Tahu Kadar Diri : Belajar dari almarhum Om Faruk [Part.14].
Anwar Husen,S.Pd,M.Si. kolomnis tetap.
Adalah om Faruk,saya lupa nama lengkapnya.Beliau seorang pensiunan ASN dan sudah almarhum.semoga Allah mengampuni segala salah dan khilafnya.Berdomisili dekat cafe Djoung,sebuah “kedai kopi” di Tidore,tempat mangkalnya banyak kalangan mulai dari aktivis,mahasiswa,wartawan hingga ASN dan pejabat daerah ini.bisa di bilang ini miniatur JAROD Manado.letaknya di jalur strategis dan banyak menu yang di sukai,membuat kedai ini ramai di kunjungi setiap waktu,termasuk almarhum om Faruk tadi.
Saat masih sering mangkal di tempat ini,saya sering mengamati prilaku om Faruk ini ketika mengamati “silang pendapat” atas sebuah tema yang sedang di bicarakan teman-teman.maklum,lumrah jika tempat begini jadi “panggung” banyak orang untuk menunjukan kapasitas dirinya seolah yang paling hebat dan paling mengetahui banyak hal dan merasa paling “intelek” atau bahkan “puber intelektual” di usia senja.
Terhitung beberapa kali saya mengamati rautnya di tengah suasana “baku malawan mati”,sebuatan lain perdebatan alot ini,om Faruk terlihat adem saja.tak ada satu katapun yang meluncur dari mulutnya.memang almarhum tipikal “kalem” dan tak banyak bicara,meski sebagai pensiunan ASN,beliau pasti punya pengetahuan dasar yang cukup tentang banyak hal.beliau diam sembari mengamati anak-anak muda ini “raga gia”,sebutan untuk yang sering mendominasi “perdebatan”.selesai sedikit menyimak,beliau pamit kembali ke rumah dengan mobil kesayangannya,sebuah Rush G berwarna gelap.jika berkesempatan,beliau datang lagi dan nyaris seperti itu prilakunya yang terlihat.
Di tempat berbeda,kami menyebutnya “Teras Aton”,tempat mangkal usai jeda aktifitas malam dari beberapa teman yang nyaris sebaya dari kalangan ASN,wartawan,kontraktor hingga dosen.hanya satu-dua yang sudah “putih rambut”nya,dan yang masih di “bawah umur”.Ini teras kediaman seorang teman yang agak ke belakang kota,relatif nyaman dan jauh dari kebisingan.biasalah,seperti umumnya di tempat lain,ini hanyalah tempat ngopi pengantar tidur sembari menyegarkan ingatan tentang banyak hal.tema ceritanya ringan saja dan yang terlintas.teman saya berkelakar,tema acak.
Tetapi ada hal kontras yang ingin saya tulis di sini.pelajaran dari seorang om Faruk,kadang kontras terlihat.maksudnya,ketika beliau sedang diam,bukan berarti dia tidak paham tentang apa yang di diskusikan atau bahkan di perdebatkan.dia cukup pantas untuk “nimbrung”.tetapi itu tidak di lakukannya.beda lagi dengan fakta lain yang terbalik.meski kita kurang paham terhadap sesuatu hal yang sedang di bicarakan tetapi kita yang paling getol bicara bahkan hingga terkesan menggurui para “tua adat”,sebutan untuk orang yang cukup makan garam soal yang di bahas itu karena usianya,pengetahuannya hingga pengalamannya dan lain-lain.
Suatu ketika,saat sedang membedah tema “berat” seputar suasana bathin yang sedang bergejolak di tubuh sebuah partai politik di Maluku Utara,seorang teman di kelompok “belum cukup umur” dan terhitung relatif muda bergabung di partai ini,bisa begitu percaya diri “berkesimpulan” hingga cenderung menggurui teman lain yang telah puluhan tahun malang-melintang di partai ini.telah dua kali saya mengamati prilaku “tunjung mangarti”,sebutan untuk yang merasa paling tahu,teman ini hingga kadang saya harus “skak” untuk memberinya pelajaran tentang “syarat-syarat” kita bisa tunjung mangarti tadi.bahwa pengetahuan ataupun informasi yang kita punya hendaklah bisa di verifikasi kebenarannya,punya pengalaman yang cukup terhadap objek dan informasi pendukung yang cukup dan valid apabila kita ingin menduga-duga “suasana bathin” yang di alami,entah itu person ataupun berkhaitan dengan lembaga.kita tak bisa menarik konklusi semata-mata atas informasi yang kita miliki dari sumber yang tidak relevan dan bahkan sulit di verifikasi tetapi memaksanya menjadi “kesimpulan” yang harus di terima semua orang.meski semuanya bernilai “dugaan” tetapi dugaan yang paling kuat alasannya.
Cerita “kongko-kongko” atau cerita lepas memang tak membutuhkan “syarat” apa-apa.cukup suara anda tidak parau.tetapi ketika hendak melompat ke wilayah “analisis” situasi,misalnya,suara yang tidak parau saja,jauh dari cukup,kita butuh cukup informasi,sedikit pengalaman yang relevan dan feeling serta kemampuan analis yang kuat.dan itu belum cukup untuk sekelas pemula yang “kaget” dan belum cukup jam terbangnya.demokrasi memang memberi kebebasan pada setiap orang untuk menyampaikan pandangan.tetapi mendominasi seolah yang paling tahu,apalagi dengan “syarat” tadi yang minimal,sama saja pembodohan : membodohi orang yang levelnya di atas kita untuk bertarung dengan kantuk yang luar biasa di dini hari hanya untuk mendengar “karangan bebas” kita.apalagi cendrung di bubuhi sedikit “pelanggaran” etika.
Tahu diri bisa saja berawal dari tahu kadar diri dan tahu kadar diri membuat orang untuk tak mau bahkan diam untuk tidak berkomentar pada hal-hal yang tak di ketahui tak penting atau bahkan di ragukan kebenarannya.
Ini pelajaran kehidupan yang relatif tak di dapat di bangku sekolah ataupun ketika di kuliah,tetapi sering dari kebiasaan hidup dan karakter yang terpelihara.banyak orang bisa pandai,tapi tak banyak yang bisa memahami apa yang mungkin di pahami om Faruk.wallahua’lam.!