Yang penting orang tahu aku punya konsep pembangunan. Terlebih, Opung bilang kita harus prioritaskan pmbangunan infrastruktur. Langsung aku setuju. Pasalnya, hanya dengan infrastruktur hingga ke pelosok Papua rakyat bisa melihat hasil kerjaku yang hebat.
Tidak mungkin aku menjual gagasan yang rumit kepada rakyat. Selain aku tak punya pikiran, rakyat hanya bisa memahami hal-hal yang konkret saja. Apalagi disertai berbagai kartu sakti sambil sesekali melempar sembako kepada fakir miskin di jalanan.
Aku sungguh berterima kasih kepada Opung. Lalu kita mulai kerja, kerja, dan kerja! Sambutan rakyat luar biasa, sampai-sampai air bekas cuci kakiku jadi rebutan rakyat di pedesaan. Tapi aku belum bisa benar-benar tenang karena masih ada intelektual, pengamat, dan rakyat banyak yang kritis pada kebijakan pmerintah.
Belum lg protes-protes dari kaum Muslim konservatif. Maka segera kupanggil semua pembantuku, termasuk kepala badan intelijen, polisi, dan tentara. Opung bilang tak usah dengar suara oposan, mereka itu tak tahu apa-apa. Menkeu meyakinkan bahwa ekonomi kita on track. Aparat dan penegak hukum mengaku gampang mengatasi orang-orang yang suka protes. “Serahkan semuanya kepada kami,” kata kepala intelijen.
Rapat bubar dengan cepat. Aku ke kamar memeluk istriku. “Semuanya akan baik-baik saja.Negeri ini akan jadi besar, stabil, maju, makmur. Prestasiku akan melebihi Soekarno, Soeharto, dan SBY. Apalagi cuma Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Katakan ini pada anak-anak kita biar bangga mereka padaku. Kau juga.”
Tak lama, KPK dilemahkan, buzzer bertambah banyak dan agresif, oposan dipenjarakan, baliho HRS dicopot, 6 org FPI dibunuh, bahaya politik identitas bergema, isu terorisme makin sering, dan ANS yang pakai celana cingkrang dipecat.
Pada saat bersamaan, utang negara menumpuk, korupsi menggila, pertumbuhan ekonomi mengkerut, banyak infrastruktur mubazir, UU Cipta Kerja dan UU Minerba dikecam, investor tak tertarik pada proyek IKN, dan kemiskinan meluas.
Yang juga mencemaskanku, publik mulai menyoroti KKN dan pembangunan dinasti politik yang aku rencanakan. Meskipun tidak merekayasa langsung pilkot Solo dan Medan, tak sulit untuk menghubungkan kemenangan Gibran dan menantuku Bobby Nasution dengan jabatanku sebagai presiden.
Putra-putraku kaya dadakan pun dikatakan pasti berkaitan dengan posisiku. Oligarki bersedia memasok modal besar kepada perusahaan putraku-putraku karena berharap ada kompensasi di temoat lain melalui kolusi dengan Gibran dan Kaesang.
Aku sadar tuduhan oposan ada benarnya. Tapi aku ingin keluargaku menjadi milioner sebagaimana Soeharto melakukan pada anak-anaknya. Orang bisa saja tak menyukai tokoh Orba itu, tapi dia adalah idolaku. Toh, kejatuhannya tak berpengaruh pada kekayaan putra-putrinya.
Bagaimanapun, aku mulai lebih sering membuka internet untuk mencari tahu suara oposisi yang kian vokal dan meluas. Netizen antipemerintah pun kian militan. Tak kurang mengkhawatirkan adalah meningkatnya populeritas Gubernur DKI Jkt Anies Baswedan.
Kalau nanti menjadi presiden, tokoh ini pasti akan meninjau ulang program pembangunanku. Segera saja kupanggil lagi para pembantuku: apa yang mesti dilakukan? “Gampang. Kekuasaan Bapak diperpanjang. Kita suruh para pemimpin parpol bermasalah, menteri, relawan, petinggi lembaga negara mewacanakannya. Tenang, biar aku yang bereskan,” kata Opung.
Aku terhibur. Ini ide yang bagus. Masalah APBN yang jebol bagaimana ?”Itu mah gampang. Akan kuperluas jangkauan pajak pada sebanyak mungkin rakyat kecil dan berutang lagi.Jangan khawatir utang masih proporsional dilihat dari GNP kita,” kata Menkeu.
Tak kusangka, ternyata wacana perpanjangan masa jabatan presiden mendapat perlawanan keras dari rakyat, bahkan oleh partaiku sendiri. Tapi aku tak putus asa. Berbagai cara kulakukan untuk terus menghidup-hidupkan ide ini. Di jalur lain aku bujuk, tekan, dan ancam parpol-parpol yang usung Anies.
Komentar