Setelah hasil pilpres 2014 diumumkan, massa besar rakyat di seluruh Nusantara bergembira ria atas kemenangan “moralitas” dan “kesederhanaan”. Tapi, tak lama, orang-orang pandai mulai menyadari kekurangan fundamental pada presiden ini: moralitas dan kapasitas.
Walakin, suara gemuruh mereka di media sosial untuk membangunkan rakyat berlalu sia-sia. Bahkan, ketika Jokowi tak memenuhi satu pun dari 60 janji yang dilontarkan selama kampanye. Rakyat terlanjur kesemsem pada “kesederhanaannya” yang diasosiasikan dengan kejujuran, keikhlasan, dan kepolosan. Jargon “Jokowi adalah Kita” telah terpatri dalam benak dan sanubari pendukungnya. Bahkan, sempat mengecoh para akademisi dan cendekiawan hingga hari ini.
Fakta ini menyulitkan para pengamat kritis untuk mengoreksi anomali-anomali yang muncul dari dalam diri Jokowi dan pemerintahannya. Ini membuat langkah pemerintah makin kebablasan. Apalagi, parlemen dikuasai parpol koalisi pendukung pemerintah yang hanya menjadi tukang stempel pemerintah.
Anomaki-anomali tersebut mencakup perilaku Jokowi yang tidak presidensial, terkesan kurang jujur, dan cenderung menyalahkan bawahannya bila kebijakan mereka dikritik rakyat. Singkatnya, semua itu menimbulkan pertanyaan terhadap integritas Jokowi. “Revolus Mental” — yang dia maksudkan sebagai sikap jujur, hidup sederhana, dan kerja keras — ternyata hanya pepesan kosong. Ekonom Rizal Ramli menyatakan Jokowi adalah presiden paling boros karena seringnya ia bepergian walaupun hanya bertemu dengan 50 orang. Maksudnya, blusukannya tidak produktif dan hanya menghabiskan anggaran negara secara sia-sia.
Bagaimanapun, dengan semua yang telah dipaparkan di atas — ditambah kebijakan-kebijakan kontroversialnya — tidak berdampak merugikan pemerintahannya. Dengan demikian, ke depan KKN dan kebijakan yang berpotensi merusak tatanan demokratis dan sendi-sendi bernegara masih akan terjadi.
Yang mengerikan, pemerintah tetap percaya diri bahwa semua yang dilakukan telah membuah hasil gilang-gemilang. Karena itu, Luhut menyatakan bodoh-goblok pengganti Jokowi yang tidak meneruskan rancang bangun pembangunan pemerintahannya. Ia tak peduli bahwa di bawah pemerintahan Jokowi, kemiskinan dan pengangguran meluas, jurang kaya-miskin melebar, utang negara semakin menakutkan, dan mubazirnya banyak proyek infrastruktur yang boros.
Dengan sikap jumawa bahwa kebijakan pemerintah sudah tepat dalam konteks kepentingan jangka panjang Indonesia, pemerintah merasa punya justifikasi moril untuk memperpanjang masa jabatan presiden dengan berbagai cara. Padahal, kalau ambisi ini terwujud atau presiden terpilih nanti adalah pelanjut ideologi dan skema pembangunan Jokowi, maka negara ini akan kian amburadul.
Tak banyak pilihan yang tersedia untuk menyelamatkan negara dari kerusakan lebih jauh, kecuali bergantinya pemerintahan. Tapi ini belum cukup kalau pengganti Jokowi adalah pendukung status quo.
Kita memerlukan pemimpin otentik yang visioner, yang berpikir out of the box. Berdasarkan pertimbangan objektif, rekam jejak ketika memimpin Jakarta, kapasitas moral dan intelektual, berkomitmen pada nilai-nilai Republik — di antaranya, menegakkan keadilan sosial dan membasmi KKN — hanya bakal capres Anies Baswedan yang memenuhi persyaratan ini.
Ya, hanya Anies yang dapat kita andalkan untuk menyembuhkan luka-luka Ibu Pertiwi. Bahkan, dapat diharapkan membawa kejayaan bangsa di tengah dinamika geopolitik dan geoekonomi global yang sangat dinamis. Memilih bakal capres lain berpotensi menciptakan kecelakaan sejarah untuk ketiga kalinya.
Tabgsel, 12 Maret 2023 !
Komentar