OPINI

Pilihan tempat berbelanja : belajar dari “kasus” Adjinomoto [Part.12].

Anwar Husen,S.Pd,M.Si. Kolomnis Tetap

Terkadang,kita memang perlu untuk belajar peka dan sensitif pada hal-hal kecil yang mungkin terlintas begitu saja bagai angin lalu,tanpa membekas.

Suatu ketika saya menemani sang isteri tercinta untuk berbelanja kebutuhan bulanan rumah tangga di kompleks pasar Sarimalaha,tidore.tentu kebutuhan yang relatif tidak di sediakan di warung tetangga baik jenis ataupun jumlahnya.

Pilihan kebutuhan rumah tangga yang mau di beli,tersedia di beberapa mini market.isteri saya memilih berbelanja ke toko tertentu di seberang yang sudah sering jadi “langganan”nya.pemiliknya bukan orang kampung kami,maksudnya kampung asal orang tua kami bahkan tempat kelahiran dan sebagian masa kecil kami di habiskan dan bukan juga tetangga kami saat ini.

Saya menawarkan pilihan tempat lain dengan memberi argumen bahwa kita bisa berbelanja di mana saja karena itu hak kita.siapapun tidak bisa memaksakan itu.tetapi jika di minta memilih,sebaiknya sesekali kita perlu berbelanja di tempatnya warga kampung asal kita,kalau bukan keluarga ataupun tetangga kita,misalnya.

Saya memberi alasannya sederhana dan sedikit logis,maklum saja,isteri-isteri kita kadangkala lebih emosional jika itu berkaitan dengan urusan berbelanja :
pertama,selisih harga lebihnya, mungkin hanya seberapa,kalaupun itu ada.kedua,sebagai manusia yang punya rasa,kita nantinya kurang enak rasa jika berbelanja di tempat lain dan kebetulan bertemu mereka ataupun keluarganya di tempat itu.ketiga,kita memiliki peluang bertemu paling besar dengan mereka di manapun,bersenda gurau,saling menanyakan kabar tentang keluarga,apalagi itu di kampung.keempat,dan yang paling minimal manfaat ikutan ekonomi yang kita dapat ketika berbelanja pada mereka adalah bahwa sangat mungkin bagian terbesar zakat perniagaannya di keluarkan di kampung kita dalam bentuk apa saja.itu bisa saja uang zakat,infaq dan sadaqah atau pun dalam bentuk hewan qurban dan lain-lain.dan yang akan menikmati semua itu adalah masyarakat di kampung asal kita termasuk di dalamnya keluarga kita.

Inspirasi lain datang dari informasi sebuah WAG komunitas kampung yang saya adalah salah satu anggotanya : salah seorang anggota WAG yang juga bisa di bilang “sukses” dalam urusan bisnis dan perniagaan,memberi sumbangan pakaian seragam sekolah untuk semua siswa sebuah madrasah tingkat pertama di kampung sebelah tempat mayoritas anak-anak di kampung asal kami,bersekolah.

Memang menjadi gejala bahwa di Ramadhan,Idul fitri,Idul adha bahkan di momentum tertentu,orang yang “berkelebihan” di sini,cenderung memilih menyalurkan sebagian dari zakat,infaq dan sadaqahnya di kampung asal orang tuanya apalagi sekalian tempat lahirnya dan mayoritas keluarganya berdomisili.

Sedangkan untuk urusan warung-warung di tetangga,kita mungkin pernah mendengar ada seruan bahkan inisiasi gerakan “Berbelanja di Warung Tetangga”.logikanya hampir mirip : warung tetangga adalah tempat yang paling dekat dan bahkan jadi tempat paling sering menolong di saat-saat “kritis” ketika melakukan sesuatu aktifitas di dapur yang tak bisa di tunda karena “beresiko”.hal paling kecil yang kita amati dan sering di alami isteri-isteri kita atau pun mungkin ibu-ibu kita dahulu,saat kita masih di masa kanak-kanak.saat sedang memasak menyediakan menu keluarga,tiba-tiba teringat ada kebutuhan bahan yang lupa di beli.padahal itu urgen dan bahkan paling “menentukan”.entah mungkin itu penyedap rasa Adjinomoto,Vetsin ataupun yang lainnya.di saat kritis begini,warung tetangga selalu “tampil terdepan” memberi solusi.dan itu cukup di suruh ambil saja segera dan bayarnya nanti.kita bisa membayangkan jika tetangga kita memberi syarat “bayar kontan” dan di saat sama, dompet ataupun tempat menyimpan uang lainnya,tiba-tiba kita lupa atau tercecer,apa jadinya rasa menu hasil masakan ibu ataupun isteri-isteri kita tadi???tetapi ketika semuanya sudah “aman”,menu nya bisa di cicipi keluarga dengan lahap dan nyaris tak kurang apapun cita-rasanya,tetangga kita tadi cenderung di lupakan “jasa”nya.Adjinomoto dan Vetsin yang lupa di beli tadi,nanti di belikan kembali di tempat lain,di pasar,misalnya.itu baru Adjinomoto dan Vetsin,belum lagi rokok misalnya.kalau di warung tetangga, mungkin pilihannya beli eceran karena terpaksa.yang per bungkusnya nanti di tempat lain karena mengejar selisih harga.gampang sekali kita berpikir.kawan saya berkelakar ketika kami “merefleksikan” tema ini sebelum menjadi tulisan : kalaupun ada survey soal ini,mungkin 99.9 persen warung tetangga kita bangkrut karena hanya jadi prioritas ketika berhutang.ada guyonan,hiroshima hancur karena bom,warung tetangga hancur karena bon.

sebetulnya,di sinilah salah satu urgensi bahwa mendorong ekonomi keluarga dan umat dalam bentuk yang paling sederhana bisa di mulai dari gerakan berbelanja di warung-warung “kecil” tetangga kita.

Di komunitas masyarakat yang relatif homogen di manapun,kondisi ini sering terjadi,berbelanja karena motivasi kedekatan emosional.di masyarakat yang relatif heterogen,pertimbangannya ketika berbelanja ataupun pilihan tempat menyalurkan ZIS mereka,lebih pada pertimbangan rasional-keumatan yang lebih berefek umum.

Tetapi apapun karakteristiknya,mau homogen atau cenderung heterogen,sepanjang di penuhinya syarat bagi yang berhak menerimanya,itu relatif bukan jadi soal.

Kalaupun kita cenderung berpikir bahwa komunitas warga di kampung asal kita ataupun warung tetangga yang perlu di dahulukan pun,kita tidak sedang berpikir “kampungan” tetapi hanya memilih salah satu dari dua pilihan yang manfaatnya paling dekat dengan orang-orang dekat kita,di kampung asal dan di tetangga kita.

Tanpa warung kecil tetangga kita dalam “kasus” di atas,suami-isteri atau bahkan sekalian dengan anak-anak kita bisa saja terjadi “kerusuhan” karena cita-rasa masakan gara-gara Adjinomoto dan Vetsin harus beli kontan.wallahua’lam.

□anwar_husen/22-07-21.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *