Israel atas mereka.

Dan kendati Israel telah menandatangi Kesepkatan Oslo dengan Palestina (1993), kesepakatan berdasarkan prinsip pertukaran tanah dengan perdamaian, pemerintahan garis keras Israel menolak mengimplementasi kesepakatan itu.

Bahkan, Israel terus saja merampas tanah Palestina di Yerusalem Timur dan Tepi Barat. Semua sikap dan tindakan Israel itu bertentangan dengan Resolusi DK PBB No 242, 338, dan 181, yang menyerukan Israel mundur dari kedua wilayah yang diduduki sejak 1967.

Perampasan tanah Palestina untuk dibangun pemukiman Yahudi bertujuan menciptakan realitas baru di lapangan, yang berpotensi menguburkan cita-cita Palestina mendirikan negara berdaulat dengan wilayah Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur, tempat bercokolnya Masjid al-Aqsa.

Dengan gencarnya pembangunan ilegal di Yerusalem Timur dan Tepi Barat, dalam waktu dekat ide tentang negara Palestina menjadi tidak realistis. Saat ini sudah ada 700 ribu warga Yahudi hidup di tengah 2,5 juta populasi Palestina di dua wilayah pendudukan itu.

Kalau tidak dicegah, dalam waktu tak lama lagi, jumlah populasi Yahudi akan melampaui jumlah warga Palestina. Seiring dengan itu, yahudiisasi Yerusalem Timur terus dilakukan, termasuk upaya nencaplok kompleks Masjid al-Aqsa.

Ketiga, masalah moral. Palestina merupakan salah satu bangsa yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia. Tapi bangsa ini belum merdeka. Bahkan, sudah lebih dari setahun terakhir pembunuhan Israel atas warga Palestina terjadi nyaris setiap hari. Terlebih, dalam hampir tiga bulan terakhir ketika pemerintahan ekstrem kanan berkuasa di Israel.

Keikutsertaan timnas Israel dalam Piala Dunia U-20 dilihat sebagai “pengakuan” Indonesia atas eksistensi Israel. Ini ditakutkan menjadi awal kontak resmi secara terbuka antara Indonesia dan Israel.

Kalau sudah ada preseden penerimaan Indonesia atas sebuah entitas Israel, maka tak ada lagi alasan rezim Jokowi untuk menolak kontak-kontak lain yang akan menyusul. Hal ini sudah lama diimpikan Israel.

Sejak empat negara Arab menandatangi Kesepakatan Ibrahim (Abraham Accord) dengan Israel pada 2020, Israel berambisi meluaskan Kesepakatan Ibrahim dengan negara Muslim lainnya, terutama Indonesia.

Perdamaian Indonesia-Israel akan berdampak luas. Yaitu, resistensi negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok dan Organisasi Kerja Sama Islam terhadap Israel akan melemah. Bahkan, sebagian sangat mungkin akan mengikuti langkah Indonesia.

Pada gilirannya, tekanan atas Israel untuk memerdekakan Palestina juga akan mengendor, sehingga diharapkan upaya Israel menjatuhkan moril Palestina dalam perjuangan kemerdekaan akan rontok. Ini juga yang jadi salah satu alasan utama publik Indonesia menentang kehadiran timnas Israel.

Resistensi publik yang terus membesar membawa rezim Jokowi pada situasi dilematis. Menolak timnas Israel mungkin saja berdampak ekonomi dan politik. Secara ekonomi, hubungan dagang Indonesia-Israel — yang telah terjalin secara resmi sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid — mungkin terganggu.

Volume dagang Indonesia-Israel sebelum pandemi covid-19 sekitar 100 juta dollar AS. Tapi kemungkinan ini kecil karena Israel tak akan mengakhiri hubungan dagang ini. Selain tak dapat dijadikan kartu tawar, pemutusan hubungan ekonomi kedua negara tak berdampak signifikan bagi Indonesia. Sebaliknya, yang rugi besar justru Israel.

Secara politik, bisa saja Indonesia dikecam aktivis, LSM, dan institusi-institusi pro-Yahudi di AS dan Eropa. Qatar sudah mengalami itu ketika entitas-entitas tersebut menekan FIFA agar membatalkan penyelenggaraan Piala Dunia di Qatar terkait pelanggaran HAM di negara itu.

Walakin, bila rezim Jokowi membuka pintu bagi timnas Israel, maka klaim konsistensi pemerintah membela Palestina dipertanyakan. Lalu, tekanan politik publik atas rezim akan semakin jauh menggerus legitimasi pemerintah di tengah kemarahan rakyat terhadap skandal mega korupsi di kementerian keuangan, yang berakumulasi dengan sederet masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi rakyat akibat kenaikan harga-harga bahan pokok.

Ini akan menyempitkan ruang manuver rezim terkait pilpres. Artinya, upaya memperpanjang masa jabatan presiden semakin tidak mungkin. Bahkan, berpotensi menimbulkan gejolak politik yang mendestabilisasi negara.

Tetapi melihat ngototnya pemerintah menyertakan timnas Israel dalam even olahraga itu, saya khawatir ini merupakan upaya sengaja rezim memprovokasi rakyat untuk berbuat kekacauan atau vandalisme, sehingga dapat dijadikan alasan untuk menunda pemilu.

Rezim yang panik atas kemungkinan bakal capres Anies Baswedan memenangkan pilpres di satu pihak, dan syahwat kekuasaan rezim untuk berkuasa lebih lama di pihak lain, dapat mendorongnya mengambil tindakan nekat meskipun itu bisa berakibat keos nasional. Dus, kita harus cermati perilaku rezim dari sekarang terkait isu ini.

Tangsel, 19 Maret 2023 !

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *