OPINI

Hari Jadi Tidore : Mengenang Almarhum Maswin Muhammad Rahman [Part.28].

Anwar Husen/Kolomnis Tetap.

12 April 2023,bertepatan Hari Jadi Tidore yang ke 915.Cerita ini berawal dari sebuah seminar yang di laksanakan di Aula Kantor Walikota Tidore Kepulauan saat itu,di periode pertama Pemerintahan Achmad Mahifa-Salahuddin Adrias.Dengan semangat pencarian “jadi diri”,seminar yang menghadirkan nara sumber beberapa sejarawan Indonesia ternama ini,menghasilkan kolaborasi rumusan dari momentum yang menandai Hari Jadi Tidore itu.

Di setiap momentum yang familiar dengan HJT ini,senantiasa terbersit ingatan saya pada karib almarhum Maswin Muhammad Rahman.Beliau bisa di bilang pemerhati budaya yang konsisten di masa itu,Halmahera Tengah dan memiliki andil besar dalam proses “mengkonstruksi” segenap seremoni di balik HJT itu,yang setiap tahun di tandai dengan Upacara di pelataran Kadaton Kesultanan Tidore.

Saya dan beberapa teman,memiliki hubungan dengannya lebih dari sekedar teman biasa.Ketika almarhum di tunjuk mengasuh Radio Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah [RSPD] yang berlokasi di sebuah banguan kecil berlantai dua di Open Space saat itu,saya salah satu pengisi acaranya.Dan ketika beliau di dapuk sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid KABATA,saya salah satu Tim Redaksi sekaligus penulis tetapnya.Beberapa edisi terbitannya,saya masih menyimpannya.

Bersama almarhum dan beberapa teman,kami juga aktif berkontribusi di Dewan Kesenian dan Kebudayaan [DKK] yang di Ketuai Wakil Walikota,Salahuddin Adrias.Saya juga secara khusus harus mengenang “kontribusi” almarhum Abbas Mahmud,seorang Akademisi Universitas Pattimura Ambon,yang kala itu di perbantukan pada pemerintahan ini.Kebetulan beliau berkeluarga dekat dengan sang Walikota dua periode ini.Banyak pemikiran dan gagasan bernas darinya yang turut mewarnai segenap aktifitas dan kebijakan pemerintahan ini.

Maswin M.Rahman yang saya tahu,berkontribusi besar dalam turut memikirkan dan merekonstruksi budaya kehidupan Tidore “masa lalu” hingga melahirkan rangkaian upacara HJT yang di kenal saat ini.Saya sering menjadi teman diskusinya untuk turut memberikan bobot dari aspek teoritik dari setiap rangkaian itu.Kami terpaksa “kuliah” ulang.Buku-buku dari sejarawan dan budayawan “kelas dunia” hingga referensi “lisan” para tetua adat harus di kolaborasi untuk bisa mendapatkan “simpul”nya.Tujuh unsur budayanya Kluckhohn,Van Vollenhoven,Van Den Berg hingga Koentjaraningrat kami “bolengkar”.Saya bilang padanya bahwa apapun budaya kita,pasti masuk di wilayah ini dan tak mungkin “berdiri sendiri”.

Saya masih ingat ketika di tahun pertama memulai rangkaian seremoni HJT itu,ada hal yang bikin “kaget” sekaligus terasa lucu.Di prosesi yang namanya Malam Setanggi Timur.Penamaannya dari almarhum dan saya lupa filosofi namanya.Tetapi ini berupa penanda menyalakan obor atau yang di kenal dengan Dama,Pelita atau Guto,di malam hari di setiap rumah tanpa lampu penerangan PLN semalam suntuk.Di saat sama,di masjid-masjid dan langgar,berkumandang zikir dan doa tertentu memohon perlindungan Tuhan Yang Maha Esa atas ketentraman dan keselamatan negeri Tidore.Ketika lampu di padamkan tadi,terjadi “komplen” warga di beberapa tempat karena suasananya memang terlihat gelap dan sangat mengganggu aktifitas rumah tangga.Kami kebetulan memonitornya di beberapa titik.Di diskusi kami,saya sempat memberi usul kalau sekedar “rekonstruksi” atau penanda,kita tentukan saja durasinya minimal 2 jam misalnya,karena semua ini lebih pada “nilai” yang jadi pesan bahwa di masa lalu tadi,”negeri” ini di dirikan dan di pelihara dengan ikhtiar dan doa dalam kegelapan dan keterbatasan.mengenangnya harus termanifestasi dari “rasa syukur”.

Jika hari ini,ada yang menyebut-nyebut “borero gosimo” atau pesan leluhur yang senantiasa di bacakan pada setiap peringatan HJT,itu adalah bagian terbesar upaya keras almarhum untuk mengkaji dari berbagai aspek dan membuatnya “paten” seperti hari ini.Kebetulan almarhum Maswin seorang sarjana bahasa dan sastra Indonesia yang membuatnya leluasa berimajinasi.

Saat berpulangnya almarhum,saya dan teman-teman begitu berduka,berta’ziah hingga mengantar jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhir,di pekuburan umum kelurahan Afa-Afa,Kecamatan Tidore Utara.

12 April 2023,bertepatan sepuluh malam terakhir di Ramadhan,dari lubuk hati yang paling dalam,saya mendoakan semoga almarhum di berikan sebaik-baiknya tempat,menerima segala amal baiknya,mengampuni segala salah dan khilafnya.Almarhum pantas mendapatkan “penghargaan” yang setara,entah apa bentuknya.Wallahua’lam

#Selamat Hari Jadi Tidore ke-915
#Ramadan karim

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *