Sejak itu Israel, dengan bantuan AS, terus berusaha memperluas cakupan Perjanjian Ibrahim (Abraham Accord) itu dengan sebanyak mungkin negara Islam, khususnya Indonesia. Tahun lalu, misalnya, dalam kunjungannya ke Jakarta, Menlu AS Antony Blinken membujuk rezim Jokowi berdamai dengan Israel dengan imbalan bantuan ekonomi. Apakah membuka pintu bagi timnas Israel bukan merupakan test the water sebagai langkah awal membuka hubungan diplomatik dengan Israel? Bisa saja.
Tetapi penolakan akan mengirim pesan moral yang kuat kepada Israel dan dunia bahwa Indonesia tidak akan toleran kepada penjajah dan konsisten mendukung Palestina. Juga untuk memelihara hubungan baik dengan bangsa Arab. Hal-hal ini jauh lebih penting ketimbang hasrat mendapatkan citra moderat dan dukungan AS serta UE atas pesta sepakbola ini.
Resistensi publik Indonesia sendiri punya alasan yang sahih. Pertama, dari sisi sejarah olahraga dunia, boikot-memboikot negara penyelenggara — sebagai hukuman atas pelanggaran hukum internasional — adalah hal biasa. Artinya, tak ada resiko internasional bila Indonesia menolak partisipasi Israel.
Kedua, dari sisi politik. Amanat konstitusi memang tak membenarkan penjajahan dalam bentuk apapun. Faktanya, Palestina masih di bawah penjajahan Israel yang telah berusia 75 tahun. Dan harus pula memikul beban politik apartheid Israel atas mereka.
Dan kendati Israel telah menandatangi Kesepkatan Oslo dengan Palestina (1993), kesepakatan berdasarkan prinsip pertukaran tanah dengan perdamaian, pemerintahan garis keras Israel menolak mengimplementasi kesepakatan itu.
Bahkan, Israel terus saja merampas tanah Palestina di Yerusalem Timur dan Tepi Barat. Semua sikap dan tindakan Israel itu bertentangan dengan Resolusi DK PBB No 242, 338, dan 181, yang menyerukan Israel mundur dari kedua wilayah yang diduduki sejak 1967.
Perampasan tanah Palestina untuk dibangun pemukiman Yahudi bertujuan menciptakan realitas baru di lapangan, yang berpotensi menguburkan cita-cita Palestina mendirikan negara berdaulat dengan wilayah Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur, tempat bercokolnya Masjid al-Aqsa.
Dengan gencarnya pembangunan ilegal di Yerusalem Timur dan Tepi Barat, dalam waktu dekat ide tentang negara Palestina menjadi tidak realistis. Saat ini sudah ada 700 ribu warga Yahudi hidup di tengah 2,5 juta populasi Palestina di dua wilayah pendudukan itu.
Kalau tidak dicegah, dalam waktu tak lama lagi, jumlah populasi Yahudi akan melampaui jumlah warga Palestina. Seiring dengan itu, yahudiisasi Yerusalem Timur terus dilakukan, termasuk upaya nencaplok kompleks Masjid al-Aqsa.
Ketiga, masalah moral. Palestina merupakan salah satu bangsa yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia. Tapi bangsa ini belum merdeka. Bahkan, sudah lebih dari setahun terakhir pembunuhan Israel atas warga Palestina terjadi nyaris setiap hari. Terlebih, dalam hampir tiga bulan terakhir ketika pemerintahan ekstrem kanan berkuasa di Israel.
Keikutsertaan timnas Israel dalam Piala Dunia U-20 dilihat sebagai “pengakuan” Indonesia atas eksistensi Israel. Ini ditakutkan menjadi awal kontak resmi secara terbuka antara Indonesia dan Israel.
Kalau sudah ada preseden penerimaan Indonesia atas sebuah entitas Israel, maka tak ada lagi alasan rezim Jokowi untuk menolak kontak-kontak lain yang akan menyusul. Hal ini sudah lama diimpikan Israel.
Komentar