Maka, menghapus kejahilan, menegakkan keadilan, memulihkan kemanusiaan, dan membangun peradaban baru adalah roh perjuangan kemerdekaan. Republik ini memang dilahirkan oleh keringat, moralitas, dan ilmu pengetahuan. Juga cita-cita mengangkat martabat bangsa yang selama ratusan tahun diposisikan sebagai bangsa yang kalah.
Tapi hari ini, optimisme menjadi bangsa hebat kehilangan moralitas dan rasionalitasnya. Barbarisme gaya baru sedang menggerogoti pilar-pilar bangsa. Kejahatan yang berpusat pada pemimpin jahil yang, karena kecelakaan sejarah, mendapat mandat untuk melanjutkan estafet kepemimpinan nasional.
Musibah dimulai pada 2014 ketika Jokowi, tukang mebel dari Solo yang tak suka membaca buku, dilantik menjadi presiden untuk bangsa besar yang sangat dinamis. Kemenangannya bukan karena visi atau kapasitasnya, melainkan hasil gotong royong berbagai kekuatan dengan kepentingan masing-masing.
Rendahnya mutu pemimpin justru menjadi kelebihannya karena oligarki ekonomi dan politik bersedia membiayai capres yang nanti akan mereka manfaatkan. Mungkin Jokowi tahu persis kapasitasnya hanya cukup menjadi walikota Solo. Sadar juga ada banyak kepentingan yang culas di belakangnya. Tapi obsesi menjadi presiden tak mampu ia tundukan sebagai sikap tahu diri.
Kebetulan momentum menjadi manusia paling “agung” di negeri ini tersedia untuknya secara cuma-cuma. Ia hanya perlu duduk manis, selebihnya akan dikerjakan para predator ekonomi berbagai jenis. Mereka lalu menyusun siasat curang untuk mengubah total citra Jokowi. Mengandalkan “prestasinya” di kota kecil Solo tentu saja tidak bisa dijual sebagai bobot capres.
Maka disebarkan secara besar-besaran bahwa sarjana kehutanan itu membikin mobil nasional Esemka. Sarjana kehutanan berubah menjadi insinyur teknik mesin! Penipuan ini sebenarnya mudah dibongkar media, tapi mereka punya komitmen menyingkirkan pesaingnya, Prabowo Subianto (menantu tokoh Orde Baru Soeharto) yang diberitakan punya rekam jejak yang suram.
Kegiatan blusukan Jokowi yang rutin sejak pagi sekali ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta dijual sebagai sebagai model kepemimpinan baru yang inovatif dan kreatif. Amboi! Padahal, kegiatan turun ke lapangan sebenarnya harus dicurigai sebagai upaya pencitraan. Dan tanpa ia sadari sebenarnya lebih mencerminkan bakatnya sebagai tukang, bukan negarawan.
Harus diakui Jokowi memang rajin. Ia tak sanggup duduk lama-lama di kantor untuk berpikir, membaca berita, bertukar pikiran dengan pakar tatakota, memahami masalah sosial kaum urban, lingkungan, dan mendesain pembangunan dengan mempertimbangkan semua aspek yang relevan.
Jargon “Jokowi adalah Kita” adalah branding yang dijual selama kampanye pilpres untuk menegaskan ia adalah tokoh berjiwa kerakyatan dan sederhana. Dengan kata lain, dialah pemimpin otentik rakyat. Slogan itu menarik hati rakyat karena sejak merdeka, presiden Indonesia selalu datang dari kalangan elite yang duduk di menara gading.
Rakyat ingin punya presiden yang datang dari kalangan mereka sendiri. “Jokowi adalah Kita” didukung fakta lahiriah Jokowi. Perawakannya memang perawakan rakyat, yang dikuatkan dengan busana sederhana yang dikenakannya.
“Revolusi Mental”, jargon lain yang dijual Jokowi, juga menarik perhatian publik di tengah frustrasi mereka melihat kian kokohnya budaya korupsi di kalangan birokrat dan pejabat, yang sudah sangat lama menjadi keprihatinan rakyat.
Akhirnya, Jokowi berhasil mengalahkan Prabowo yang pandai tapi “lugu” dalam politik — yang dulu dia berjanji untuk tidak akan menominasikan dirinya sebagai capres sebagai balas budinya kepada Prabowo yang sangat berjasa dalam menjadikannya gubernur DKI.
Komentar